Lembaga layanan seperti sekolah, kepolisian, rumah sakit, panti sosial, dan lembaga layanan lainnya seharusnya menjadi tempat perlindungan, pendidikan, dan pemulihan bagi masyarakat. Namun, data menunjukkan bahwa tidak jarang kekerasan seksual justru terjadi di lembaga tersebut, yang dilakukan oleh para petugas layanan yang memegang posisi kuasa.
Potensi Terjadinya Kekerasan Seksual di Lembaga Layanan
Pada hakikatnya kekerasan seksual berpotensi terjadi dimana saja termasuk di lembaga layanan. Ketimpangan relasi antara penyedia layanan seperti guru, tenaga medis, polisi, maupun pekerja sosial dengan penerima layanan menciptakan ruang rawan untuk terjadinya eksploitasi dan pelecehan seksual, terlebih lagi jika di lembaga layanan tersebut tidak dilengkapi dengan sistem pengawasan dan pelaporan yang kuat.
Petugas layanan memiliki akses terhadap informasi pribadi dan kerentanan para penerima layanan. Dalam konteks sekolah sebagai lembaga layanan pendidikan, guru memiliki kuasa atas penilaian akademik siswa; di rumah sakit, tenaga medis mengelola perawatan dan kondisi fisik pasien; di kepolisian, aparat memiliki kontrol atas proses hukum dan keadilan. Kedekatan ini semestinya menjadi dasar kepercayaan, namun berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan pribadi melalui tindakan pelecehan atau kekerasan seksual. Selain itu, korban sangat berpotensi merasa tertekan dan memilih untuk diam karena takut terhadap dampak sosial, akademik, hukum, atau kehilangan hak atas layanan.
Potensi kekerasan seksual dalam lembaga layanan meningkat ketika tidak terdapat kebijakan perlindungan yang eksplisit, seperti Kebijakan Pencegahan Eksploitasi dan Pelecehan Seksual (PSEA). Tanpa kode etik yang jelas, mekanisme pelaporan yang aman, dan pengawasan yang tegas, relasi kuasa yang tidak seimbang berisiko menciptakan budaya diam dan impunitas. Selain itu, lembaga layanan tersebut terkadang lebih mementingkan reputasi institusi yang berpotensi membuat korban semakin sulit mendapatkan keadilan.
Berdasarkan hal tersebut, maka menjadi hal yang penting dan mendesak bagi semua lembaga layanan untuk menjadikan kebijakan PSEA sebagai bagian integral dari tata kelola kelembagaan. PSEA dapat menjadi sebuah wujud komitmen terhadap perlindungan, integritas, dan keamanan penerima layanan. Dengan menerapkan kebijakan ini secara konsisten, lembaga dapat mencegah kekerasan seksual sejak dini, menciptakan lingkungan layanan yang aman, dan menjaga kepercayaan publik terhadap institusi.
Potensi Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual di Lembaga Layanan
Salah satu penyebab utama terjadinya kekerasan seksual di lembaga layanan adalah ketimpangan relasi kuasa antara petugas layanan dan penerima layanan. Dalam banyak kasus, pelaku memiliki otoritas, pengaruh, atau akses terhadap kebutuhan dasar korban, seperti pendidikan, kesehatan, keadilan, atau bantuan sosial. Ketimpangan ini menciptakan situasi di mana penerima layanan merasa tidak memiliki daya untuk menolak, melapor, atau melawan perlakuan tidak pantas, apalagi jika pelaku adalah figur yang dihormati atau ditakuti di institusinya. Ketergantungan ini terkadang dimanfaatkan pelaku untuk melakukan tindakan pelecehan, ancaman, hingga pemaksaan secara seksual.
Selain itu, salah satu faktor yang paling penting yang berpotensi menyebabkan terjadinya kekerasan seksual di lembaga layanan yakni minimnya kebijakan perlindungan dan lemahnya sistem pelaporan dalam lembaga layanan tersebut. Banyak institusi tidak memiliki mekanisme yang jelas dan aman bagi korban untuk melapor, atau lembaga layanan tidak memiliki sistem rekrutmen yang baik dalam hal ini adalah mereka tidak melakukan screening yang baik kepada para calon petugas layanan yang akan bergabung di lembaga layanan tersebut. Selain itu, tidak adanya pelatihan yang memadai bagi petugas layanan terkait etika profesional dan perlindungan terhadap kerentanan penerima layanan juga dapat menjadi faktor penyebab. Akumulasi dari faktor-faktor ini menjadikan kekerasan seksual sulit dicegah dan sering kali tidak terungkap.
Kebijakan PSEA sebagai Bentuk Pencegahan Kekerasan Seksual
Kebijakan Prevention of Sexual Exploitation and Abuse (PSEA) merupakan kebijakan penting yang dirancang untuk mencegah dan menanggulangi eksploitasi dan pelecehan seksual, khususnya di lingkungan lembaga layanan yang berinteraksi langsung dengan masyarakat. Kebijakan ini bertujuan melindungi penerima layanan terutama kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, penyintas bencana, pasien, atau siswa dari tindakan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang memiliki otoritas. PSEA menekankan bahwa setiap bentuk kekerasan seksual merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan integritas lembaga.
Kebijakan PSEA mencakup berbagai aspek, mulai dari penyusunan kode etik, pelatihan pencegahan, sistem pelaporan yang aman dan mudah diakses, hingga mekanisme penindakan yang tegas terhadap pelaku. Dalam implementasinya, PSEA mendorong perubahan budaya organisasi menjadi lebih terbuka, responsif, dan berpihak pada korban. Dengan adanya kebijakan ini, lembaga diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari pelecehan seksual, sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi layanan.
Penerapan kebijakan PSEA juga mengandung prinsip akuntabilitas dan transparansi. Lembaga yang menerapkan PSEA wajib memastikan bahwa seluruh staf, relawan, maupun mitra kerja memahami batasan perilaku profesional dan berkomitmen menjaga integritas relasi dengan penerima layanan. Dalam hal terjadi pelanggaran, lembaga harus menunjukkan keberpihakan kepada korban dengan memberikan perlindungan, layanan pendampingan, serta menjamin proses penanganan berjalan adil dan tidak reviktimisasi. Langkah ini penting agar korban tidak merasa sendiri atau takut saat menyuarakan pengalamannya.
Dalam konteks meningkatnya kasus kekerasan seksual di berbagai institusi, PSEA menjadi instrumen strategis yang tidak hanya mencegah kekerasan, tetapi juga membentuk budaya organisasi yang lebih beretika, aman, dan berorientasi pada perlindungan. Maka dari itu, setiap lembaga layanan perlu menjadikan PSEA sebagai bagian integral dari sistem manajemen dan tata kelola kelembagaan mereka.
Delapan Standar Kebijakan PSEA
Untuk memastikan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual berjalan secara sistematis dan menyeluruh, lembaga layanan perlu memiliki standar dokumen PSEA yang terstruktur dan terintegrasi dalam seluruh aspek organisasi. Standar-standar ini bukan hanya sekadar dokumen administratif, melainkan menjadi pedoman kerja utama yang mencerminkan komitmen lembaga dalam menciptakan lingkungan yang aman, etis, dan berpihak pada penerima layanan.
Penerapan delapan standar ini penting untuk memperkuat kapasitas organisasi dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan perilaku tidak etis oleh pihak internal. Standar ini juga menjadi acuan untuk membangun budaya organisasi yang sadar akan risiko kekerasan seksual, proaktif dalam merespons laporan, serta bertanggung jawab terhadap korban. Berikut adalah delapan standar dokumen PSEA yang perlu dimiliki oleh setiap lembaga layanan:
- Kebijakan Organisasi
Fokus pada komitmen tertulis lembaga dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual. Dokumen ini memuat prinsip-prinsip perlindungan terhadap penerima layanan, definisi eksploitasi dan pelecehan seksual, serta kode etik perilaku staf. Tujuannya adalah agar seluruh pihak dalam lembaga memahami dan mematuhi nilai-nilai perlindungan serta batasan interaksi profesional.
- Manajemen Organisasi
Menekankan pada tata kelola yang berpihak pada perlindungan, termasuk penguatan struktur organisasi yang mendukung implementasi PSEA. Aspek ini mencakup penunjukan penanggung jawab PSEA, integrasi prinsip PSEA dalam rencana kerja, serta monitoring dan evaluasi rutin atas penerapan kebijakan.
- Sistem Sumber Daya Manusia (SDM)
Berfokus pada proses rekrutmen, seleksi, dan manajemen SDM yang berintegritas. Lembaga wajib memastikan bahwa setiap staf, relawan, atau mitra tidak memiliki rekam jejak kekerasan seksual, serta menandatangani komitmen terhadap kode etik. Referensi kerja dan latar belakang pelamar juga harus diperiksa secara ketat.
- Pelatihan Wajib
Menekankan pentingnya edukasi dan peningkatan kapasitas semua staf mengenai PSEA. Setiap individu dalam lembaga harus mengikuti pelatihan rutin terkait pencegahan eksploitasi seksual, cara melapor, dan mekanisme perlindungan korban. Pelatihan ini membantu membangun budaya organisasi yang sadar dan responsif terhadap isu PSEA.
- Pelaporan
Fokus pada penyediaan kanal pelaporan yang aman, mudah diakses, dan ramah korban. Sistem pelaporan harus menjamin kerahasiaan, perlindungan pelapor, serta bebas dari intimidasi. Lembaga juga wajib mensosialisasikan prosedur pelaporan kepada seluruh pihak, termasuk masyarakat penerima layanan.
- Bantuan dan Rujukan
Menjamin bahwa korban mendapatkan perlindungan dan layanan yang sesuai, baik dari lembaga sendiri maupun melalui jaringan rujukan. Bantuan bisa berupa konseling, pendampingan hukum, perawatan medis, atau layanan psikososial, tergantung kebutuhan korban.
- Proses Investigasi
Menjelaskan prosedur penanganan kasus yang adil, transparan, dan akuntabel ketika terjadi laporan kekerasan seksual. Proses ini harus dilakukan oleh pihak yang terlatih, tidak bias, serta memastikan perlindungan korban dan saksi selama proses berlangsung.
- Tindakan Korektif
Fokus pada langkah-langkah perbaikan setelah kasus terjadi, baik terhadap pelaku, sistem, maupun kebijakan. Lembaga wajib memberikan sanksi tegas kepada pelaku serta melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kelemahan sistem yang memungkinkan kekerasan terjadi. Ini juga mencakup penguatan ulang pelatihan, komunikasi, dan perbaikan sistem kelembagaan.
Info Lebih Lanjut:
Yusri adalah Program Analyst Yayasan Indonesia Mengabdi dan Dosen Universitas Negeri Makassar. Ia juga merupakan fasilitator dalam kegiatan penguatan layanan perlindungan anak di pesantren dalam melakukan pencegahan kasus kekerasan seksual oleh Kementerian Agama Kabupaten Bone dan Bulukumba melalui dukungan UNICEF.
Yusri dapat dihubungi melalui email yusri@unm.ac.id.