Pembangunan desa dan kawasan perdesaan terus mekar sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dan Dana Desa. Undang-Undang Desa memicu gerakan pembangunan dan Dana Desa mengakselerasi secara lebih kuat lagi.
Gemuruh pembangunan menyebar dengan gegas tanpa harus diteriakkan dengan kencang. Pada aspek pembangunan ekonomi, fokus gerakan ini beralas kepada tiga hal pokok. Pertama, memanfaatkan sebanyak mungkin sumber daya ekonomi yang ada di desa, khususnya sumber daya alam.
Salah satu yang paling penting adalah modal tanah (desa daratan). Tak usah jauh-jauh, kerapkali pekarangan rumah yang lumayan luas di desa dibiarkan tanpa pengelolaan yang memiliki daya guna ekonomi. Padahal bila pekarangan tersebut dimanfaatkan untuk ditanami kebutuhan sehari-hari bakal menyumbang ekonomi rumah tangga yang lumayan.
Kedua, mendorong gerakan ekonomi yang memiliki nilai tambah. Umum terjadi ekonomi di desa hanya bertumpu kepada produksi bahan baku yang kurang memberikan efek terhadap kesejahteraan. Ekonomi hulu semacam ini merupakan keniscayaan yang harus dikerjakan, namun tidak boleh pengolahan dilepaskan kepada pihak lain sehingga kesejahteraan terbang ke pelaku ekonomi di luar desa.
Saat ini desa mesti bisa mengakumulasi kesejahteraan dengan jalan mengaitkan ekonomi hulu-hilir agar langit kesejahteraan dapat digapai. Ketiga, kesadaran warga desa untuk mengurus sumber daya ekonomi secara kolektif. Organisasi ekonomi di desa harus kokoh agar bisa mempertinggi posisi tawar berhadapan dengan pelaku ekonomi lain.
Oleh karena itu, koperasi atau Bumdes juga organisasi sosial-ekonomi lainnya mesti dipromosikan di desa. Organisasi ekonomi tersebut merupakan alat perjuangan bersama yang bakal menggandakan kekuatan ekonomi desa.
Ketiga hal itulah yang saya lihat terjadi di Desa Pinang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Pada 11 Januari 2016 saya ke Enrekang untuk melihat pelaksanaan pembangunan desa, sekaligus evaluasi tahun pertama penggunaan Dana Desa.
Saya agak terkejut karena desa tersebut telah memiliki Bumdes (Badan Usaha Milik Desa). Belum banyak desa yang telah mendirikan Bumdes pada tahun pertama program Dana Desa. Ini tentu saja merupakan impresi awal yang menyenangkan, apalagi dikerjakan oleh sebuah desa dan kabupaten yang letaknya begitu jauh dari Makassar, Ibukota provinsi Sulawesi Selatan. Kepala Desa Pinang, M. Rusli, menerangkan dengan fasih inisiasi pendirian Bumdes tersebut, termasuk cerita dukungan Pemda Enrekang yang begitu besar.
Pak Muslimin Bando, Bupati Enrekang yang menemani saya berkunjung ke desa, berkisah bahwa tiap nilai Rupiah Dana Desa yang dialokasikan untuk membentuk Bumdes, maka jumlah Rupiah yang sama akan diberikan oleh Pemda kepada Bumdes itu. Insentif mulia inilah yang menjadikan Bumdes banyak didirikan di Kabupaten Enrekang sejak tahun pertama program Dana Desa.
Berikutnya, desa ini memiliki warga perempuan yang amat tangguh dan punya literasi ekonomi yang terang. Ibu-ibu PKK terorganisir dengan rapi. Mereka bukan sekadar melakukan rapat, tapi berdiskusi cerdas untuk mengembangkan ekonomi rumah tangga dan desa. Hasilnya? Tak ada sejengkal lahan pun yang tak didayagunakan, termasuk pekarangan rumah.
Lahan di depan dan samping dan belakang rumah, seluruhnya dipakai untuk menanam aneka sayuran dan buah-buahan seperti tomat, cabai, timun, kangkung, jeruk, pepaya, wortel, kacang, dan masih banyak lagi. Desa begitu hijau dan tiap pekarangan rumah tertata rapi.
Kebutuhan sehari-hari untuk memasak tak perlu dibeli di pasar sehingga alokasi belanja dapat dipakai untuk keperluan lain, misalnya biaya pendidikan anak. Masuk ke desa ini kita memperoleh pemandangan yang sepenuhnya menyemburkan keceriaan masa depan.
Desa ini juga dikenal sebagai kawasan peternakan sapi di Kabupaten Enrekang. Sebagian besar rumah tangga memiliki beberapa ekor sapi sebagai tumpuan hidup keluarga. Berita bagusnya, mereka mengelola sapi tersebut dengan cara berkelompok. Para peternak membuat perawatan sapi kolektif yang agak jauh dari rumah warga sehingga dampak dari peternakan tak terlalu mengganggu warga, misalnya bau kotoran.
Bahkan, kotoran sapi tersebut diolah menjadi pupuk kompos untuk kepentingan pertanian. Kotoran padat dan cair seluruhnya diolah sehingga punya nilai ekonomi. Kebutuhan gas dan listrik warga sebagian besar dipasok dari pengelolaan kotoran sapi tersebut. Bumdes di Desa Pinang yang melakukan pengelolaan pupuk dan gas itu. Lagi-lagi keperluan gas yang digunakan untuk memasak dan sumber tenaga listrik dapat dicukupi dari sumber daya yang ada di desa, efisiensi belanja diperoleh kembali.
Saya melihat sendiri ke rumah warga yang pasokan gas memasaknya disambung dari pipa yang diatur oleh Bumdes. Kebetulan Ibu pemilik rumah tersebut sedang merebus susu segar dari peternakan sapi untuk dijadikan keju. Kabupaten Enrekang dikenal sebagai produsen keju yang sangat populer di Sulawesi Selatan, namanya “Keju Dangke”. Proses pembuatan masih tradisional sehingga belum bisa dibuat secara massal. Belum tersedia teknologi tepat guna untuk merebus dan memisahkan protein dengan kandungan air yang terdapat dalam susu.
Demikian pula penyaringan dan proses pendinginan seluruhnya dikerjakan dengan peralatan yang sangat sederhana. Proses pencetakan bahkan cuma menggunakan batok kelapa yang dibelah jadi dua dan setelah jadi dibungkus dalam lapisan daun pisang. Bisa jadi seluruh proses bersahaja ini yang membuat kelezatan keju lebih terasa.
Ikhtiar kaum perempuan di Desa Pinang itu tentu patut dipuji meski di tengah berbagai keterbatasan. Lebih dari itu, yang menarik adalah munculnya kesadaran untuk menciptakan nilai tambah atas komoditas bahan baku berupa susu sapi yang diproduksi agar nilai ekonominya berlipat. Keju yang nikmat ini, saya mencicipi keju yang langsung dibuat di rumah tersebut, dijual dengan harga yang jauh lebih tinggi ketimbang dilepas dalam dalam bentuk susu segar.
Rumah tangga memperoleh pendapatan yang berlipat dari praktik nilai tambah ini. Bisa dibayangkan apabila keju itu dikemas dalam wadah dan merek yang menarik, pasti akan lebih tinggi lagi penghasilan yang diterima. Pemasaran juga sangat mudah, bahkan untuk mencukupi permintaan dari Kabupaten Enrekang saja tidak cukup. Praktik hulu-hilir yang benar-benar lengkap telah dipertontonkan di Desa Pinang, Kecamatan Cendana, Enrekang.
Pencapaian itulah yang membuat desa ini pada 2015 pernah memperoleh juara nasional Adhikarya Pangan Nusantara (APN). Penghargaan yang amat layak diraih karena tiga titik tumpu penting pembangunan ekonomi telah dieksekusi dengan solid: pengelolaan sumber daya, peningkatan nilai tambah, dan pelembagaan organisasi ekonomi.
Pemerintah daerah memberikan dukungan penuh untuk penguatan desa, pemerintahan desa tekun mengawal program Dana Desa, dan warga desa punya komitmen penuh menjadi partisipan gerakan. Inisiasi warga merupakan tulang punggung pembangunan desa, sedangkan peran pemerintah mulai dari pusat sampai desa sebagai pemasok sumber daya ekonomi (fiskal) maupun pengetahuan dan afirmasi kebijakan.
Praktik yang terjadi di Kabupaten Enrekang, yang salah satunya terpantul di Desa Pinang ini, merupakan perpaduan kolaborasi yang ideal dari beragam pemangku kepentingan tersebut. Ekonomi tegak menyundul langit di atas Enrekang berkat Keju Dangke.
Artikel ini bersumber dari Geotimes dan dapat dibaca pada link https://geotimes.co.id/kolom/keju-dangke-di-langitenrekang/