Apakah wilayah gunung dan pegunungan adalah tergolong sumberdaya alam di tanah air? Tentu saja terlalu naif untuk menyangkalnya. Tetapi potensi sebagai sumberdaya alam gunung lebih banyak disubordinasikan pada hutan. Kehutanan lebih banyak menjadi perhatian dibandingkan dengan kegunungan. Bahkan terkesan memanfaatkan potensi gunung dan menjaga ekosistem hutan, secara implisit sudah memberi perhatian pada gunung. Memang tidak semua hutan terpaut dengan gunung, tetapi gunung akan selalu terpaut dengan hutan yang melekat padanya. Tidak berarti permasalahan kegunungan sepenuhnya dapat tertangani hanya dengan memberi perhatian pada aspek dan dimensi pengelolaan kehutanannya.
Kegunungan dan kehutanan pada prinsipnya adalah dua sisi dari satu mata uang logam. Menjaga kelestarian ekosistem hutan tidak secara otomatis bisa menjaga kelestarian ekosistem gunung. Sebaliknya, bila mampu memperhatikan dan memelihara ekosistem gunung, maka dapat dipastikan ada sebagian ekosistem hutan dapat terpelihara. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila disimpulkan bahwa justru lebih arif mengedepankan perhatian dan kelestarian ekosistem gunung sebagai tempat kedudukan keberadaan hutan.
Kegunungan, dengan demikian sepatutnya menjadi pengantar bahasan kehutanan, dimana keduanya hadir secara bersama dan bersandingan. Kegunungan bukan subyek yang implisit dalam subyek kehutanan. Bahkan lebih dari itu, sebenarnya hadir pula ekosistem sungai yang lebih ditonjolkan dengan DAS (Daerah Aliran Sungai) sebagai subyek kesungaian.
Wilayah gunung merupakan wilayah yang didiami oleh manusia, dan manusia inilah yang biasanya memanfaatkan, merambah dan merusak hutan, disamping penikmat dan pelaku ekonomi berskala. Dengan demikian gunung dan manusia adalah dua ekosistem yang juga sepatutnya dipandang sebagai suatu keseluruhan yang terpadu, disamping ekosistem-ekosistem lainnya.
Dengan suatu catatan bahwa manusia tidak terlepas dari sistem kelembagaan dalam kehidupan sosialnya. Karena itu pada dasarnya terdapat lima pilar ekosistem pada wilayah pegunungan. Kelima pilar ini yang sepatutnya menjadi sorotan perhatian yang padu dan terintegrasi untuk mencermati wilayah pegunungan Bawakaraeng misalnya.
Belajar dari analisis sistem sosial, dalam kerangka Participtory Local Social Development, (PLSD), kelima pilar pegunungan yang dimaksud diatas (gunung, hutan, sungai, manusia dan kelembagaan sosial) akan dapat berfungsi secara optimal memberi kemanfaatan hanya bila terdapat keseimbangan ekosistem dari kelimanya. Ketidakseimbangan yang terjadi justru yang akan mengakibatkan kerusakan ekosistem masing-masing ataupun secara bersama-sama baik secara alamiah maupun karena tindakan manusia. Dapat dikatakan bahwa hal tersebut terjadi, pada prinsipnya berawal dari perlakuan yang memisah-misahkan cara pandang kelima pilar ini.
Bila dihayati, kelima pilar ini diciptakan oleh Maha Pencipta dengan konsep yang harmoni untuk saling mendukung dan mengembangkan kehidupan yang lestari. Oleh karena itu bila salah satu diantaranya lebih unggul dan diunggulkan, maka yang akan terjadi adalah dampak negatifnya pada ekosistem masing-masing atau secara bersama-sama. Dapat dipastikan bahwa manusia lah yang paling awal sebagai sumber utama penyebabnya, baik yang mendiami wilayah pegunungan maupun pemanfaat yang datang.
Dalam teori sistem sosial, disetiap pemukiman manusia hadir apa yang disebut societal system. Karena itu, menjadi pertanyaan seperti apa societal system yang ada atau yang pernah ada di wilayah pegunungan Bawakaraeng? Hal ini perlu ditemukan atau diidentifikasi sebagai bahan kajian awal. Nyaris pasti inner system (rumah tangga dan komunitas lokal, H/H dan L/C dalam konsep PLSD) pada societal system yang ada atau yang pernah ada di wilayah pegunungan Bawakaraeng seharusnya menjadi acuan dan sekaligus tumpuan segenap upaya pelestarian ekosistemnya.
Suka atau tidak suka, manusia dan kelembagaan sosialnya sepatutnya menjadi tempat berangkat berpikir sebelum melangkah lebih jauh dalam mencermati permasalahan wilayah pegunungan Bawakaraeng. Memang bisa dipahami bahwa kehadiran paham pembangunan atau yang lebih dikenal dengan istilah developmentalism telah membawa godaan yang sangat besar baik bagi manusia yang mendiami maupun yang datang ke wilayah pegunungan Bawakaraeng. Namun bagaikan wabah penyakit, developmentalism ini di satu sisi memerlukan upaya pengobatan tapi di lain sisi juga tetap dibutuhkan upaya pencegahan. Pengobatan dan pencegahan harus lebih banyak diarahkan pada manusianya. Hal ini yang membutuhkan kerangka rencana aksi.
Pertanyaan lanjutnya adalah, siapa yang akan berperan? Atau, pertanyaan lebih spesifik, apa peran yang bisa dimainkan oleh para pencinta alam? Secara global, dan Indonesia pun sudah berkomitmen untuk berperan nyata dan aktif dalam mencapai SDGs atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), yang memiliki empat pilar dan 17 tujuan, sebagaimana tercermin dalam RPJMN 2014-2019. Namun bila dicermati dimensi kegunungan tidak disebutkan secara eksplisit, kecuali secara implisit dianggap bisa terkait.
Dimensi kegunungan pada dasarnya berkenaan dengan keempat pilar TPB dan akan bersentuhan dengan setidaknya delapan goals TPB. Dengan demikian menjadi tantangan sekaligus peluang saat ini adalah membunyikan dimensi kegunungan dalam RPJMN 2020-2024, yang tidak lama lagi akan ditetapkan. Permasalahan wilayah pegunungan, dapat dikatakan nyaris bersifat seragam pada skala nasional. Dalam arti, apa yang terjadi di wilayah pegunungan Bawakaraeng tidak bersifat unik, terlepas bahwa memiliki spesifikasinya sendiri. Nampaknya peran nyata jejaring pencinta alam, setidaknya sebagai katalisator, menjadi penting dan berkepentingan untuk membunyikannya.
Haruskah menunggu terlebih dahulu dituangkan dalam RPJMN baru selanjutnya melakukan rencana aksi? Tidak perlu. Dewasa ini sudah tersedia skema dukungan untuk TPB melalui kelembagaan filantropi di tanah air. Artinya, peluang untuk berbuat sudah tersedia, tinggal bagaimana mempersiapkan dan menyusun seperangkat rencana aksi yang valid, akuntabel dan mampu dilaksanakan. Menghadirkan rencana aksi, tentu bukan hal yang mudah dan sederhana, apalagi membutuhkan ketekunan dalam memanfaatkan pendekatan keilmuan yang mumpuni. Tetapi semua ini hanyalah persoalan tekad dan kemauan untuk dapat menunaikannya.
Pertanyaan akhirnya, saat ini dibutuhkan pemetaan menuju rencana aksi, yaitu apa dan oleh siapa? Cara pandang dan rumusan kegiatan yang perlu dipetakan antara lain; bagaimana melembagakan kegiatan terutama untuk mengelola dan memvisualisasikan data serta informasi yang dibutuhkan, mendorong kajian antropologi kependudukan, mengajukan share vision, menggalang komitmen dan dukungan kerjasama pihak pemerintah daerah, menggerakkan persiapan sosial menuju terbentuknya kapasitas swatantra (Self Organizing Capacity) di tengah masyarakat melalui pendekatan PLSD, agar pada akhirnya mampu menawarkan seperangkat rencana aksi.
Sebagai penutup, pengabdian pada masyarakat berkelanjutan menjadi niscaya bagi wilayah pegunungan Bawakaraeng. Untuk itu, para pencinta alam perlu segera berjejaring dan memanfaatkan skema dukungan filantropi yang tersedia. Mungkinkah? Hanya akan mungkin bila sejatinya wawasan dasarnya adalah kebutuhan, bukan sekadar keinginan.