Kearifan yang Menyelamatkan Hutan dan Masyarakat Adat (Bagian 1)
Penulis : Wahyudin Opu

Philipus Yiwit (45 tahun) berjalan perlahan menyusuri tanah rawa di hutan milik keluarganya di Kampung Bow dan Uwus, Distrik Agats, Asmat, Papua. Pada sebuah pohon sagu berukuran sedang ia berhenti. Dengan dibantu seorang kerabatnya, ia lantas melingkarkan daun sagu muda di pohon tersebut. Sembari merapalkan doa adat, ia memastikan ikatan daun sagu tadi sudah cukup kuat melingkar. “Ini tanda kalau pohon sagu di dusun ini tidak boleh ditebang sama orang lain,” katanya. “Pohon ini sa simpan untuk biaya anak masuk SMA nanti.”

Dalam khazanah kearifan lokal masyarakat adat Asmat, ritual yang dilakukan oleh Philipus tersebut disebut cayin. Menurut Walter Ewenmanam (48 tahun), salah satu pemuka adat Asmat di Kampung Yepem, Distrik Agats, cayin berarti membatasi diri atas suatu aktivitas atau pekerjaan karena suatu sebab. Dalam pengelolaan sumber daya alam, cayin biasa diterapkan oleh masyarakat adat Asmat untuk membatasi aktivitas pemanfaatan di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Hal ini serupa dengan ritual sasi di wilayah Maluku dan Maluku Utara atau moratorium dalam konsep konservasi modern. Menunda pemanfaatan saat ini demi hasil yang lebih maksimal kemudian.

Pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat Asmat sangat kental dengan nilai-nilai penghormatan kepada bumi. Mereka meyakini betul alam telah memberikan kehidupan dan hutan yang menyediakan makanan. Kesadaran akan hubungan timbal balik antara bumi dan manusia ini termanifestasi dalam aktivitas harian yang sebagian besar bersentuhan dengan alam. Ia kemudian membentuk suatu sistem kearifan lokal dalam bentuk hukum-hukum adat. 

Misalnya saja yang dilakukan oleh Philipus tersebut. Ia memasang tetre (daun sagu) di dusun keluarganya untuk membatasi orang lain memanfaatkan wilayah hutan yang telah diberlakukan cayin. Dusun atau hutan keluarga tersebut baru bisa dipanen ketika sang pemilik membutuhkannya di masa depan, dalam hal ini untuk biaya masuk sekolah anaknya. “Kami menabung dengan cara begini sudah. Mau bayar sekolah anak, mau bangun rumah, mau bikin pesta, semua kami ambil dari dusun (hutan) ini,” jelas pria yang menjabat sebagai Ketua Kelompok Jaga Hutan (KJH) Kampung Bow tersebut.

Foto: Wahyudin Opu

Philipus Yiwit (kiri) bersama kerabatnya mengumpulkan bahan makanan di hutan sagu.

Selain memproteksi hutan yang masih dalam masa produktif, ritual cayin dapat pula diterapkan pada lahan-lahan kritis. Dusun-dusun yang sudah dimanfaatkan secara maksimal biasanya akan diberikan tetre atau pisis (pucuk daun sagu) sebagai tanda larangan cayin. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada lahan tersebut untuk tumbuh kembali secara alami. Masyarakat adat Asmat percaya, layaknya manusia, hutan membutuhkan waktu istirahat untuk memulihkan dirinya setelah bekerja keras menghasilkan makanan dan kebutuhan lainnya. Mereka tidak mengenal pemanfaatan ekstraktif, yaitu mengambil sebanyak mungkin dari alam tanpa memperhatikan keberlanjutannya.

Contoh lain penerapan ritual cayin adalah pada saat keluarga tertua dalam suatu dusun meninggal dunia. Guna menghormati orang tua yang baru meninggal, pihak keluarga akan memasang pisis di beberapa pohon sebagai tanda larangan beraktivitas di dalam wilayah hutan tersebut. Hal ini juga sebagai bentuk berduka keluarga selama beberapa tahun ke depan. “Bisa jadi itu merupakan bentuk peringatan dari leluhur kepada kami yang masih hidup. Makanya tidak boleh ke dusun itu dulu sementara waktu,” jelas Walter Ewenmanam. 

Selain larangan akses yang bersifat temporer lewat ritual cayin, ada pula kawasan yang dilindungi secara permanen. Kawasan ini disebut tempat keramat. Tempat keramat biasanya adalah sebuah lokasi berupa hutan atau sungai yang ditetapkan secara adat tidak dapat dimasuki oleh sembarang orang apalagi sampai dirusak. Kosmologi masyarakat adat Asmat meyakini tempat keramat merupakan bagian dari masa lalu para leluhur. Mereka percaya roh orang-orang yang telah meninggal akan tetap menempati lokasi hidup mereka dahulu. Hal ini merupakan proses persinggahan sementara sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju safan atau surga.

Selain itu penetapan tempat keramat adalah upaya Orang Asmat untuk mengenang jasa leluhur mereka. Ada berbagai tokoh dan peristiwa masa lalu yang turut membentuk masyarakat adat Asmat di masing-masing kampung saat ini. Hal itulah yang ingin terus dihidupkan sebagai memori kolektif penghubung antar generasi. Menjaga kelestarian alam lewat penetapan tempat keramat adalah juga upaya untuk menghargai jasa para leluhur mereka.

Alam pikir masyarakat adat Asmat hidup dalam tiga masa. Tidak hanya memikirkan kehidupan saat ini, tetapi juga masa lalu dan masa depan. Hal ini tercermin dari tindakan mereka dalam bekerja sehari-hari. Banyak kearifan yang dijalankan bertujuan untuk mencegah manusia Asmat untuk tidak berlaku egois, hanya memikirkan kepentingan generasinya saat ini. Dalam setiap laku dan tindakannya Orang Asmat juga senantiasa memikirkan leluhur dan anak cucu mereka.

Mama Katarina Akbotcemen (61 tahun), perempuan tangguh dari Kampung Yepem, pernah menunjukkan saya secara langsung praktik hidup untuk tiga masa ini. Saat pergi mencari bahan makanan di hutan dan pantai, ia memperhatikan betul larangan adat yang berlaku. Pantang baginya memasuki dusun yang ditetapkan sebagai tempat keramat. “Itu tempat leluhur. Tidak boleh diganggu. Kalau mereka hidup tenang, kita juga akan hidup tenang.”

Saat mengumpulkan bahan makanan, Mama Keti, sapaan akrab saya kepadanya, menerapkan konsep mengambil secukupnya. Misalnya saat berburu karaka atau kepiting bakau. Jika dalam satu lubang terdapat lebih dari satu karaka, maka tidak boleh diambil semua. Mama Keti akan menyisakan beberapa ekor, terutama yang betina dan masih berukuran kecil. Tujuannya untuk memberi kesempatan kepada karaka untuk beregenerasi dan menjaga keseimbangan ekosistem di tempat tersebut. “Kalau kita ambil semua, nanti karaka ini bisa habis. Kalau habis anak cucu kita nanti mau makan apa?”

 

Sumber: 

https://ceritaopu.blogspot.com/2023/08/kearifan-yang-menyelamatkan-hutan-dan.html 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.