Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan dan/atau perbuatan lain terhadap tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang secara paksa atau bertentangan dengan kehendak seseorang dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan fisik dan/atau psikis termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan aktivitasnya dan/atau kegiatan lain.

Bentuk-bentuk kekerasan seksual menurut Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual/UU TPKS (UU No. 12/2022) yaitu: pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual;  perbudakan seksual; kekerasan seksual berbasis elektronik; perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual; dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Semua orang potensial menjadi korban kekerasan seksual. Namun, korban terbesar adalah perempuan, anak, penyandang disabilitas, orang-orang yang merupakan kelompok minoritas, dan kelompok lainnya. Korban-korban tersebut sering dihubungkan dengan ketimpangan relasi kuasa, ketimpangan gender, masyarakat patriarki, dan ketergantungan anak pada orang dewasa.


Kekerasan Seksual di Kampus
Demikian juga, semua tempat, di mana saja tidak ada yang bebas dari kekerasan seksual. Lingkungan pendidikan, dari tingkat terendah hingga yang paling tinggi, pun terjadi terjadi kekerasan seksual. Menurut Komnas Perempuan, kekerasan seksual di lingkungan pendidikan antara tahun 2015-2021 paling banyak terjadi di perguruan tinggi. Selama periode tersebut ada 67 kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan pendidikan, di mana kekerasan seksual berada di urutan pertama yakni 87,91 persen, kekerasan psikis dan diskriminasi 8,8 persen, dan kekerasan fisik 2,2 persen.

Sedangkan berdasarkan hasil survei dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi pada tahun 2020 dengan responden di beberapa perguruan tinggi bahwa, 77 persen dosen mengakui ada kekerasan seksual terjadi di kampus dan 63 persen dosen pun tidak melaporkan kekerasan seksual yang mereka ketahui pada pihak kampus. Artinya, dari sisi dosen pun masih enggan melaporkan kejadian yang mereka ketahui.

Tahun 2016 Rifka Annisa, sebuah lembaga swadaya masyarakat berbasis di Yogyakarta yang concern melakukan advokasi isu perempuan mencatat ada 214 kasus kekerasan pada perempuan sepanjang 2000-2015 yang dilakukan oleh guru, dosen, dan staf akademik. Kolaborasi #NamaBaikKampus, kolaborasi media ungkap berbagai kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi, mengupayakan penggalian data ini melalui form yang disebar dalam kurun Februari-Maret 2019. Terdapat 174 penyintas yang berasal dari 79 kampus di 29 kota. Dari data tersebut hanya 20 penyintas yang melapor ke kampus. Sementara lebih dari separuh penyintas enggan melaporkan ke pihak manapun, termasuk keluarga dan orang terdekatnya (Sarjoko, 2022).

Sementara Lintera Sintas Indonesia yang melakukan survei online atau daring (dalam jaringan) menemukan, 93 persen penyintas kekerasan seksual tidak melaporkan kasus perkosaan yang dialaminya. Tahun 2017 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis satu dari tiga perempuan berusia 16-64 tahun pernah mengalami kekerasan seksual selama hidupnya.


Relasi Kuasa yang Bertingkat
Angka kekerasan seksual yang tercatat dan terlaporkan yang terjadi di lingkungan pendidikan, termasuk di kampus-kampus perguruan tinggi bukanlah data sebenarnya. Hanya sedikit kasus yang dilaporkan dan diungkap. Ada beberapa permasalahan mengapa kasus kekerasan seksual di kampus atau dunia pendidikan sulit diungkap. Suharti (2016) Direktur Rifka Annisa menyebut setidaknya ada empat penyebab: (1) relasi kuasa; (2) proses hukum pidana yang panjang dan berbelit; (3) tekanan sosial untuk menjaga nama baik institusi; dan (4) stigma buruk terhadap korban kekerasan seksual.  

Relasi kuasa di kampus adalah relasi kuasa “bertingkat”. Ketika seorang perempuan yang berstatus mahasiswa menjadi korban kekerasan seksual di kampus, dia akan berpikir berkali-kali sebelum melaporkan kasusnya. Dia akan melihat berbagai identitas yang melekat pada dirinya dan menjadi penghalang: perempuan, mahasiswa, miskin, (mungkin) seorang perantau, etnis minoritas, penganut agama minoritas, dan sebagainya. Dengan identitas sosial yang semuanya rendah dan rentan, dia akan berhadapan dengan seorang dosen, yang misalnya bergelar doktor, guru besar, pejabat di kampus, dipanggil puang, sering berceramah agama, dan seterusnya.

Sementara itu ada beberapa alasan mengapa penyintas memilih diam, mulai dari malu, takut, tidak punya bukti, hingga dianggap terlalu berlebihan. Alasan lainnya pelaku merupakan orang-orang yang dihormati, dan sejak awal upaya melaporkan ke kampus akan sia-sia karena kampus diangap akan berpihak kepada pelaku. Selain itu, banyak di antara penyintas yang tidak tahu harus melapor ke mana dan bagaimana memproses kekerasan seksual yang dialaminya.

Selain persoalan hukum, korban kekerasan seksual mengalami beban pemberitaan di media jika kasusnya dilaporkan dan terungkap ke publik melalui media massa. Riset yang dilakukan Abrar tahun 1997 yang menyebut media-media di Indonesia belum menerapkan prinsip feminisme karena belum memihak pada korban kekerasan seksual. Tahun 2016 Komnas Perempuan mengumpulkan 499 berita mengenai kekerasan seksual sepanjang tahun 2015 di Sembilan media online dan offline terpilih. Hasilnya, Komnas Perempuan menemukan bahwa penulisan identitas korban, validasi informasi, kebenaran yang setengah-setengah, dan penghakiman pada korban menjadi masalah utama media dalam meliput kekerasan seksual.

Sementara Palulungan et al. (2020) mengemukakan, sebanyak 1.314 berita kekerasan seksual yang dikumpulkan pada 21 media cetak di kawasan timur Indonesia, umumnya berita-berita tersebut menggunakan diksi yang merugikan perempuan sebagai korban. Mengutip Abar (1998) diksi yang digunakan media sesungguhnya semakin menempatkan perempuan ke dalam kelompok yang tidak berdaya. Kekerasan seksual adalah tragedi bagi kaum perempuan tidak direkonstruksi secara utuh dalam bahasa pers, dan sebaliknya justru cenderung berubah menjadi hiburan semata.

Dengan demikian, selain tidak edukatif, berita kekerasan seksual dengan diksi-diksi yang merugikan perempuan tersebut, sulit melahirkan keprihatinan, empati dan simpati masyarakat terhadap korban. Masyarakat beranggapan bahwa kekerasan seksual hanyalah sesuatu yang biasa, remeh, dan lucu. Akhirnya, berita-berita kekerasan seksual hanya akan menumpulkan daya kritis dan rasa solidaritas kemanusiaan pembaca terhadap perempuan-perempuan korban kekerasan seksual.

Itu berarti di berbagai tempat, korban kekerasan seksual tidak mendapat dukungan yang cukup untuk menghadapi dan memperkarakan pelaku. Jadi jangan bertanya jika kasus kekerasan seksual terus terjadi di kampus-kampus perguruan tinggi.


Membentuk Satgas
Barulah tahun 2021 Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, melalui Peraturan Menteri No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi, membuat langkah maju yang perlu diapresiasi sekaligus mendukung untuk implementasinya.

Peraturan tersebut bertujuan menjadikan kampus bebas dari kekerasan seksual, sehingga sebagai institusi yang menghasilkan sumber daya manusia terdidik dan tercerahkan, lulusan perguruan tinggi diharapkan menjadi teladan dalam mempromosikan kehidupan bermartabat.

Adanya peraturan menteri tersebut, maka perguruan tinggi mempunyai pedoman untuk melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Salah satunya mensyaratkan pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Beberapa perguruan tinggi telah membentuk Satgas PPKS, namun setelah dibentuk keberadaan satgas seperti ada dan tiada.

Namun, sejumlah perguruan tinggi terkemuka sudah membentuk dan memperkuat Satgas PPKS, sebagai institusi yang benar-benar berfungsi mencegah dan menangani kekerasan seksual di lingkungan kampus. Satgas PPKS Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta adalah salah satu yang cukup maju.


Satgas PPKS Universitas Hasanuddin
Di Kawasan timur Indonesia, Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar telah membentuk Satgas PPKS pada akhir tahun 2022. Satgas PPKS Unhas beranggotakan 11 (sebelas) orang yang terdiri dari dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa, yang dipimpin oleh Prof. Dr. Farida Pattitingi, SH, M.Hum., yang juga adalah wakil rektor bidang sumber daya manusia, alumni, dan sistem informasi.

Penempatan dan penunjukan Farida Pattitingi, guru besar Ilmu Hukum, yang mempunyai jabatan penting, serta mempunyai jaringan yang luas, untuk memimpin Satgas PPKS Unhas, menunjukkan bahwa Unhas ingin menempatkan Satgas PPKS sebagai lembaga yang bekerja optimal dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di lingkungan Unhas.

Segera setelah dibentuk, Satgas PPKS Unhas bergerak cepat melakukan sosialisasi keberadaan Satgas PPKS Unhas dan kampanye pencegahan kekerasan seksual di lingkungan Unhas. Satgas PPKS Unhas juga menjalin kerjasama dengan Yayasan BaKTI untuk penguatan kelembagaan. Bersama Program INKLUSI (Kemitraan Australia Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif)-BaKTI, Satgas PPKS Unhas menyusun SOP (Standar Operasional Prosedur) Penanganan Korban Kekerasan Seksual dan Buku Panduan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Unhas.

Awal Juli 2023, Satgas PPKS Unhas bersama Program INKLUSI-BaKTI melakukan studi tiru atau belajar pada Satgas PPKS UGM. Satgas PPKS UGM adalah satgas yang telah dibentuk sejak tahun 2020 sebelum dikeluarkannya Peraturan Menteri No. 30 Tahun 2021. Bahkan beberapa Fakultas di UGM juga mempunyai Satgas PPKS dengan nama masing-masing, misalnya FCC (Fisipol Crisis Center).

Dengan belajar pada Satgas PPKS UGM, menurut Farida Pattitingi, Satgas PPKS Unhas ingin mengadopsi model pengembangan Satgas PPKS yang mempunyai kelembagaan yang maju. Satgas PPKS Unhas hendak memperkuat kelembagaan dan sumber daya manusia sesuai dengan standar-standar pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang telah diakui.

Farida Pattitingi menambahkan bahwa, Satgas PPKS Unhas masih baru dan sementara ini dalam pengembangan untuk menjadi Satgas PPKS yang secara kelembagaan dapat melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Unhas, tetapi juga diharapkan menularkan pengalaman dan pembelajarannya kepada perguruan tinggi yang ada di Kawasan timur Indonesia.

*****

Peraturan Menteri No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, menjadi lebih kokoh dan bertaji, karena pada tahun 2022, Pemerintah mengesahkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Tahun 2023, Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja.  

Sejumlah instrumen tersebut, ditambah dengan instrumen-instrumen lain yang terkait, diharapkan memperkuat perguruan tinggi dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Sebagai institusi yang memproduksi ilmuwan, pemikir, cendekiawan, agamawan, aktivis, teknolog, dan sebagainya, harus menjadi terdepan dalam mencegah kekerasan seksual. Pasalnya, kekerasan seksual tidak hanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan tindak pidana, tetapi juga merendahkan martabat kemanusiaan.

 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.