Saat duduk di bangku kuliah pada 2002, Arkilaus Kladit merasakan keresahan akibat maraknya pembalakan liar di hutan-hutan di Sorong Selatan. Arki, begitu ia akrab disapa, adalah warga Desa Sira dari Suku Kna, bagian dari wilayah adat Knasaimos, Kabupaten Sorong Selatan.
Keresahan akibat aksi pembalakan liar itu membuat Arki banyak berteman dengan aktivis lingkungan dan mulai belajar berorganisasi. Ia lalu memberanikan diri untuk meminta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Telapak dan Samdhana untuk membantu mendampingi masyarakat adat Suku Knasaimos menolak masuknya perusahaan perambah hutan. Paling tidak, upayanya ketika itu berhasil dengan ditangkapnya seorang pelaku pembalakan liar oleh Polda Papua Barat.
Keluarga Arkilaus Kladit (48) dipotret di bawah pohon merbau di hutan desa suku Kna di desa Manggroholo-Sira, distrik Saifi, Kab. Sorong Selatan, Papua Barat Daya. Foto: projectmultatuli.org
Keluarga Arkilaus Kladit dipotret di bawah pohon merbau di hutan Desa Suku Kna di Desa Manggroholo-Sira, distrik Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, 22 September 2023. Sejak 1998 Arki dan warga Desa Sira telah berhasil mempertahankan hutan dari illegal logging dan perusahaan sawit di wilayah adat suku Knasaimos. Pohon merbau yang terkenal dengan kayu besi sempat terancam punah akibat illegal logging di awal 2000an. Melalui skema hutan desa yang diakui KLHK pada 2014, masyarakat Manggroholo-Sira memperoleh rasa aman dalam mengelola & melindungi hutan seluas 3.500 hektar ini.
Kesadaran Arki berakar dari masa kecilnya. Pada 1976, pria yang kini berusia 48 tahun, menyaksikan bagaimana Dewan Adat Knasaimos menolak masuknya program transmigrasi, yang dipandang sebagai tolak ukur “ancaman dari luar.” “Secara adat, orang luar memang dilarang masuk hutan, karena bagi kami hutan adalah ibu yang menaungi dan memberi kami makan” kata Arki.
Tahun 2007, masyarakat Knasaimos menggelar deklarasi adat di Desa Sira-Manggroholo untuk menolak perambahan hutan dan upaya masuknya korporasi sawit. Para warga diedukasi soal perlindungan hutan berkelanjutan. Tujuannya agar mereka tidak tergoda dengan keuntungan finansial menjual tanah adat, tetapi berpikir jauh untuk kehidupan generasi selanjutnya.
”Warga sepakat, siapa yang menjual lahannya akan dikenai sanksi adat. Bisa berupa denda, bahkan pertaruhan nyawa. Keputusannya ditentukan dalam sidang adat,” ujar Arki yang kini menjabat sebagai pengurus Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA) Knasaimos.
Warga juga belajar pemetaan partisipatif bersama LSM Bentara Papua untuk menyepakati batas kepemilikan antar marga, demi mencegah konflik. Batas-batas alam, seperti pohon, batu, sungai dan kontur tanah, menjadi penanda antar lahan. Setelah itu, setiap marga menentukan area berkebun dan area perlindungan.
Arkilaus juga ikut merancang ide kesepakatan perwakilan marga agar kayu dari hutan hanya bisa dimanfaatkan oleh warga setempat dan tidak boleh dijual. Warga menyadari, ribuan pohon merbau, matoa, bintangur, dan damar yang tumbuh subur di hutan itu bernilai jual tinggi.
Setiap desa hanya boleh menebang kayu 50 meter kubik per tahun. Untuk membangun atau memperbaiki rumah, warga harus bergiliran mengambil kayu dari hutan. “Tantangan untuk memulai pemetaan partisipatif adalah pembahasan mengenai batas-batas wilayah antar marga karena membutuhkan penggalian sejarah yang hanya diketahui oleh warga sendiri,” kata Syafril dari LSM Bentara Papua.
Desa Sira dan Manggroholo adalah bagian dari wilayah adat Suku Knasaimos yang tersebar di dua distrik di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat. Dari 81.446 hektar luas wilayah adat Knasaimos, baru sekitar 3,500 hektar yang mendapatkan izin kelola hutan. Sira mengelola hutan seluas 1.850 hektar, sedangkan Manggroholo mengelola 1.695 hektar.
Tahun 2016, perjuangan Masyarakat Adat Knasaimos berbuah manis. Kementerian Kehutanan menerbitkan surat keputusan yang mempertegas status hutan desa mereka. Surat keputusan itu juga diperkuat dengan izin pengelolaan hutan desa yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua Barat, dua tahun kemudian.
Meskipun hanya berlaku selama 35 tahun, perizinan ini dirasa cukup memberikan rasa aman bagi masyarakat adat Knasaimos di Desa Manggroholo-Sira setelah lebih dari empat dekade berjuang mempertahankan wilayahnya.
Dalam 10 tahun terakhir, baru 14 marga yang wilayahnya sudah terpetakan. Sebab untuk memetakan wilayah satu marga saja membutuhkan waktu kurang lebih satu tahun. Sementara, ada 34 marga Knasaimos yang wilayahnya belum terpetakan.
Berselina Sremere, Otovina Kladit, Alex Srefle dan Hizkia Dua Srefle dipotret di depan sekolah mereka di desa Manggroholo. Foto: projectmultatuli.org
Perempuan Knasaimos
Sejak disahkan menjadi hutan desa, perempuan adat Sira-Manggroholo mendapat akses yang lebih luas untuk menjual sagu mentah hasil dari hutan mereka. Ragam olahan sagu berupa tepung, mie, kue, keripik hingga produk anyaman dari daun sagu itu tidak hanya dipasarkan di tingkat lokal tetapi mulai dipasarkan hingga lintas provinsi melalui jaringan LSM yang dimotori Bentara Papua.
Dian Wagafere), perempuan muda Desa Sira dan juga guru sekolah menengah pertama, mengatakan status hutan desa memberi peluang lebih bagi perempuan adat untuk berdaya, terlebih setelah berdirinya Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD).
Pohon sagu memiliki makna penting bagi masyarakat Papua. Serat batangnya diolah menjadi bahan pangan, pelepahnya berguna untuk meremas serat, daunnya digunakan untuk atap rumah dan pakaian. Sedangkan buah dan tunasnya menjadi bibit untuk ditanam kembali.
Desa Sira-Manggroholo dikelilingi dusun sagu seluas 120 hektar yang sudah ada secara turun temurun dan berkembang alami. Kepemilikannya dibagi dalam beberapa marga.
Satu pohon sagu membutuhkan luas sekitar tiga meter, setelah besar tunas baru akan menyebar di setiap sisi pohon. Hingga tahun lalu, dusun sagu Desa Manggroholo dan Sira telah ditanami pohon baru, meskipun prosesnya mandek saat pandemi.
Proses pengolahan sagu yang terkandung dalam satu mot (batang pohon) biasanya diselesaikan selama dua minggu. Satu mot ditokok (pengikisan batang sagu) menjadi ela (serat pohon sagu). Ela kemudian diperas di atas pelepah dengan campuran air hingga menghasilkan goti (santan sagu), lalu disaring hingga menghasilkan butiran sagu.
Dian mengatakan mayoritas pembuatan sagu dikerjakan perempuan, di sela-sela tanggung jawab mereka mengurus anak dan rumah tangga. Sementara laki-laki mengurus kebutuhan lain seperti berburu dan berkebun di hutan.
(bersambung)
Sumber: