Kak Lily, Warisan Ruang Aman, dan Perjuangan Melawan Dominasi: Sebuah Obituari
Penulis : Aulia Adam
  • Foto: Dok. Magdalene.co
    Foto: Dok. Magdalene.co

Kepergian Lily Yulianti Farid membawa duka besar buat dunia literasi dan kebudayaan kita.

“Lily sudah tiada. Innalillahi wainnailaihi rajiun. Dia berangkat dengan tenang. Didampingi saya dan Fawwaz. Pukul 1 pagi hari Jumat 10 Maret 2023. Di Rumah Sakit Peter MacCallum Cancer Centre di Melbourne,” tulis Farid Ma’ruf Ibrahim, mengabarkan kepergian istrinya, Lily Yulianti Ibrahim, seorang penulis, peneliti, aktivis literasi, dan pendiri Makassar International Writers Festival.
Kabar itu mengejutkan banyak orang. Lily memang tengah sakit, melawan kanker ovarium. Namun, dari postingan terakhirnya di Instagram hampir sebulan sebelum kepergiannya, Lily masih tampak semangat dan bahagia menyambut proyek penelitian terbarunya, sebuah film dokumenter tentang hubungan suku Aborigin di Australia dan Makassar.

“Dia pergi, meninggalkan saya dan sahabatnya yang lain. Begitu Cepat,” tulis Aan Mansyur, penulis kenamaan asal Makassar yang adalah sahabat Lily.
Di Instagramnya, Aan mengenang Lily sebagai sahabat baik dengan mimpi yang sama. Mereka telah berkawan sejak Lily masih tinggal di Tokyo, delapan belas tahun lalu. “Kami memiliki sejumlah mimpi yang sama. Namun, baginya, harapan adalah sesuatu yang harus terus secara aktif dikerjakan,” tulis Aan, mengenang Lilly.
Di Makassar, nama Lily memang besar dan harum karena kontribusinya di dunia literasi. Terutama setelah pada 2011 lalu, ia mendirikan Makassar International Writers Festival (MIWF). Di sana, ia merawat literasi dan komunitas penulis Timur. Mereka sering mengangkat dan mengkritisi ketimpangan di dunia literasi Indonesia yang masih bias Jawa-sentris.


Dedikasi dan Kecintaan pada Dunia Literasi
Tak cuma MIWF, bersama sutradara Riri Riza, Lily juga mendirikan Rumata Artspace, sebuah rumah budaya yang dikelola dengan sebagian besar pendanaan publik. Di sana mereka juga punya South East Asian Screen Academy (SEAscreen), yang jadi tempat pelatihan dan pengembangan pembuat film di Makassar, merawat bahasa ibu Sulawesi Selatan lewat BASAsulsel, dan merawat narasi lokal yang terpinggirkan di konteks nasional lewat Bacarita Digital.

Lily—yang akrab dipanggil Kak Lily oleh kawan-kawan terdekatnya—memulai karier sebagai jurnalis di Kompas pada 1995. Ia lalu melanjutkan karir di Australian Broadcasting Corporation (Radio Australia dan Online News, Indonesian Service), Japan Broadcasting Corporation, dan Morning Daily Kompas.
Ketertarikan pada isu-isu gender, membuat Lily meneruskan pendidikan S2 di Gender and Development Studies. Dan meneruskan pendidikan doktoralnya di bidang Gender dan Media di Melbourne, Australia.

Lily juga dikenal sebagai penulis karya fiksi yang mengangkat kisah hidup perempuan-perempuan di Makassar. Makkunrai dan 10 Kisah Perempuan Lainnya (2008) jadi kumpulan cerpen pertama Lily yang diterbitkan. Setelah itu, ia menulis Family Room (2010) dan Ayahmu Bulan, Engkau Matahari: Sebuah Kumpulan Cerpen (2012).
Penulis dan akademisi Intan Paramaditha mengenang Lily sebagai “Partner in crime” dalam mendobrak patriarki di dunia literasi Indonesia. Mereka pertama kali bertemu pada 2016, saat Intan baru pindah dari Amerika ke Australia. Bersama-sama, keduanya menginisiasi PERIOD, sebuah kelas menulis dan diskusi. Tujuannya untuk mempromosikan pikiran kritis dan kerja-kerja perempuan, penulis dari Timur Indonesia, dan suara-suara non-dominan.
“Mimpi kami sama: membuat lebih banyak lagi ruang seni dan budaya buat feminis, keragaman, dan non-Jawasentris,” tulis Intan di Instagramnya, mengenang sang sahabat.

Beberapa program PERIOD dibawakan Lily dan Intan di MIWF. Lily juga beberapa kali diajak Intan menyumbangkan pikirannya di Sekolah Pemikiran Perempuan, sebuah ruang aman kritis lain yang digagas Intan dan sejumlah perempuan penulis serta akademisi.

Saat mendapat kabar kepergian Lily, Intan tengah bersiap untuk mengajar. Hari itu, kelasnya akan membahas gender, road movies, dan Thelma and Louise (1991), sebuah film feminis tentang pertemanan perempuan. Intan tak bisa menahan tangis di tengah kelas.

“Kak Ly, terima kasih atas campur tangan feminismu dan MIWF sebagai warisanmu. Seperti Thelma dan Louise, kau akan “terus ada”. Perempuan-perempuan yang menyediakan ruang buat yang lain, seperti Toeti Heraty, sedang menunggu untuk merayakan hidupmu yang begitu berarti,” tutup Intan.

Artikel ini bersumber dari https://magdalene.co/story/obituari-lily-yulianti-farid

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.