Jangan Sepelekan Hoax dan Misinformasi Mengenai Kesehatan!
Penulis : Halia Asriyani

“Jangan minum air dingin usai makan agar tidak kena penyakit jantung.”
“Vaksin HPV menyebabkan menopause dini.”
“Cek gula darah gratis sebabkan penularan virus HIV.”
 

Demikianlah sejumlah informasi hoaks mengenai kesehatan. Di era digital saat ini, di mana akses untuk terhubung ke internet kian mudah, masyarakat akan semakin mudah pula terpapar berbagai informasi. Berdasarkan laporan Profil Internet Indonesia 2022 yang dirilis oleh Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia atau APJII, belum lama ini, menyebutkan bahwa tingkat penetrasi internet di Indonesia mencapai mencapai 210.026.769 jiwa atau setara dengan 77,02% dari total populasi Indonesia. Di Provinsi Sulawesi Selatan sendiri, angka penetrasi internet sendiri adalah 75,05%.

Sementara itu, angka penetrasi internet berdasarkan demografi menunjukkan bahwa pengguna internet terbanyak adalah masyarakat di rentang usia 13-18 tahun yaitu 99,16%, disusul masyarakat usia 19-34 tahun sebanyak 98,64%. Konten internet yang paling sering diakses sendiri adalah media sosial sebanyak 89,15%. Berdasarkan data-data yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia sebagian besar sangat dekat dengan internet dan mengakses konten di media sosial mereka setiap hari. Dengan begitu, kemungkinan masyarakat terpapar hoaks dan misinformasi pun sangat besar. Hoaks secara umum adalah informasi yang tidak benar dalam bentuk pemutarbalikan fakta, pengaburan informasi, ataupun penyampaian informasi palsu. Sedangkan misinformasi adalah informasi yang keliru, tetapi orang yang menyebarkannya mempercayai bahwa itu benar, sehingga terus menyebarkan informasi tersebut.

Sebuah survei yang dilakukan oleh tim literasi digital dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menguak informasi bahwa 82,8% alasan masyarakat Indonesia menggunakan media sosial adalah untuk membantu dalam komunikasi dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sudah cukup terbiasa berinteraksi di ranah maya dengan bantuan media sosial. Meskipun begitu, era digital juga menghadirkan problematika tersendiri terkait banjirnya arus informasi yang terlalu mudah mengalir. Dari ratusan hingga ribuan informasi yang diterima oleh seseorang setiap harinya, selalu ada saja kemungkinan bahwa informasi tersebut merupakan suatu kesalahan. Bukan hanya informasi politik, salah satu sasaran utama hoaks juga adalah informasi kesehatan. Hal ini karena kesehatan menyangkut unsur mendasar kehidupan dan sangat mudah untuk menimbulkan pesan yang tak jarang bersifat provokatif.
 
Kenapa Hoaks dan Misinformasi Mudah Menyebar?
Jika saat ini kita dengan mudah memperoleh informasi melalui gawai dengan membuka kanal berita online, media sosial, maupun sebaran informasi di grup-grup pertemanan, maka semudah itu pulalah sebuah informasi hoaks dapat menyebar. Menyebarnya hoaks dan misinformasi bisa disebabkan sejumlah hal. Biasanya seseorang menyebarkan informasi karena ingin mendapatkan perhatian, yaitu menjadi yang pertama membagikan sehingga orang lain akan merujuk dirinya. Alasan inilah yang sering menyebabkan seseorang tidak mengecek ulang sebelum menyebarkan. Alasan lainnya adalah secara emosional terpancing sehingga tanpa berpikir panjang segera meneruskan. Terdapat pula alasan sengaja menyebarkan informasi yang tidak benar dengan maksud politik, ekonomi, atau menimbulkan keresahan. Bahkan mungkin untuk menutupi fakta yang sebenarnya. Sedangkan mengenai informasi kesehatan, sebenarnya seseorang sering menyebarkan dengan maksud baik, yaitu untuk memberikan informasi yang bermanfaat bagi sekitarnya. Namun, tanpa disadarinya ternyata informasi tersebut tidak benar.

Hal ini dipicu perkembangan literasi digital masyarakat tidak seiring dengan arus perkembangan teknologi yang sangat pesat. Literasi digital tidak dapat dipisahkan dari dunia media sosial karena sebagian besar orang Indonesia mengakses akun media sosial saat menggunakan internet. Dalam menggunakan media sosial, tidak semua orang menggunakannya dengan bijak karena merasa berhak untuk bebas berpendapat. Pada akhirnya, muncul kasus-kasus kebebasan berpendapat yang tidak bertanggung jawab di media sosial.

Kebebasan berpendapat sendiri dijamin oleh Pasal 19 Deklarasi Universal HAM dan Pasal 28E UUD 1945 mencakup kebebasan untuk berpendapat tanpa intervensi dan untuk mencari, menerima, dan berbagi informasi dan ide melalui media apapun dan tanpa memandang batas negara. Kebebasan ini terdiri dari dua bentuk, yaitu kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pada kebebasan berpendapat, individu berhak menyampaikan opininya melalui ucapan, tulisan, atau lain sebagainya. Sedangkan kebebasan berekspresi mencakup ekspresi yang lebih luas, termasuk melalui materi audiovisual, ekspresi budaya (tarian dan lagu), artistik maupun politik, serta gerakan lainnya melalui tagar dan aksi sosial. Semua ini menjadi lebih mudah dilakukan dengan perantara media sosial.

Meski demikian, penggunaan media sosial sebagai kanal kebebasan berpendapat tetap diasosiasikan pada keuntungan dan kerugian. Di satu sisi, media sosial dapat dilihat sebagai satu langkah lebih dekat dengan demokrasi pada internet, dan menutup kesenjangan digital antara negara berkembang dan negara maju karena akses pada informasi yang memadai. Namun, di sisi lain, media sosial juga menjadi kanal penyebaran hoaks dan misinformasi yang sangat masif. Karena itu, semua orang perlu menyadari bahwa hak kebebasan tersebut tidak absolut karena diiringi oleh tanggung jawab. Setiap orang memiliki tanggung jawab atas apa yang mereka sebarkan di media sosial. Tak terkecuali informasi kesehatan yang mungkin kita anggap sebagai informasi penting untuk segera di sebar. Jadi tunggu dulu, tahan sebentar jempolmu! Karena hoaks dan misinformasi kesehatan punya efek yang cukup serius bagi masyarakat.
 
Dampak Hoaks dan Misinformasi Kesehatan
Asosiasi Penyedia Jasa Internet merilis melalui Profil Internet Indonesia pada tahun 2022 yang menyatakan bahwa informasi layanan kesehatan di internet merupakan kategori konten yang paling banyak dikunjungi atau diminati oleh masyarakat yaitu di angka 26,11 %. Dibandingkan dengan layanan hukum maupun administrasi kependudukan yang masing-masing di angka 4,72% dan 15,29%. Dengan begitu, kemungkinan masyarakat untuk terpapar hoax dan misinformasi kesehatan menjadi sangat besar. Terlebih lagi pada masa pandemi ini. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat bahwa Mulai tahun 2020, terdapat sejumlah 2.217 hoaks terkait COVID 19 dan telah beredar lebih dari 6.000 kali di media sosial.

Terdapat sejumlah bentuk berita hoaks dan misinformasi kesehatan yang paling sering ditemui. Pertama, informasi mengenai pengobatan alternatif yang bermanfaat bagi kesehatan (misalnya memijat telapak kaki dapat mengobati penyakit saraf); kedua, berupa larangan terhadap sesuatu karena berdampak pada kesehatan (misalnya larangan untuk mengonsumsi MSG karena berbahaya untuk otak); ketiga, informasi mengenai larangan untuk mengonsumsi sesuatu secara bersamaan (misalnya larangan untuk mengonsumsi mie instan dan coklat secara bersamaan yang dapat menyebabkan keracunan); keempat yaitu informasi mengenai manfaat obat herbal (misalnya daun sirsak dapat mengobati kanker).

Sementara itu, dampak hoaks dan misinformasi di dunia kesehatan tidak dapat dianggap sepele. Banyak sekali info yang tidak benar tentang kesehatan menyebar tanpa terkendali dan bahkan informasi itulah yang dipercaya oleh masyarakat. Tersebarnya informasi tidak benar mengenai kesehatan ini menyebabkan timbulnya kekeliruan asumsi di masyarakat sehingga justru membahayakan bagi kesehatan. Bahkan tidak sedikit masyarakat menjadi korban karena sebaran hoaks dan misinformasi kesehatan yang mereka terima.

Hoaks dan misinformasi kesehatan ini bukan hanya berdampak bagi masyarakat yang terpapar informasi, melainkan juga bagi tenaga maupun layanan kesehatan secara umum. Kurangnya kepercayaan masyarakat pada tenaga dan layanan kesehatan merupakan salah satu dampak dari hoaks dan misinformasi kesehatan ini. Masyarakat menjadi percaya atas informasi kesehatan yang disampaikan oleh orang lain ketimbang tenaga kesehatan. Masyarakat pun jadi enggan untuk datang ke layanan kesehatan, bahkan cenderung tidak mencari informasi pada tenaga kesehatan. Akibatnya, cakupan kesehatan masyarakat sulit dicapai dengan maksimal.
 
Bagaimana Menghadapi Hoaks dan Misinformasi Kesehatan
Menghadapi hoaks dan misinformasi di tengah badai informasi dan teknologi ini sebenarnya bukanlah hal yang mudah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah peningkatan literasi digital masyarakat. Literasi digital diartikan sebagai kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum sesuai dengan kegunaannya dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.

Literasi digital memiliki arti penting dalam kehidupan komunikasi karena tiga alasan. Pertama, penggunaan media digital khususnya internet dan media sosial yang semakin intens dalam kehidupan sehari-hari. Rasanya, gawai menjadi perangkat yang tidak boleh tertinggal serta menjadi media yang paling diandalkan sebagai sarana berkomunikasi serta mencari informasi. Media digital berkembang dengan sangat cepat, dengan tawaran informasi dan konten lainnya yang terus menerus diproduksi tanpa mengenal batasan jarak dan waktu. Pembaharuan informasi bahkan terjadi dalam hitungan detik, dari banyak sumber dan platform yang tersedia.

Kedua, ketergantungan masyarakat terhadap situs mesin pencari dan platform media sosial untuk mencari informasi. Tampaknya, internet menjadi media baru yang menawarkan solusi atas segala pencarian informasi masyarakat. Internet menjadi unggul karena waktu penyediaan informasi yang cepat dan kemudahan aksesnya. Demikian halnya dengan media sosial sebagai kanal akses informasi alternatif.

Ketiga, untuk menyeleksi informasi dari banyaknya sumber yang ada, individu memerlukan kecakapan atau kemampuan spesifik. Dengan tersedianya aneka jenis informasi, perlu adanya kecakapan khusus yang ditunjang dengan literasi digital. Dengan memiliki kecakapan tersebut, individu akan memiliki kontrol lebih pada proses interpretasi pesan sehingga dapat menyeleksi informasi atau konten tertentu dengan akurat.

 
Program SBC (Social Behaviour Change) Kerja Sama UNICEF dan Yayasan BaKTI untuk Menanggulangi Hoaks dan Misinformasi Kesehatan
Program SBC kerja sama UNICEF-Yayasan BaKTI dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, berfokus pada penanggulangan hoaks dan misinformasi kesehatan melalui peningkatan literasi digital masyarakat. Program yang akan berlangsung pada Januari-Mei 2023 ini dijalankan di empat wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Kota Makassar, Kabupaten Maros, Bone dan Wajo.

Sejumlah tenaga kesehatan, kader masyarakat, perwakilan kelompok masyarakat dan kaum muda akan dilatih meningkatkan kemampuan literasi digital mereka dalam menghadapi hoaks dan misinformasi kesehatan. Di samping itu, para peserta juga akan memperoleh peningkatan kapasitas mengenai KAP (Komunikasi Antar Pribadi) agar pengetahuan yang diperoleh dapat dibagikan kepada masyarakat di sekitar mereka. Harapannya dengan upaya ini, kemampuan literasi digital masyarakat bisa meningkat dan capaian kesehatan masyarakat ikut meningkat pula.

Program ini hadir berdasarkan kondisi yang telah dipaparkan di atas. Upaya penanggulangan hoaks dan misinformasi ini memang bukan pekerjaan mudah. Ada banyak sekali faktor yang harus ditanggulangi, mulai dari penggunaan teknologi, akses kanal dan informasi, hingga pengguna informasi itu sendiri. Apa yang akan dilakukan oleh program SBC kerja sama UNICEF-Yayasan BaKTI ini sendiri pun bukanlah hal yang baru, upaya yang sama tentu telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Namun, proses pembelajaran secara terus menerus sangat dibutuhkan dalam hal ini. Upaya penanggulangan hoaks dan misinformasi harus terus berjalan, seiring perjalanan kemajuan teknologi dan era digital yang kian pesat.

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.