• https://www.istockphoto.com/
    https://www.istockphoto.com/

Saya adalah anak pertama perempuan, cucu pertama, dan tentu adalah keponakan perempuan pertama juga. Kalau dilihat dari silsilah keluarga ayah saya yang adalah anak pertama juga. Tentu tidak mudah menjadi yang pertama dan jika kamu juga adalah “perempuan”. Seperti ada pesan tidak tertulis yang lahir bersama-sama dengan dirimu ke dunia ini untuk menjadi panutan dan contoh yang baik untuk adik-adik.

Beberapa aturan atau pada beberapa orang, seabrek aturan bakal ia dapatkan. Kata “jangan” jadi kata yang familiar. Sebuah kata pendek penuh makna yang artinya yah pasti tidak boleh dilakukan atau harus melakukan segala sesuatu sesuai dengan aturan dan kebiasaan yang “normal” di masyarakat. Salah satunya yang familiar bagi saya dan (mungkin) bagi sebagian perempuan adalah “jangan keluar malam, kamu itu perempuan”.

Saya mengerti selain kalimat larangan, kalimat itu sebenarnya punya banyak sekali makna tersembunyi. Ketakutan, kekhawatiran, kecemasan. Mendengar kalimat larangan tersebut, rasa-rasanya ingin menyahutinya dengan sepenggal lirik lagu milik Melly Goeslaw dan Gita Gutawa yang bilang memang kenapa bila aku perempuan? Apa sih hubungannya perempuan dan malam? Ada apa antara perempuan dan gelap? Apakah karena perempuan makhluk yang bisa merasakan rasa terbakar ketika terkena cahaya bulan? Berubah menjadi serigala?

Saya pernah iseng tanya ke tante saya yang bilang ke saya untuk sebaiknya tidak keluar di malam hari. Beliau menjawab cukup singkat.

“Perempuan rentan kena kejahatan. Takut diperkosa”.

Akhirnya saya mengerti. Gelap, malam jadi momok mengerikan lainnya bagi perempuan. Kejadian kekerasan seksual tentu terjadi kapan saja dan dimana saja. Namun, gelap dan malam menambah ngeri kejadian ini. Hasil wawancara Presiden Grab Indonesia pada tahun 2019 pun mengatakan bahwa mereka sering mendapatkan laporan terkait kekerasan seksual pada malam hari dengan rentang waktu antara jam 11.00 sampai 11.30. Gelap dan malam dilihat sebagai “bonus” tambahan bagi pelaku untuk melancarkan aksinya.

Dunia jadi tempat yang mengerikan bagi perempuan. Bayangkan saja, dari lahir sudah diatur bagaimana harus berpakaian, dibebani pekerjaan domestik, dipersempit ruang bicara, dibungkam suaranya, dikerdilkan posisi dan statusnya. Belum lagi jika menjadi korban didiskriminasi dan mendapat stigma.

“Pokoknya salah perempuan. Siapa suruh kamu lahir sebagai perempuan!”. Padahal, kejadian kekerasan seksual yang didapatkan oleh pihak Grab Indonesia bukan adalah kesalahan dari penyintas yang mayoritasnya adalah perempuan, tapi adalah kesalahan pelaku. Mengambil kesempatan, menciptakan momok mengerikan soal malam, dan berdalih kenapa perempuan harus pulang di malam hari. 

Menurut Badan Pusat Statistik tahun 2022, jumlah pekerja perempuan mencapai 52,74 juta pekerja di Indonesia. Sebagian besar dari mereka harus bekerja sampai larut malam atau bekerja di saat matahari belum keluar sampai paginya. Beberapa harus menempuh perjalanan cukup jauh dengan transportasi publik hingga larut malam.

Sering pernyataan yang terlontar keluar ketika ada kasus kekerasan seksual pada perempuan adalah “siapa suruh keluar malam-malam”. Ini semakin mempertegas bahwa perempuan itu memang tidak cocok dengan malam. Apalagi jika perempuan itu pergi sendirian. Stigma ini terus melekat sampai sekarang. Padahal, berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Koalisi Ruang Publik Aman pada tahun 2019, waktu kejadian kekerasan seksual terbanyak pada siang hari.

Pelekatan stigma seperti ini hanya semakin memundurkan kita dari zaman yang semakin canggih, menaruh perempuan di posisi yang rendah, menciptakan ruang yang tidak aman bagi penyintas, dan membenarkan apa yang dilakukan oleh pelaku kekerasan seksual. Larangan keluar malam tidak hanya membatasi kebebasan perempuan, tetapi juga menciptakan rasa takut yang berkelanjutan. Belum lagi stigma 'perempuan nakal' yang dilekatkan pada perempuan yang keluar malam. Gail Pheterson (1994), dalam tulisannya "The Whore Stigma: Female Dishonor and Male Unworthiness", telah menggarisbawahi stigma sosial yang melekat pada perempuan yang bepergian di malam hari. Ia berargumen bahwa perempuan yang pulang larut malam seringkali diasosiasikan dengan pekerja seks komersial, terutama jika mereka berkeliaran sendirian di jalanan. Korelasi ini semakin diperkuat oleh sebutan "kupu-kupu malam" yang umum digunakan dalam masyarakat kita untuk merujuk pada pekerja seks komersial.

Agaknya aneh jika perempuan yang harus mengurung diri di rumah karena takut akan bahaya di luar. Padahal, yang seharusnya kita lakukan adalah membuat dunia luar menjadi tempat yang aman bagi semua, bukan? Dan, apakah dengan membatasi kebebasan perempuan, kita sebenarnya sedang meragukan kemampuan mereka untuk menjaga diri? Nyatanya, kekerasan seksual bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja. Melarang perempuan keluar malam belum tentu juga adalah solusi yang tepat untuk terhindar dari kekerasan seksual. Jadi ingat ada kalimat yang bilang, “don’t just protect your girl, but educate your son too”.

Perlu kerja sama dari semuanya untuk menciptakan ruang publik yang lebih aman bagi perempuan, kita perlu mengintegrasikan pendidikan gender ke dalam kurikulum sekolah, menyelenggarakan kampanye kesadaran tentang kekerasan seksual secara berkala, dan mendukung kelompok-kelompok yang bekerja untuk mempromosikan kesetaraan gender. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang lebih tegas dalam menangani kasus kekerasan seksual dengan membentuk satuan tugas khusus untuk menangani kasus kekerasan seksual, menyediakan layanan bantuan hukum dan psikologis bagi korban secara gratis, dan melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan terkait keamanan perempuan.

Masyarakat perlu mengubah mindset dengan menghentikan pembiaran terhadap tindakan kekerasan, menghindari penggunaan bahasa yang merendahkan perempuan, dan mendukung upaya-upaya untuk menciptakan lingkungan yang inklusif. Dan kita sebagai individu, perlu menjadi role model bagi orang lain, menolak segala bentuk diskriminasi gender, dan membangun jaringan dukungan bagi korban kekerasan seksual.

Alih-alih membatasi perempuan, bukankah lebih baik kita menciptakan lingkungan yang memungkinkan semua orang, termasuk perempuan, untuk bergerak bebas dan aman pada malam hari?

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.