Bagi perempuan, masuk ke dunia politik sama saja terjun ke medan perang karena yang mereka lalui tak semulus calon legislatif (caleg) laki-laki. Banyak dari mereka harus bergulat sejak dalam ranah domestik, menghadapi tantangan kultural, struktural hingga institusional dari dalam dan luar partai.
GUNA meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, sejak 2008, kebijakan afirmasi diterapkan melalui kewajiban kuota pencalonan perempuan minimal 30 persen di setiap daerah pemilihan (dapil). Selain itu, juga terdapat pemberlakuan zipper system, yakni dari setiap tiga calon yang dicanangkan partai, wajib terdapat setidaknya satu perempuan.
Namun, hingga 2019, hanya segelintir DPRD kabupaten/kota maupun provinsi yang memiliki keterwakilan perempuan setidaknya 30 persen. Masih banyak kabupaten/kota yang memiliki keterwakilan perempuan di bawah 20 persen.
Di DPR, meski ada peningkatan jumlah anggota perempuan dari hanya 44 dari 500 kursi di tahun 1999 menjadi 118 dari 575 kursi di 2019, keterwakilan perempuan masih mentok di 20 persen.
Siti Wadiatul Hasanah, Nusa Tenggara Barat
MELAKONI susahnya mengambil hak politik pada pemilu sudah pernah Siti Wadiatul Hasanah rasakan pada 2014. Wadiah mencoba nyaleg lewat Partai Bulan Bintang (PBB).
Akan tetapi, keterwakilannya hanya pelengkap. Pendanaan selama pencalonan yang dijanjikan oleh partai tidak ditepati.
Siti Wadiatul Hasanah, bakal caleg DPRD Lombok Barat pada Pemilu 2024. (Project M/Irwan Setyawan)
“Dijanjikan biaya, tapi hanya pengurusan SKCK dan kesehatan saja ternyata. Selebihnya tidak ada,” kata Wadiah.
Wadiah kapok. Ia menyimpulkan politik itu kotor. “Segala sesuatu bisa dihalalkan, gitu,” ujarnya.
Ibu satu anak ini lantas mengalihkan sakit hatinya dengan menyibukkan diri di kegiatan sosial melalui Solidaritas Perempuan (SP) Mataram, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang fokus pada pemberdayaan dan advokasi perempuan buruh migran yang sedang menghadapi masalah.
Ia punya perhatian khusus pada isu perburuhan. Wadiah pernah menjadi salah satunya, sekitar 2010-2012. Ia bekerja sebagai pekerja migran di Yordania. Selama bekerja, ia tak pernah tahu proses perekrutannya ilegal. Hal itu baru diketahuinya saat keberangkatannya dari Jakarta sempat ditunda sampai enam kali.
“Saya tidak tahu kalau Yordania itu masuk sebagai negara yang kena moratorium,” katanya. Beruntung, majikan di negara tujuan memperlakukannya sebagaimana mestinya.
Makanya, ia paham betul kendala yang sering dihadapi perempuan pekerja ketika berada di negeri orang. Apalagi Provinsi NTB adalah daerah dengan jumlah pengiriman buruh migran terbanyak ketiga di Indonesia. Karena kasus yang cukup tinggi itu, pendampingan dilakukan untuk membantu masyarakat yang ingin mengadu nasib ke negeri orang atau yang sedang mengalami masalah.
“[Isu] buruh migran ini asyik untuk ditelusuri. Karena sebenarnya ada banyak hal yang membuat sampai buruh migran ini dikatakan ilegal,” katanya.
Sekitar lima tahun berdedikasi di SP Mataram menjadi koordinator program, pada 2021, Wadiah bersama suaminya membentuk lembaga sendiri, Yayasan Migran Al-Kautsar, agar bisa lebih fokus memberikan pendampingan kepada buruh migran yang sedang mendapatkan masalah.
“Kita ada lembaga tapi tidak keluar akta notarisnya dari Kemenkumham. Tetap pada khitahnya untuk pendampingan buruh migran,” katanya.
Kerja-kerja Yayasan Migran Al-Kautsar tak jauh berbeda dengan SP Mataram. Pendampingan yang dilakukan berupa mediasi kepulangan hingga melakukan sosialisasi agar tidak ada lagi buruh migran yang diberangkatkan ke negara tujuan secara ilegal atau non-prosedural.
Perjalanannya mengadvokasi hak-hak buruh memantiknya untuk bergerak lebih jauh. Keinginannya untuk ikut menentukan arah kebijakan pro-buruh melalui kursi politik kembali hadir.
Kali ini, Wadiah bergabung Partai Buruh, dengan ikhtiar mengisi kursi untuk DPRD di Lombok Barat pada Pemilu 2024. Keputusannya itu diambil karena melihat visi dan misi Partai Buruh yang sama dengan aktivitas yang selama ini ia jalankan.
“Partai baru yang visi misinya sejalan dengan apa yang menjadi pemikiran kami. Dan kebetulan suami jadi pengurus harian di provinsi dan menawarkan kepada saya untuk nyaleg di tingkat kabupaten,” kata Wadiah.
Belajar dari pengalaman sembilan tahun silam, Wadiah menolak untuk dianggap sebagai pelengkap partai. Ia tak ingin menggantungkan pendanaan pencalonan sepenuhnya dari partai. Terlebih Partai Buruh masih menjadi partai yang baru berdiri di Indonesia.
Soal dana, ia mengaku tidak punya modal besar kecuali investasi sosial yang selama ini ia jalankan. Bakal caleg dari Dapil Gunung Sari dan Batu Layar Kabupaten Lombok Barat ini meyakini perjuangannya mendampingi isu buruh selama beberapa tahun silam ini bisa menjadi modal untuk bisa mencapai kemenangan.
“Memang betul saya tidak punya investasi uang, tapi investasi sosial yang saya miliki,” tuturnya.
Wadiah mengatakan tantangan terbesar di lapangan adalah kesadaran masyarakat terhadap politik yang masih kurang. Masih banyak dari mereka yang hubungan politisi dengan masyarakat adalah sebatas transaksi politik.
“Mereka berpikir ada uang kita terima, tidak ada uang tidak kita pilih,” kata Wadiah.
Kendati begitu, Wadiah melihat sedikit harapan dari imbas transaksi politik tersebut. Menurutnya, ada sebagian masyarakat yang akhirnya mulai bisa menerima perempuan maju sebagai wakil dalam menyuarakan aspirasi mereka.
“Saya lihat banyak juga caleg lagi yang tidak sesuai dengan yang apa janjikan. Dari awal sudah enak dan ketika sudah terpilih lain cerita. Tapi, tidak menutup kemungkinan caleg perempuan juga ada yang seperti itu,” katanya.
Terlepas dari berbagai tantangan, Wadiah bersyukur ia punya dukungan penuh dari keluarganya.
“Saya sama suami sudah saling memahami dan kita sudah bangun komunikasi dari dulu.”
Politik Internal dan Maskulinitas Partai
Usai Pemilu 2019, Esti dipercaya menjadi bagian dari pengurus partai di Sidoarjo, yang menurutnya dapat terjadi karena suara yang ia dapatkan cukup banyak.
Masuk ke struktural partai bukan hal mudah bagi perempuan, meski telah ada aturan keterwakilan perempuan sebesar 30 persen di kepengurusan partai.
Posisi strategis ini membuat Esti berharap ia bisa mengamankan kursi untuk pertarungan pada Pemilu 2024. Di dapilnya, dari partainya ada lima caleg perempuan dan tiga laki-laki, namun dua caleg perempuan di antaranya tidak akan serius bertanding dan hanya berfungsi untuk mengisi kuota. Hal ini masih menjadi praktik umum di kalangan partai.
Untuk itu, Esti berharap partai merekrut kader perempuan sejak dini untuk regenerasi, dan bukan justru merekrut perempuan menjelang Pemilu saja. Pembekalan pengetahuan politik sejak awal kepada perempuan belum dianggap penting oleh partai yang didominasi laki-laki, maupun masyarakat pada umumnya.
“Karena, pertama, perempuan itu sangat sulit untuk mendapatkan izin dari suami. Di Sidoarjo, agamis masih kuat. Jadi mereka memandang perempuan itu tidak selayaknya duduk di parlemen,” tutur Esti.
World Value Survey tahun 2005 hingga 2022 yang dikutip dalam laporan Westminster Foundation for Democracy menunjukkan lebih dari 50 persen responden lebih memilih laki-laki sebagai pemimpin politik dibandingkan perempuan. Preferensi ini meningkat 14 persen di antara tahun 2006 dan 2018, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia.
Laporan ini juga menekankan keterkaitan preferensi ini dengan tingkat religius masyarakat, meski juga tidak menampik fakta bahwa organisasi Islam telah berperan penting dalam mendukung caleg perempuan.
“Patriarki itu memang masih terasa karena politik dan partai politik kita masih amat maskulin. Jadi terkadang pengambilan keputusan itu nggak melibatkan perempuan,” terang Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati.
Kuota Caleg Perempuan yang Semakin Turun
Di tengah minimnya keterwakilan perempuan, partai politik malah berupaya menurunkan kuota, alih-alih menggencarkan edukasi dan sosialisasi politik ke publik.
Upaya itu tercermin dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang muncul setelah melalui konsultasi dengan Komisi II DPR dan pemerintah.
Pasal 8 Ayat (2) dari peraturan tersebut mengatur hasil perhitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil jika terdapat angka pecahan. Apabila dua angka di belakang koma kurang dari 50, maka hasil perhitungan dibulatkan ke bawah. Jika angkanya 50 ke atas, maka dibulatkan ke atas. Hal ini berbeda dari aturan sebelumnya yang mengatur pembulatan ke atas, terlepas dari angka di belakang koma.
Berdasarkan perhitungan Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, dapil dengan jumlah caleg empat, tujuh, delapan, dan 11 bisa terdampak karena representasi perempuan menjadi kurang dari 30 persen (lihat tabel di bawah).
Jika disimulasikan dengan kursi DPR, maka aturan ini akan berdampak pada pencalonan perempuan di 38 dapil. Perhitungan ini belum memasukkan dapil DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, yang artinya bisa berdampak pada kandidasi ribuan perempuan, jelas Titi Anggraini dari Perludem yang tergabung dalam koalisi.
Titi menyatakan sulit berharap KPU mau konsisten ataupun progresif dalam pembentukan regulasi pemilu yang berkualitas dan demokratis, karena Pemilu hanya dianggap sebagai rutinitas tanpa adanya basis ideologi demokrasi yang kuat.
“Problem terbesar saya kira karena faktor kemandirian yang buruk. Sehingga sangat tersandera pada apa yang dimau oleh partai-partai parlemen,” ujar Titi.
Sementara itu, Khoirunnisa menyayangkan bahwa partai politik cenderung menganggap memenuhi kuota caleg perempuan sebagai sebuah kesulitan, ketika partai baru sibuk mencari kandidat mendekati pendaftaran. Alih-alih mengevaluasi kinerja partai dalam merekrut perempuan yang belum dilakukan dengan serius, justru aturan yang merugikan perempuan yang didorong.
“Kalau partai kemudian ujug-ujug minta pokoknya kami mau perempuan yang bagus, pertanyaannya udah melakukan apa dulu untuk perempuan-perempuan ini?” ujar Khoirunnisa.
Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan telah mengajukan uji materi peraturan KPU ini ke Mahkamah Agung setelah KPU tak kunjung merevisi aturannya, seperti yang dijanjikan pada pertengahan bulan Mei.
Sementara itu, Komisioner KPU Idham Holik mengatakan bahwa institusinya akan menghormati penggunaan hak hukum warga negara dalam mengajukan uji materi. Ia juga telah mengirimkan dokumen kesimpulan rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, yang meminta agar KPU tetap konsisten melaksanakan PKPU yang telah ada.
Bagi Okiviana, aturan ini sama saja mengebiri kepentingan perempuan, tidak hanya dalam representasi, namun juga perjuangan mereka ketika telah masuk parlemen. Minimnya perspektif gender mempersulit kinerja advokasi perempuan, seperti yang terjadi dengan UU TPKS.
“Di rapat komisi itu aku ngusulin ruang laktasi di kantor DPRD, ada yang ngomong kayak gitu buat apa sih, jadi tidak dianggap penting. Untuk mengadvokasi supaya bisa ada ruang laktasi aja susahnya minta ampun,” ujarnya.
Start yang Berbeda
Khoirunnisa mendorong partai politik memberikan pelatihan dan pendampingan kepada perempuan kader dan caleg karena garis mulai perempuan dan laki-laki berbeda.
Partai politik dapat memanfaatkan anggaran dari pemerintah yang diberikan bagi partai yang memiliki kursi di DPR maupun DPRD berdasarkan jumlah suara yang mereka dapatkan untuk mengadakan pendidikan politik secara rutin kepada perempuan. Salah satunya yakni terkait bagaimana caleg dapat memanfaatkan dana terbatas untuk mengumpulkan suara secara strategis.
“Akhirnya kampanye caleg perempuan sporadis. Nggak ada target suara yang harus dikumpulkan berapa, titik-titik mana aja. Nggak dapat info seperti itu dari partainya. Jadi keterpilihannya nggak tinggi,” kata Khoirunnisa.
Ia menambahkan bahwa pendampingan partai selama ini hanya diberikan kepada mereka yang punya potensi keterpilihan besar. Caleg perempuan tanpa privilese pun harus menavigasi perjuangan mereka sendiri, bahkan jika menemui masalah hukum. Bukan tidak mungkin pengalaman tak menyenangkan ini membuat mereka enggan mencalonkan diri lagi di masa depan.
“Ada anggapan bahwa perempuannya nggak punya kapasitas. Selama ini kalo kita bicara kapasitas, pertanyaannya adalah apakah perempuan tersebut aksesnya diberikan sebesar akses yang dimiliki oleh laki-laki? Kalau akhirnya kesempatan itu terbuka untuk perempuan, perempuan yang mana dulu?” tutupnya.
Nurwahidah, Nusa Tenggara Barat
Ia sudah dua kali mengikuti pemilu. Pada 2014, ia mengejar kursi DPR RI tetapi gagal karena partai yang mengusungnya kala itu absen memberikan dukungan maksimal. Tahun 2019, ia kembali maju untuk mengejar kursi di Senayan melalui kereta Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Usahanya kali itu juga gagal.
NURWAHIDAH (39) memilih untuk belajar dari kegagalan.
Perempuan asli Bima ini mengatakan kegagalannya pada 2014, menjadi perbaikan pada lima tahun berikutnya. Begitu pula untuk tahun depan, ketika ia memutuskan untuk kembali maju untuk tingkat DPRD Provinsi NTB dapil Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Utara.
Pada pencalonan tahun 2019, PKS memintanya untuk memenuhi keterwakilan perempuan untuk dapil Lombok. Ia dilema karena Lombok bukan wilayah asalnya.
“Waktu itu kata DPW (Dewan Pimpinan Wilayah) hasil suara lebih banyak di Lombok walaupun saya orang Bima,” katanya.
Meski keputusan partai tidak sesuai dengan yang diharapkan, namun ia tak patah arang. Ia mengambil inisiatif dengan menggalang dukungan dari sekolahnya. Ia menyasar para guru dan wali murid tempatnya mengajar. Untungnya, sekolah tempatnya bernaung berstatus swasta sehingga tidak menjadi persoalan serius.
“Orang tua murid Al-Fajar ini kan lebih kurang di tahun 2019 lebih dari 500 dan kali dua kan. Luar biasanya mereka sebagian besar mendukung dan bahkan ada yang minta kalender saya,” kata Nurwahidah.
Dukungan penuh dari para wali murid menjadi penyemangat untuk bisa memenangkan Pemilu Legislatif 2019. Apalagi para wali murid dan guru bersedia membantu mensosialisasikan dirinya di lingkungannya masing-masing.
Hanya saja upaya tetap gagal. Ia menduga kegagalannya bukan karena minimnya dukungan suara tetapi pada saksi-saksi yang disebar ke masing-masing TPS yang lebih banyak memantau perolehan suara partai, bukan masing-masing caleg.
Meski begitu, ia bertekad untuk bekerja lebih maksimal pada Pemilu Serentak 2024. Pelajaran yang paling berharga baginya dalam setiap pemilihan adalah kesiapan mental. Baik kesiapan pada saat turun ke tengah masyarakat atau hasil perhitungan suara yang diperoleh nanti.
“Caleg itu harus semangat, harus kuat dan mental utama. Karena tidak semua bisa menerima caleg, tidak hanya yang perempuan tetapi yang laki-laki juga,” katanya.
Kemampuannya dalam memetakan karakter masyarakat di masing-masing lokasi, membuat Nurwahidah mulai turun ke masyarakat jauh hari sebelum pesta demokrasi dimulai. Pemberdayaan itu dilakukan sebagai investasi sosial. Karena menurutnya, saat ini masyarakat sudah lebih pintar membaca maksud dan tujuan caleg yang datang menemui mereka jelang pemilu.
“Masyarakat sudah tahu bahwa caleg ini hanya turun pada saat kampanye dan setelah itu hilang. Jadi mereka itu ada yang menerima dengan mata hati dan atau hanya dari mata dan hatinya berbeda. Tapi ada yang langsung menolak,” katanya.
Salah satu tantangan yang harus dihadapi adalah statusnya yang masih melajang. Menurutnya, hal itu terkadang menyulitkannya ketika turun ke masyarakat. Ia perlu meyakinkan masyarakat bahwa perempuan lajang tetap bisa memahami dan menyuarakan permasalahan mereka.
“Kelemahan saya juga mungkin saya posisi sendiri. Di sini kan status sosial belum menikah, kan, itu harus kita akui. Tapi saya tidak jadikan penghalang,” tegasnya.
Nurwahidah memiliki fokus pada isu-isu pemberdayaan dan perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak. “Saya pernah ikut kawal kasus pelecehan siswa di SDN 2 Cakra dulu. Kami bergerak atas nama pusat advokasi hak asasi manusia (PAHAM) Provinsi NTB,” katanya.
Hingga saat ini, Nurwah menjelaskan pemberdayaan yang dilakukan masih tetap berjalan melalui Yayasan Perempuan Berdaya Lombok.
Sambil turun langsung ke lapangan, Nurwahidah juga terus memetakan daerah pemilih yang dianggap potensial. Dari sepuluh kecamatan di Kabupaten Lombok Barat, ia mengaku sudah tahu kecamatan mana saja yang akan menjadi fokusnya.
“Saya sudah membentuk tim namanya “Sanur” atau Sahabat Nurwahidah. Tapi kita belum launching Sanur ini,” katanya.
Selain dari keluarga, Nurwahidah juga mendapatkan dukungan dari kader perempuan di PKS yang sudah duduk di kursi parlemen.
Data BPS NTB 2022 menunjukkan keterwakilan perempuan di kursi DPRD hanya 1,59 persen. Sedangkan di kabupaten dan kota di Provinsi NTB juga belum ada yang mencapai 30 persen. Misalnya di Kota Mataram yang saat ini sudah mencapai sebesar 25 persen dan Kota Bima sebesar 16 persen sementara yang lain masih di bawah angka 15 persen.
Nurwahidah berpandangan, perempuan memiliki kemampuan untuk melawan stigma negatif dalam dunia politik. Ia melihat sejumlah perempuan di NTB mampu membuktikan hal tersebut yang pada akhirnya meminimalisir pandangan rendah masyarakat terhadap kemampuan para srikandi.
“Stigma memang akan tetap ada. Tapi tunjukkan kinerja,” tutupnya.
Laporan yang menjadi bagian dari serial #CalegPinggiran ini merupakan hasil kemitraan dengan Westminster Foundation for Democracy (WFD) dan dukungan Pro-Dem Fund dari Global Affairs Canada (GAC). Pemilihan narasumber dan penulisan artikel dilakukan tanpa intervensi WFD dan GAC.
Editor: Ronna Nirmala
Sumber: ProjectMultatuli.org
https://projectmultatuli.org/jalan-terjal-menuju-keterwakilan-perempuan-di-parlemen/