Masih segar diingatan Agustien Virgin Hokey bagaimana raut wajah para tetua lembaga adat berurai air mata. Ya, kala itu 19 November 2021 merupakan hari pertama dari rangkaian tujuh hari ritual adat Megilu. Sejumlah tokoh adat Pamona yang berada di sekitar Danau Poso berkumpul bersama dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, petani, nelayan, ibu rumah tangga, hingga pedagang yang warungnya menjadi korban gusuran di sekitar Jembatan Tua Pamona. Semuanya punya satu tujuan yaitu memohon pertolongan Sang Maha Kuasa.
Dalam ritual Megilu ini mereka melakukan doa-doa dalam bahasa Pamona secara bergantian. Semua memanjatkan doa yang memohon pertolongan sekiranya diturunkan mukjizat agar Jembatan Yondo mPamona, nama jembatan tua Pamona, urung dibongkar.
Dalam adat Suku Pamona, ritual Megilu dipandang sebagai cara yang paling sah dan paling kuat dalam tradisi orang Pamona untuk memohon pertolongan. Sama seperti arti katanya secara harfiah, yaitu memohon pertolongan Tuhan dengan cara-cara tradisi adat Pamona.
Megilu yang dilakukan saat itu bermakna ada keinginan kuat agar Jembatan Yondo mPamona sebagai simbol kebudayaan di Tentena, ibu kota Kecamatan Pamona Pusalemba, tetap dipertahankan. Meskipun Bupati Poso Darmin Sigilipu telah meneken MoU dengan PT Poso Energi. “Pada waktu itu jembatan rencananya akan dibongkar untuk kepentingan perusahaan listrik PT Poso Energi,” ujar Agustien Virgin Hokey.
Perempuan yang akrab disapa Iin Hokey ini menyebutkan pembongkaran jembatan semata untuk menambah debit air agar mesin PLTA milik Bosowa Group ini bisa berputar. Tanpa mengindahkan hilangnya simbol kebudayaan dan adat Pamona yang memiliki nilai sejarah dan memori kolektif masyarakat Pamona di sekitar Danau Poso.
Iin Hokey menyebut ritual Megilu merupakan respons penolakan pembongkaran. Sebab bukan hanya kekhawatiran hilangnya ikon Kota Tentena dan simbol kebudayaan, tapi juga mempertimbangkan dampak ekologis. Pembongkaran jembatan akan dilanjutkan dengan pengerukan.
Ikhtiar kolektif
Ritual Adat Megilu diinisiasi oleh Aliansi Penjaga Danau Poso (APDP). Kala itu dilakukan selama tujuh hari beruntun hingga 25 November 2019. Setiap hari selama satu jam dilakukan permohonan doa di tepi Danau Poso.
Momentum ini menjadi titik balik dalam kehidupan IIn Hokey untuk memantapkan dirinya mengabdikan diri pada kerja-kerja kebudayaan dan pemeliharaan adat Pamona. Hatinya terketuk dengan ketulusan para tetua adat dan berempati kepada mereka. “Rasa empati saya terhadap para tetua adat. Saya menyaksikan mereka, Ngkai-Ngkai (tetua, red), menangis, sebelum kami turun Megilu selamat tujuh hari berturut-turut itu,” ungkapnya.
Prosesi ritual adat Megilu berlatarbelakang Jembatan Yodung mPamona. Ritual ini dilakukan oleh APDP bersama unsur elemen masyarakat di sekitar Danau Poso, sebagai bentuk aksi penolakan pembongkatan simbol budaya dan sejarah Kota Tentena itu.(Foto: dokumentasi APDP)
APDP sebagai paguyuban masyarakat adat Pamona yang terbentuk sejak 2018 merupakan respons kekhawatiran beroperasinya perusahaan listrik di Desa Sulewana, Kecamatan Pamona Utara. Lokasi PLTA Sulewana berjarak sekitar 16,8 kilometer dari Jembatan Yondo mPamona yang terletak di muara Danau Poso alias hulu Sungai Poso.
Kekhawatiran yang dirasakan para tetua adat kala itu meliputi kegelisahan atas bergesernya nilai-nilai tradisi dan terjadinya degradasi moral generasi muda. Banyaknya tenaga kerja dari luar daerah yang masuk ke wilayah Pamona memunculkan pula Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Karena sudah sempat kejadian, ada TPPO untuk praktek prostitusi. Tetapi ini saya tidak punya bukti hitam di atas putih. Hanya saja, tetangga saya ada yang digerebek, karena tidak memenuhi pesanan,” ungkap Iin Hokey. Saban waktu seiring beroperasinya perusahaan listrik, muncul tanda-tanda degradasi lingkungan. Pada tahun 2020 air Danau Poso naik dan merendam kurang lebih hampir 200 hektare sawah masyarakat di sekeliling Danau Poso.
Merespons kejadian itu maka dilakukan diskusi kelompok terfokus yang melibatkan kepala-kepala desa di sekeliling Danau Poso dan beberapa orang ketua adat dari beberapa desa. Mereka membicarakan tentang adanya penetapan, garis batas danau, dan sempadan danau.
Seingatnya, Lian Gogali dari Mosintuwu dan Yombu Wuri mewakili APDP masuk dalam tim pembahasan. IIn Hokey yang kala itu hadir sebagai audiens FGD mencatat ada banyak kritikan soal penetapan ini. Sebab menurutnya, penetapan sempadan hanya untuk kepentingan perusahaan listrik.
Belum lagi soal pengerukan yang dilakukan berdasarkan permintaan perusahaan listrik karena dianggap terjadi pendangkalan di Sungai Poso. Pengerukan ini, menurut Iin Hokey, dikhawatirkan tidak hanya merusak siklus alami “pasang surut” debit air Danau Poso, tapi juga merusak situs di sekitar. Misalnya situs Watu Muali yang merupakan lantai batu yang sangat lebar dan menjadi dasar danau di mulut muara Danau Poso.
Ketika sawah di sekitar Danau Poso mulai terendam, APDP melayangkan somasi kepada PT Poso Energy berdasarkan pengaduan warga pemilik sawah. Setelah tiga kali melayangkan somasi, tidak ada tanggapan. Mereka lanjut ke pengadilan dan mengikuti dua kali sidang. Pihak APDP yang diwakili oleh LBH Poso akhirnya menarik laporan, untuk melengkapi berkas, dengan semua perhitungan kerugian masyarakat.
Naiknya air Danau Poso juga membawa petaka bagi hewan di sekitar danau. Sekitar akhir 2020 atau awal 2021, Iin Hokey menyebut ada sekitar 200 kerbau milik masyarakat di Desa Tokilo mati. Ini terjadi karena daerah penggembalaan seluas 35 hektar yang tersebar di beberapa desa terendam air danau saat perusahaan listrik ini menguji coba pintu air. Kematian ratusan kerbau itu bukan karena tenggelam, tapi lantaran memakan rumput yang membusuk.
Pada 2021, kembali terjadi kerusakan sawah akibat meningkatnya debit air danau. Luasan sawah yang terdampak hampir 200 hektare. Kerusakan bervariasi setiap desa, ada 77 are, 30 are, dan 20 are. APDP membawa masyarakat ke DPRD dan gubernur menuntut ganti rugi oleh perusahaan.
Menurut Iin Hokey, awalnya pemilik sawah meminta ganti rugi sebanyak 50-60 kilogram per are, tapi hanya disanggupi 10 kilogram beras per are. Tidak terima, APDP dan masyarakat melakukan dua kali Megilu dan juga mediasi. Pun tetap menuntut ke DPRD dan audiensi ke gubernur Sulteng.
Akhirnya perusahan mau mengganti 15 kilogram beras per are, tapi dibayarkan dalam bentuk uang untuk tiga kali panen. Iin Hokey mengatakan perubahan nilai ganti rugi, meski tidak sesuai dengan tuntutan, dipandang oleh APDP sebagai keberhasilan. “Megilu dilakukan, selain sebagai jalan adat istiadat atau tradisi, juga diharapkan bisa menjadi tekanan pada pihak perusahaan,” katanya.
Bersama dengan APDP, saat ini Iin Hokey tengah mengerjakan pembuatan buku tradisi dan adat Suku Pamona dalam lima topik besar. Pengerjaan buku untuk saat ini masih dalam tahapan penghimpunan informasi dari para tetua adat dan masyarakat adat di sekitar Danau Poso. (Foto: dokumentasi pribadi/Iin Hokey)
Mengabadikan dalam tulisan
Setelah banyak melakukan pendampingan dan advokasi langsung di masyarakat, dalam setahun terakhir perjuangan APDP merambah ke pembuatan buku. Ini menjadi salah satu upaya penyadaran kepada masyarakat adat di sekitar Danau Poso tentang pentingnya kembali ke nilai-nilai luhur nenek moyang.
Iin menyebut dalam setahun terakhir pihaknya dibantu pendanaan dari Institut Mosintuwu. Saat ini mereka sedang menyusun lima buku yang masing-masing berisi lima topik adat dan budaya Suku Pamona. Penyusunan ini menjadi bagian dari Festival Tradisi Kehidupan yang digelar sejak 2023.
Iin mengungkapkan Festival Tradisi Kehidupan berlangsung di desa-desa yang melibatkan masyarakat. Tujuannya untuk membangkitkan ingatan dan merayakan kembali tradisi serta nilai-nilai tradisi yang masih relevan di zaman sekarang. Kaitannya dengan permasalahan lingkungan, Iin Hokey berharap nilai-nilai tradisi ini juga mampu menjadi solusi di masa depan bagi perlindungan Danau Poso.
“Jadi, advokasinya berubah ke arah sana (edukasi). Memberi pengetahuan kepada masyarakat adat sambil membangkitkan kembali ingatan masyarakat tentang tradisi jaman dulu yang nilai-nilainya masih relevan bisa dilaksanakan di zaman sekarang,” terangnya.
Anak pertama dari (Alm) Yustinus Hokey ini, seorang maestro budaya Indonesia yang dianugerahi gelar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2015, sehari-harinya menekuni dunia tulis-menulis. Dia juga menjadi penyiar program berita dan penulis di portal Institut Mosintuwu.
Iin Hokey mengungkapkan pada tahun 2019, dirinya mulai diajak siaran di lembaga yang dipimpin oleh Lian Gogali itu dan menetap hingga kini. Awal perkenalanya karena APDP sering melakukan pertemuan di kantor Institut Mosintuwu. Hubungan ini juga berlanjut secara kelembagaan. Kini Institut Mosintuvu bersama APDP sedang menggarap penulisan buku bersama. Iin Hokey memainkan peran sebagai penghubung kedua lembaga.
Dalam proyek pembuatan lima buku tersebut, Iin Hokey termasuk salah satu penulis. Dia bersama dengan para tetua adat, tokoh masyarakat, dan elemen warga lainnya di APDP bahu membahu melakukan riset, mengumpulkan informasi dan bahan, menulis, hingga nantinya melakukan penyuntingan serta menerbitkan buku.
Kelima buku tersebut akan memuat lima topik; Ada Pombetirinai, yang artinya bagaimana hubungan manusia dengan sesama manusia dalam membangun hubungan kekeluargaan yang erat; Ada Mporongo atau adat perkawinan; Ada Mpojamaa atau tradisi bercocok tanam; Ada Mpoagama, cara tradisi beragama orang tua dahulu; dan Ada Mpotaumate, bagaimana tradisi orang tua zaman dahulu ketika melakukan adat pada saat kematian.
“Setiap topik ini ada banyak nilai-nilai, contohnya dalam Ada Pojama atau cara bercocok tanam, di mana di dalam semua prosesnya kita menghormati tanah, kita menghormati air, kita menghormati udara, kita menghormati pohon, kita menghormati tanaman, kita menghormati hewan-hewan yang ada di dalam tanah, dan hewan -hewan yang ada di udara, dan juga hewan-hewan yang ada di atas tanah, seperti itu,” pungkasnya.
Sumber: tutura.id