Kahayya, sebuah desa di pegunungan Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, dulu dikenal sebagai wilayah terpencil yang sulit dijangkau karena akses jalan yang rusak parah. Hanya kendaraan tertentu saja yang bisa melewatinya, tentu pengendaranya harus memiliki keahlian berkendara yang baik pula. Namun dua tahun terakhir, akses infrastrukturnya sudah jauh membaik. Orang dari luar desa sudah bisa lebih mudah untuk datang ke Desa Kahayya. Terlebih desa ini menyimpan keindahan alam dan komoditas kopi lokal yang terkenal. Meski demikian, satu hal yang tidak berubah adalah kearifan lokal yang masih terus terjaga. Solidaritas masyarakatnya yang sangat kuat, ketahanan sosial, dan budaya berbagi yang begitu kuat terjaga.
Bagi masyarakat Kahayya, gotong royong bukan sekadar slogan. Ia menjadi nafas kehidupan sehari-hari. Contoh paling dekat terlihat saat mereka membuka jalan tani atau membangun jembatan penghubung. Ketika jembatan rusak, warga tidak menunggu bantuan datang, melainkan bahu-membahu memperbaikinya. Setiap hari Minggu, warga berkumpul untuk kerja bersama mulai dari memperbaiki jalan, merawat jembatan, hingga membersihkan kebun.
Semangat berbagi itu bukan hanya dalam bentuk tenaga dan waktu. Ada warga yang dengan ikhlas menyumbangkan bahan bangunan untuk perbaikan jalan. Bahkan banyak pula warga membuka rumahnya untuk pengunjung menginap. Mereka merasa senang bisa menjamu, memperkenalkan budaya, sekaligus menyuguhkan hasil bumi mereka. Menerima tamu dipandang sebagai kehormatan, bukan beban. Inilah wajah nyata dari budaya memberi berbagi ruang, berbagi cerita, bahkan berbagi kebahagiaan.

Foto: Basmawati Haris
Saya sendiri sudah hampir sepuluh tahun berinteraksi dengan masyarakat Kahayya. Dari pengalaman itu, saya menyaksikan bagaimana masyarakat di sana terus belajar untuk berdaya. Mereka ingin mandiri, tetapi tidak pernah meninggalkan kebersamaan. Satu hal kecil yang tak pernah saya lupakan adalah keramahan mereka. Setiap kali melintas di depan rumah warga, saya kerap dipanggil untuk singgah. Dengan tulus, mereka menyuguhkan secangkir Kopi Kahayya yang penuh aroma. Terasa sangat nikmat karena disuguhkan dengan cinta. Kopi kahayya pun kini menjadi ikon utama di desa ini. Dari secangkir kopi kahayya itu, lahir percakapan hangat, ide-ide baru, dan rasa persaudaraan yang begitu kuat.
Budaya memberi masyarakat Kahayya selaras dengan nilai siri’ na pacce, sebuah harga diri dan solidaritas yang hidup dalam tradisi Bugis-Makassar. Di Kahayya, nilai itu hadir dalam tindakan nyata, bukan sekadar cerita. Mereka sadar bahwa membantu sesama berarti menjaga kehidupan bersama.

Sumber: Facebook (Nurmaidah)
Kini, dengan akses yang semakin baik, peluang bagi Kahayya untuk berkembang semakin besar. Kopi Kahayya bisa menjadi ikon ekonomi, sementara keramahan warganya dapat menjadi daya tarik wisata budaya. Namun, semua itu sebaiknya dikembangkan tanpa mengikis semangat solidaritas yang telah mengakar. Pemerintah, lembaga sosial, maupun masyarakat luas dapat hadir sebagai mitra, bukan pengganti.
Kahayya mengajarkan kita bahwa keterpencilan bukan hambatan untuk maju. Justru, keterbatasan bisa melahirkan kreativitas, memperkuat ikatan sosial, dan menumbuhkan kemandirian. Di tengah masyarakat yang semakin individualis, kita patut bercermin pada Kahayya.
Sudah saatnya kita belajar dari mereka. Jika masyarakat Kahayya, dengan segala keterbatasannya, mampu menjaga semangat berbagi dan gotong royong, maka kita pun seharusnya bisa menumbuhkan kembali nilai itu di tengah kelimpahan hidup perkotaan. Sebab pada akhirnya, kekuatan sejati bangsa ini bukan terletak pada harta atau infrastruktur semata, melainkan pada solidaritas dan kearifan lokal yang menjaga kita tetap manusiawi.
Info Lebih Lanjut:
Penulis adalah pegiat isu pemberdayaan masyarakat yang terlibat aktif dalam pendampingan desa dan pengembangan UMKM. Ia juga turut menginisiasi berbagai program penguatan ekonomi berbasis zakat dan komunitas lokal. Aktif sebagai pegiat literasi dengan bergerak bersama di Rumah Baca Pinisi Nusantara 1986 Bulukumba.