Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan literasi digital masyarakat, supaya warga makin mampu menemukan, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan informasi melalui berbagai medium digital. Kemampuan ini begitu penting ketika perangkat dan konten digital semakin mendominasi perilaku komunikasi warga.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, misalnya, telah menjadikan literasi digital sebagai salah satu konsep dalam Kurikulum 2013 sejak 2017 yang disusul dengan peluncuran modul literasi digital untuk sekolah dasar pada tahun ini.
Pemerintah juga telah menyelenggarakan beberapa program literasi digital bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, seperti kampanye lawan hoaks COVID-19 lalu Program Makin Cakap Digital, program hasil kolaborasi Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama ratusan organisasi maupun komunitas.
Beberapa gerakan literasi media juga muncul dari inisiatif masyarakat. Salah satu contohnya adalah Program Tular Nalar yang merupakan kolaborasi berbagai gerakan masyarakat sipil seperti Mafindo, Maarif Institute, Love Frankie, dan didukung oleh Google, untuk mengajak masyarakat dalam peningkatan kompetensi kritis mengelola informasi.
Meski demikian, semua upaya formal dan informal itu masih belum bisa memenuhi kebutuhan warga yang sangat beragam. Oleh karena itu, kami melihat pentingnya pemangku kepentingan untuk mengupayakan beragam pendekatan untuk meningkatkan literasi digital masyarakat yang sangat majemuk.
Pemerintah perlu mengembangkan semangat lokalitas dalam desain program literasi digital, supaya tidak bersifat Jawa-sentris dan mengulang kesalahan program-program nasional lainnya.
Pendekatan Multitarget
Hampir 70% pengguna internet di Indonesia berasal dari kalangan (usia produktif) antara 19-49 tahun .
Data menunjukkan tingkat literasi digital kelompok usia produktif tersebut lebih tinggi dibandingkan mereka yang berusia di atas 55 tahun, yang masih relatif rendah.
Artinya, program literasi harus lebih intensif dipersiapkan bagi warga usia lanjut tersebut.
Selain kelompok usia, program literasi digital Indonesia juga perlu menyasar kelompok-kelompok yang juga masih rentan terpapar oleh efek negatif penggunaan media digital, terlebih ketika penggunaan media digital kian meningkat pada masa pandemi Covid-19.
Mereka adalah kelompok anak-anak, perempuan, dan penyandang disabilitas yang meski sering menjadi korban konten negatif di ruang maya, mereka merupakan kelompok penting untuk mewujudkan literasi digital Indonesia yang lebih inklusif.
Dua buku Seri Sahabat Perempuan dan Literasi Digital yang diterbitkan oleh Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM bersama Japelidi dan Siberkreasi.
Anak-anak adalah generasi tumpuan yang perlu dipersiapkan dan didampingi agar bisa mengoptimalkan kecakapan digital yang dimiliki sedari dini. Perempuan khususnya ibu adalah garda terdepan dalam keluarga untuk menggunakan media digital dengan lebih bijak dan cermat. Sedangkan, penyandang disabilitas perlu didukung eksistensinya oleh berbagai pihak agar dapat mengenyam program-program kecakapan yang lebih ramah bagi mereka.
Pendekatan multiprogram
Masyarakat Indonesia sangat beragam sehingga program literasi digital sebaiknya juga bervariasi.
Selama ini ada kecenderungan bahwa program literasi digital dilakukan secara digital pula melalui beragam medium digital.
Tetapi, perlu diingat bahwa meski penggunaan internet di Indonesia meningkat, akses internet belum merata. Dengan begitu, program luring juga perlu dilakukan.
Program luring memang mempunyai kekuatan untuk melibatkan peserta lebih dalam serta menembus khalayak yang tidak sepenuhnya mempunyai akses internet yang baik. Salah satu contoh yang berhasil adalah pelatihan lawan hoaks pandemi secara luring yang dilakukan oleh dosen Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta dan Universitas Gajah Mada di Yogyakarta ketika pandemi. Pelatihan tersebut terlaksana dengan tetap mengindahkan protokol kesehatan.
Kombinasi program daring dan luring juga bisa dijadikan pilihan. Salah satu contohnya saat konten kampanye daring Jaringan Pegiat Literasi Digital di media sosial digunakan warga secara mandiri untuk kampanye luring di wilayahnya masing-masing.
Keterlibatan warga sebagai subjek dalam program literasi digital sangat penting sehingga mereka ikut memiliki program dan menjadi agen literasi digital dalam komunitasnya masing-masing.
Selain itu, kolaborasi berbagai aktor seperti pemerintah, pendidikan, komunitas, perusahaan teknologi, figur publik termasuk selebritas, tokoh agama, maupun tokoh masyarakat masih sangat diperlukan untuk mengajak masyarakat Indonesia lebih kritis dalam mengelola informasi yang didapatkan di beragam platform digital.
Tema Hari Literasi Internasional tahun ini adalah literasi demi pemulihan selama pandemi yang berorientasi pada manusia. Dengan melakukan pendekatan yang beragam dan melibatkan banyak pihak seperti di atas, kami berharap literasi digital yang dilakukan oleh pemerintah bisa fokus pada kebutuhan warganya yang memang sangat ragam dari Sabang hingga Merauke pada masa pandemi ini.
Engelbertus Wendratama, Peneliti di PR2Media, PR2Media; Novi Kurnia, Associate Professor, Department of Communication Science, Universitas Gadjah Mada, Universitas Gadjah Mada , dan Zainuddin Muda Z. Monggilo, Lecturer, Universitas Gadjah Mada
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.