10 September 2025 menjadi jejak penting bagi Perkumpulan Hanaf Perempuan Flobamoratas Nusa Tenggara Timur (PHPF) selama lebih dari lima tahun berupaya mendokumentasikan sebelas narasi perempuan pekerja rumah tangga (PRT) Nusa Tenggara Timur. Dokumentasi ini dipublikasikan dalam bentuk buku berjudul HANAF: Meretas Konspirasi Bisu Nasib Perempuan Pekerja Rumah Tangga.
Seperti kata pepatah dalam buku HANAF bahwa satu langkah kecil merupakan sebuah progres yang perlu dirayakan, maka peluncuran buku ini menjadi satu loncatan penting dalam sejarah gerakan perjuangan hak-hak PRT di Indonesia yang kini telah berusia lebih dari 20 tahun. Buku ini hadir sebagai bagian dari semakin kerasnya suara perempuan PRT menuntut pengakuan negara atas hak-hak mereka sebagai pekerja yang selama ini dibungkam.

Dok.Perkumpulan Hanaf Perempuan Flobamoratas Nusa Tenggara Timur
Buku HANAF lahir dari kegelisahan akan situasi darurat perdagangan orang di Nusa Tenggara Timur (NTT) beberapa dekade ini. Banyaknya cerita pengalaman kekerasan dan eksploitasi meninggalkan trauma mendalam bahkan berujung kematian dialami oleh PRT domestik dan migran. Dengan memanfaatkan metode wawancara, alur waktu, peta tubuh, kotak ingatan, dan kartu pos dalam proses Participatory Action Research (PAR), sebelas narasi perempuan PRT yang bekerja di tingkat lokal, nasional, dan global direkam secara utuh dan lengkap. Sepuluh dari sebelas narasi tersebut merupakan pengalaman pertama perempuan PRT bersuara ke publik. Bersuara (baca: HANAF) adalah cara mereka meretas konspirasi bisu atas nasib mereka yang telah lama diabaikan oleh negara.
Empat orang penanggap buku HANAF datang dari latar belakang aktivis dan tokoh agama yaitu Lita Anggraini dari Jaringan Nasional Advokasi PRT (Jala PRT), Ansi D. Rihi Dara dari LBH Apik NTT, Irwan Setiawan dari Komnas Perempuan, dan Romo Agus Duka dari Zero Human Trafficking. Hadir dalam diskusi ini juga kurang lebih 30 peserta dari berbagai kalangan seperti PRT, mahasiswa, aktivitas, tokoh agama, dan jurnalis. Baik para penanggap maupun peserta memberikan apresiasi yang besar kepada PHPF yang telah mendokumentasikan suara autentik perempuan PRT dalam buku HANAF.

Demikian juga apresiasi yang lebih besar disampaikan kepada sebelas perempuan PRT yang dengan berani dan lantang bersuara menentang setiap bentuk penindasan dan kekerasan yang mereka alami sepanjang hidup mereka. Mengutip apa yang disampaikan oleh seorang peserta, Maria Seran dari Lakoat Kujawas, “apresiasi sebesar-besarnya untuk teman-teman [PHPF] dan semua pihak yang sudah bahu membahu mengerjakan penelitian dan menghasilkan buku yang luar biasa ini”.
Lita Anggraini dalam tanggapannya menekankan dua hal penting. Pertama, sangat penting bagi PRT, tokoh agama, tokoh masyarakat, aktivis, dan masyarakat sipil terus bersuara memperjuangkan keadilan meskipun ada banyak kendala dan risiko yang dihadapi. Banyak suara PRT yang dibungkam di balik tembok-tembok rumah para majikan atau pemberi kerja mereka. Kedua, membangun solidaritas dan membentuk serikat PRT di NTT adalah cara untuk mendukung pengorganisiran PRT dan membangun kekuatan bersama memperjuangkan hak-hak PRT.
Agung Setiawan menyorot lambannya DPR mengesahkan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) mengakibatkan semakin banyak korban yang berjatuhan. Komnas Perempuan mencatat lebih dari 2 ribu kasus kekerasan terhadap PRT selama lima tahun terakhir (2019–2024), baik yang dilaporkan langsung maupun melalui jejaring. Berdasarkan fakta ini, maka Komnas Perempuan memandang bahwa keadilan bagi PRT tidak bisa terus ditunda. RUU PPRT yang kini tengah dibahas di DPR harus segera disahkan dengan mengutamakan perspektif serta kebutuhan PRT.
Ansi Rihi Dara berbicara tentang budaya anak tinggal di NTT (ngenger: Jawa) yang sangat beririsan dengan praktik PRT terselubung. Anak-anak dari desa ke kota yang seharusnya dapat mengenyam pendidikan di sekolah saat mereka tinggal di rumah keluarga pengampu, pada akhirnya gagal karena mereka mengalami kekerasan dan eksploitasi. Ini menjadi satu hal yang sangat disayangkan karena anak seharusnya mendapatkan pendidikan yang layak, namun justru berakhir putus sekolah. Hal ini kemudian berujung pada pernikahan dini yang seringkali memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Ansi juga menyorot terkait ketiadaan perlindungan hukum bagi PRT di Indonesia, sehingga terjadi kekerasan dan eksploitasi pada PRT bahkan mereka rentan terjebak mafia perdagangan orang. Salah satu solusi yang ditawarkannya adalah bagaimana mendorong DPR baik di tingkat nasional maupun lokal untuk segera memberikan kepastian perlindungan hukum bagi PRT melalui pengesahan RUU PPRT dan Perda yang mengatur tentang perlindungan PRT.
Romo Agus Duka menekankan pentingnya peran para pemimpin agama dalam menyuarakan keadilan bagi mereka yang selama ini terabaikan hak-haknya, secara khusus para PRT. “Dahulukan mereka yang terabaikan” menjadi pernyataan tegas Romo Agus mengingatkan para pemimpin agama untuk peka pada persoalan-persoalan sosial yang terjadi. Dalam penyampaiannya, Romo menekankan “manusia tidak perlu buru-buru menjadi malaikat suci dan murni di surga, tapi marilah menjadi manusia yang baik selagi masih ada di dunia”. Seruan ini menjadi dorongan bagi pemimpin agama untuk terlibat dalam aksi nyata menjalankan nilai kasih yang kental dalam ajaran Kekristenan.
Peserta dari IJMI, Guster Sihombing, menyampaikan respon positifnya. “Selamat dan sukses untuk terbitnya Hanaf hari ini! Terima kasih Mama Emmy dan seluruh perempuan hebat yang telah dengan tulus membagikan kisahnya. Semoga karya ini menjadi langkah awal dari perubahan yang lebih besar, dan membuka ruang bagi lebih banyak suara perempuan untuk didengar dan dihargai.” Ungkapnya.
Pernyataan positif juga datang dari Pdt. Dini Sole (GMIT), “Kita dapat mendengar suara PRT dan dapat bersama-sama memperjuangkan keadilan dalam ruang-ruang kerja”. Dua pernyataan ini menjadi angin segar bagi gerak langkah perjuangan keadilan bagi PRT Indonesia.
Di penghujung tulisan ini, ungkapan terima kasih secara khusus disampaikan kepada BaKTI dan UnionAID yang telah memberikan kesempatan kedua sekaligus mendanai penelitian Nnen Hai Hanaf (dengarkan suara kami) ini melalui kegiatan aksi tindak lanjut program INSPIRASI yang diikuti oleh Yuliana M. Benu di Selandia Baru selama enam bulan. Ungkapan terima kasih tak terhingga juga bagi teman-teman di PHPF yang tidak memilih menyerah dalam proses pengerjaan penelitian ini dan kepada semua perempuan PRT yang berani bersuara melalui buku ini.
Info lebih lanjut:
Buku HANAF saat ini sudah bisa diakses secara luas. Bisa dipesan melalui platform sosial media antara lain Instagram (Hanaf_Suara); facebook (komunitas hanaf); WhatsApp (+62 82341482871); email (komunitashanaf801@gmail.com).