Hadakewa adalah sebuah desa pesisir dengan pantai yang indah di wilayah tengah Pulau Lembata yang berjarak sekitar 13 kilometer dari Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata, NTT. Warga desa Hadakewa mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Jumlah penduduknya berjumlah sekitar 1.050 jiwa. Komoditas unggulan desa ini adalah ikan teri.
Usaha teri Hadakewa yang dikelola melalui BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) yang diberi nama Tujuh Maret menuai apresiasi dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) sehingga terpilih masuk dalam nominasi 15 BUMDes digital nasional pada 2020, yang mewakili NTT bersama BUMDes Au Wula di Kabupaten Ende yang mengembangkan usaha hortikultura.
Spesies laut dengan nama ilmiah Stolephorus sp atau yang dikenal dengan teri mengangkat nama Hadakewa kian terkenal terutama di pasar komoditas kelautan dan perikanan di tanah air.
Produksi ikan teri dulunya hanya kegiatan rutin yang biasa bagi warga nelayan di Hadakewa, namun di tahun 2018 lalu komoditas ini mulai diproduksi secara serius melalui BUMDes Tujuh Maret.
Pada awalnya, produk ikan teri yang dipasarkan juga masih sebatas untuk kebutuhan lokal maupun melayani pemesanan dalam jumlah kecil. Namun seiring berjalannya waktu, usaha ikan teri Hadakewa kian meningkat karena adanya intervensi melalui alokasi bantuan dari APBN.
Adalah Klemens Kwaman, kepala desa muda Hadakewa sarjana teknik elektro dari salah satu kampus di Makassar yang menghantar Tujuh Maret memperoleh penghargaan baik tingkat kabupaten maupun level nasional serta menghadirkan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan bagi warganya.
Sejarah Pendirian BUMDes Tujuh Maret
Setelah dikeluarkan undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa, desa sudah menjadi subjek dan objek pembangunan. Sebelumnya desa hanya menjadi objek. “Dulu perencanaan dibuat di tempat lain sedangkan objek ada di desa, entah cocok untuk desa kita tidak pernah tahu” ungkap Klemens Kwaman. Tetapi dengan undang-undang ini, desa diberi kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri. Salah satu poin dalam undang-undang tersebut adalah terkait BUMDes atau Badan Usaha Milik Desa.
Membangun BUMDes dimaknai oleh Klemens Kwaman dengan melihat potensi yang dimiliki desa, tidak hanya karena ada perintah dari undang-undang, kementerian atau pihak lainnya. BUMDes dibentuk harusnya bukan sebagai formalitas, dimana hanya ada kegiatan administrasi tapi kegiatan usaha tidak terlihat, menurutnya. Hal ini yang kemudian melatari Klemens Kwaman mulai mengembangkan BUMDes di Hadakewa. “Saya melihat potensi yang ada di Hadakewa begitu besar, cocok untuk mendirikan BUMDes, sehingga di tahun 2017 kami sepakat mendirikan BUMDes yang kemudian kami tetapkan di tahun 2018 dengan potensi terbesar di Hadakewa adalah laut. Potensi ini kemudian diatur oleh perusahaan milik desa” ungkap Klemens.
Nama Tujuh Maret dipilih karena sejarah berdirinya kabupaten Lembata diawali dari desa Hadakewa. Otonomi kabupaten lembata diawali di tanggal Tujuh Maret tahun 1954.
Kondisi Hadakewa Sebelum Pendirian BUMDes
Populasi Desa Hadakewa ada 1.050 jiwa, dimana mayoritas berprofesi sebagai nelayan dan petani. Klemens menyebutnya nelayan adalah petani dan petani adalah nelayan karena warga desa menjalani dua profesi ini. Sebelum adanya BUMDes semua berjalan seperti biasa, hanya saja manajemen atau potensinya tidak dimanfaatkan secara maksimal. Di awal berdirinya, BUMDes hanya ada unit pengolahan ikan teri. Jauh sebelum BUMDes berdiri usaha ikan teri sudah ada namun potensi ini belum dimanfaatkan dengan maksimal.
Dahulu tiap kali nelayan pergi melaut, hasil tangkapan yang dibawa pulang tidak diatur dengan baik. Potensi kelautan di Hadakewa sangat besar, idealnya potensi besar berbanding lurus dengan perekonomian tetapi kenyataannya malah berbanding terbalik. Setelah Klemens dan tim menganalisa situasi ini diketahui bahwa penyebabnya ada di manajemen. “Cara berpikir nelayan sebelumnya adalah, hanya untuk hari ini tanpa memikirkan hari esok akan makan apa” cerita Klemens. BUMDes hadir untuk memberikan manajemen yang baik, kini nelayan pergi melaut mencari ikan, saat pulang mereka menyerahkan hasil tangkapan ke BUMDes, kemudian BUMDes yang mengatur pemasarannya melalui digitalisasi.
Tantangan di awal BUMDes diperkenalkan
SDM (sumber daya manusia) dan rendahnya pemahaman warga adalah tantangan yang dihadapi di awal pembentukan BUMDes. Selama ini masyarakat sudah merasa cukup nyaman dengan pola yang dikembangkan. Membawa mereka keluar dari zona nyaman agak sulit. Butuh waktu untuk bisa meyakinkan masyarakat, butuh waktu sekitar 2 tahun sejak 2017 hingga akhir 2019. Mereka beranggapan bahwa toh selama ini juga mereka bisa menjual ikan tanpa BUMDEs. Tetapi ini yang berbeda bahwa dulu bukan nelayan yang menentukan harga tetapi orang lain, untung atau buntung yang penting bisa terjual. Melalui BUMDes ini pemerintah desa hadir untuk membantu masyarakat, memfasilitasi nelayan agar terinya menemukan pasar yang tepat dengan harga yang menguntungkan.
Manfaatkan Dana Desa
Usaha ikan teri Hadakewa mengalami perubahan drastis berkat dukungan modal dari program Dana Desa. Pada tahap awal, pemerintah desa dan masyarakat Hadakewa sepakat untuk mengalokasikan Dana Desa senilai 85 juta rupiah kepada BUMDes Tujuh Maret untuk memulai usaha ikan teri. Dana ini digunakan untuk pengadaan sarana pendukung seperti tempat pengeringan, waring, dan juga modal untuk pengadaan bahan baku, serta bahan kemasan. Selanjutnya pada 2019, Dana Desa kembali dikucurkan sebesar 128 juta rupiah untuk pengadaan kapal yang dikelola warga desa dalam rangka memperkuat pasokan bahan baku dari nelayan tangkap.
Selama ini warga desa hanya pekerja di kapal-kapal nelayan pemasok ikan teri yang kebanyakan milik orang luar desa. Pada tahun 2019 Hadakewa menerima suntikan dana dari Pemerintah Kabupaten Lembata sebesar 200 juta rupiah karena terpilih sebagai desa Tematik dengan penilaian pertumbuhan ekonomi yang cepat. Dana ini kemudian digunakan untuk membagi beban anggaran antara Dana Desa, untuk penyertaan modal ke BUMDes. Dari dana ini telah dibelanjakan sebanyak tiga unit kapal ikan, dan kini sudah beroperasi untuk produksi bahan baku. Ketiga armada kapal ini dioperasikan oleh warga Hadakewa sendiri. Untuk pengembalian modal, tidak dalam bentuk uang melainkan dibayar secara cicil dengan pasokan ikan teri hasil tangkapan nelayan.
Hal Menarik dari BUMDes
Klemens menceritakan bahwa ada nilai edukasi yang diberikan kepada masyarakat nelayan terutama terkait manajemen, pengenalan teknologi, memasarkan produk, membuka lapangan kerja. Terkait lapangan kerja, unit usaha ikan teri memberi pekerjaan untuk mama-mama dengan bekerja mengolah teri. Rata-rata penghasilan mereka per hari adalah 50 ribu rupiah. Bapak-bapak nelayan diberi pemahaman bahwa jika mereka menjual ikannya ke BUMDes-dan bukannya ke kapal-kapal besar- maka secara tidak langsung juga memberi pekerjaan kepada mama-mama di darat yang kemudian memproses teri ini.
Proses pengolahan teri dari hulu hingga hilir, dari awal hingga akhir semua melibatkan masyarakat. Nelayan menjual ikan ke BUMDes, ibu-ibu mencuci kemudian menjemur ikannya dan dibayar berdasarkan kuota. Misalnya dalam sehari ada 200 kg maka nilai jemurnya adalah 200 ribu rupiah, setelah kering kemudian disortir. Di Hadakewa ada 7 jenis teri. Nilai sortir juga dibayar per kilogram kemudian dikemas. Ada nilai uang di setiap rantai proses pengolahannya untuk menjadi pendapatan bagi mama-mama.
BUMDes yang telah memiliki 3 armada kapal penangkap, masing-masing mempekerjakan 5 orang kepala keluarga. Ditambah dengan ibu-ibu yang bekerja di darat mengolah ikan teri, total kurang lebih bisa menyerap 30 tenaga kerja. Sebanyak 30 warga terserap dalam BUMDes dari 1.050 merupakan awal yang cukup baik. Harapannya di masa depan bisa lebih banyak lagi.
Sebelumnya 75% kepemilikan kapal di Hadakewa oleh orang luar desa. Masyarakat desa hanya jadi pekerja saja, bukan pemilik atau bos. Dengan 3 armada yang diadakan oleh BUMDes warga menjadi bos di kapalnya sendiri. Kepemilikan bisa mereka cicil, cicilnya tidak harus dengan uang tapi bisa dengan ikan hasil tangkapan. Satu armada bernilai 150 juta rupiah, jika dicicil dengan lancar kurang lebih bisa lunas dalam 2 tahun.
Sistem Pemasaran Digital dengan Skema Marketplace
Iklan yang paling sederhana untuk mengenalkan teri adalah melalui media sosial, ungkap Klemens. Ia memulai iklan awalnya lewat facebook, dengan memperkenalkan bahwa di desa Hadakewa ada potensi teri. “Saya tidak mau image NTT tertinggal, bahwa hanya Tuhan yang bisa tolong. Jadi awalnya produk ini saya perkenalkan lewat facebook. Di tahun 2017 kami sudah punya website desa” cerita Klemens. Menurutnya pemasaran produk secara digital melalui media sosial ataupun website dapat membangun kepercayaan pembeli, terlebih jika diposting di marketplace. Atas dasar itu pula teri Hadakewa mulai dipasarkan di platform Tokopedia dan Shopee. Marketplace ini sebagai gate, pintu masuk untuk menunjukkan bahwa produk ini ada. Dalam perjalanannya, Kementerian Desa lalu mengenal website Hadakewa kemudian diliput juga juga oleh media CNN.
BUMDes Tujuh Maret berhasil merebut pasar potensial berbasis aplikasi digital untuk perdagangan secara daring sehingga jangkauan pemasaran menjadi lebih luas tidak terbatas pada wilayah NTT tapi sampai ke ke kota-kota besar di Indonesia. Kini BUMDes Tujuh Maret sudah memiliki reseller di Jakarta.
Melalui digitalisasi ini Tujuh Maret mulai dikenal. Bukan hanya teri tapi juga desa, kabupaten dan potensi yang dimiliki. Sekali mendayung 2-3 pulau terlampaui. Hadakewa dan Tujuh Maret kemudian dikenal karena digitalisasi ini.
“Produk kami bisa bersaing dengan teri Medan. Selama ini reseller kami di Jakarta hanya mengenal teri Medan. Namun seiring diperkenalkannya teri Hadakewa yang memiliki keunggulan rasa yang tidak terlalu asin dan juga tidak tawar serta 100% tidak mengandung pengawet perlahan mereka mulai beralih ke produk kami” cerita Klemens.
Pemasaran produk unggulan BUMDes Tujuh Maret berupa 7 varian ikan teri dengan sistem digital berupa toko online disertai dengan fitur whatsapp yang dapat menghubungkan langsung pembeli dengan pihak BUMDes. Dengan melakukan pemasaran online, BUMDes dapat terhubung langsung sehingga memudahkan komunikasi serta membina jaringan dan menumbuhkan kepercayaan konsumen.
Digitalisasi BUMDes ini dilakukan pihak desa Hadakewa bekerjasama dan dengan pendampingan langsung oleh Kementerian Desa PDTT melalui pemanfaatan dana desa.
Dukungan Pemerintah Kabupaten, Provinsi dan Nasional
Berjalan sendiri akan jauh, tapi akan lebih jauh lagi kalau berjalan bersama. Hadakewa dan BUMDes Tujuh Maret aktif berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten, provinsi dan nasional. Setelah memperkenalkan teri, setiap tahun Hadakewa mendapat anggaran sebesar Rp 200.000.000 dari kabupaten. Anggaran ini merupakan anggaran tematik karena desa Hadakewa dipandang sebagai desa yang cepat tumbuh, dan akan mempengaruhi desa-desa di sekitarnya. Tahun 2020 adalah tahun ke 2 menerima dana tematik ini sebagai dana pengembangan. Dari pemerintah provinsi khususnya dari dinas PMD (Pemberdayaan Masyarakat dan Desa) dan Dinas Sosial juga memberikan bantuan di tahun 2021 ini.
Dari pemerintah nasional sendiri yakni Kementerian Desa, memberikan kesempatan kepada Klemens Kwaman mewakili 3,200 kepala desa se NTT untuk belajar ke India mengikuti kegiatan benchmarking di tahun 2019 lalu.
Dampak Ekonomi
Usaha ikan teri Hadakewa memberi peluang kerja dan sumber pendapatan bagi warga, yang menjawab kesulitan ekonomi warga sebelumnya. Setiap rantai proses pengerjaan usaha ikan teri dikerjakan masyarakat Hadakewa sendiri. Mulai dari bagian penjemuran, sortir hingga pengemasan dikerjakan oleh mama-mama.
Setiap tahapan pekerjaan produksi ikan teri Hadakewa memiliki nilai uang yang menjadi sumber pendapatan bagi warga pekerja yang berjumlah berkisar 20-30 orang. Semua warga ikut mengambil bagian dalam pekerjaan produksi ikan teri Hadakewa sehingga dampak ekonominya juga benar-benar dirasakan masyarakat.
Yang paling terdampak dalam kegiatan BUMDes tentunya adalah bapak-bapak nelayan dan mama-mama. Dimana Bapak berperan sebagai nelayan yang menyuplai teri, dan mama-mama bagian pengolahan. Proses dari awal sampai akhir dilakukan oleh masyarakat, pengurus BUMDes hanya memastikan proses berjalan lancar.
“Memperkuat BUMDes dengan mimpi bahwa suatu hari kami tidak perlu mengharapkan dana bantuan lagi dari kabupaten, provinsi atau pusat karena kami memiliki kemampuan, modal di dalam desa sehingga kami mampu membangun desa dengan kekuatan kami sendiri” tekad Klemens.
Pengembangan Unit Usaha Pariwisata dan Kuliner
Potensi lain desa Hadakewa yang terletak di pinggir pantai tentunya adalah pemandangan yang indah serta hasil lautnya. Potensi pariwisata ini mulai direncanakan pengembangannya di tahun 2020. Karena usaha teri dipandang sudah cukup kuat, maka di tanggal 14 Februari 2021 unit usaha pariwisata diluncurkan di pantai Hadakewa.
Kehadiran unit bisnis pariwisata ini tentunya berdampak baik buat masyarakat karena mampu menyerap tenaga kerja kurang lebih 25 orang dengan penghasilan rata-rata 1 juta rupiah per bulan. Ikan hasil tangkapan nelayan juga bisa dipasarkan di sini dengan menyajikannya sebagai menu di restoran pantai, tentunya dengan harga yang baik. Pantai Hadakewa selain dilengkapi restoran, juga terdapat fasilitas café kapal, banana boat, camping ground, kayak dan SUP (Stand Up Paddleboard-papan dayung berdiri).
Prioritas penggunaan Dana Desa tahun 2022 adalah Pengembangan Desa Wisata untuk pertumbuhan ekonomi desa agar dapat merata. Pengembangan unit usaha pariwisata ini mendapat bantuan keuangan dari Gubernur NTT melalui Dinas PMD (Pemberdayaan Masyarakat Desa) provinsi sebesar tak kurang dari 85 juta rupiah.
Banyak rencana dan harapan baik yang dicita-citakan Klemens Kwaman bersama aparat desa dan pengurus BUMDes untuk Hadakewa ke depan, terlebih karena dalam pemilihan kepala desa baru-baru ini ia kembali diberi kepercayaan untuk menahkodai kapal Hadakewa 5 tahun kedepan.
“Bicara BUMDes bukan hanya tentang profit dari segi keuntungan rupiah tapi juga benefit atau nilai manfaat bagi masyarakat. Saya masih tetap bermimpi bahwa BUMDes ini akan dapat bersaing dengan BUMDes yang ada di Jawa atau Sulawesi” cita-cita Klemens.
Memilih teri bukan hanya persoalan menjual produk unggulan desa, tetapi juga tentang bagaimana memberi branding atau identitas kepada desa Hadakewa bahwa ada hal unik lain, potensi, keunggulan yang bisa dikembangkan dan dikerjakan bersama dan menjadi sebuah kebanggaan.
Untuk mengembangkan BUMDes dibutuhkan terobosan-terobosan dan inovasi kekinian sebagai alternatif pengembangan menuju kesejahteraan, salah satunya dengan penggunaan teknologi seperti yang dilakukan BUMDes Tujuh Maret dengan BUMDes onlinenya.
Saatnya membangun desa dari desa melalui BUMDes.