‘Emas Hitam’ dari Enrekang Beradu Nasib pada Cuaca
Penulis : Muhammad Fachry
  • Kopi merupakan tanaman yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Perubahan suhu, kelembaban, atau ketersediaan air tanah bisa berdampak besar pada produktivitasnya. Foto: Muhammad Fachry/ Mongabay Indonesia.
    Kopi merupakan tanaman yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Perubahan suhu, kelembaban, atau ketersediaan air tanah bisa berdampak besar pada produktivitasnya. Foto: Muhammad Fachry/ Mongabay Indonesia.

Tangan Agus terampil menyibak dedaunan kopi. Memetik buah kopi yang merah, sesekali memetik pucuk daun kopi yang muda. Letak kebunnya berada 1.500 mdpl di kaki Gunung Latimojong, Desa Karangan, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

Agus memetik buah yang merah satu persatu, dikumpulkan ke dalam ember kecil, berakhir di karung hingga penuh separuhnya. Luas kebunnya mencapai 5 hektar dengan tegakan pohon jati, durian dan rambutan di sela tanaman kopi. 

Tiap pagi Agus berjalan sejauh tiga kilometer menuju kebunnya. Kira-kira membutuhkan waktu 40 menit saja. Tanpa alas kaki, dia gesit menapaki serasah dedaunan dan tanah.  “Ini kebun dari warisan orang tua ji dek, termasuk juga semua ini pohon kopi robusta yang ada di ini kebun,” kata Agus sambil memandangi hamparan kebun kopi saat beristirahat. 

Agus, petani kopi Desa Karangan, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Kebunnya berada di 1.500 mdpl di kaki Gunung Lantimojong. Foto: Muhammad Fachry/ Mongabay Indonesia

Bulan ini, katanya menjadi musim panen kedua. Panen raya atau pertama, jumlah panennya lebih banyak dari panen kedua. “Dulu, satu hektar bisa menghasilkan satu ton kopi,” ujarnya sambil menghela nafas panjang. “Sekarang, jangankan satu ton, setengahnya pun sulit.” Tambahnya. Cuaca yang kian tak menentu membuat Agus khawatir akan hasil panennya tiap tahun. Selama ini, biaya sehari-hari dan menyekolahkan anak berasal dari kebun kopi. 

Varietas kopi Nating menjadi favorit kopi yang paling dicari oleh konsumen. Foto: Muhammad Fachry/ Mongabay Indonesia

Nursam Arifuddin (45) juga mengalami kegelisahan yang sama dengan Agus. Sebagai petani kopi robusta, dia mulai kewalahan dengan penurunan hasil panen. Dampaknya, penghasilannya kian tak menentu. “Banyak yang mulai berpikir beralih ke tanaman lain, seperti bawang merah. Mulai kewalahan, karena untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi tidak mudah. Ini memakan waktu yang lama,” ujarnya. 

Nursam mengatakan, perkebunan kopi ini sangat rentan terdampak dari krisis iklim.”Baru kita disini cuma mengandalkan pengalaman ji, jadi dapat perubahan cuaca kek begini itu pasti terasa sekali, dek dampaknya. Makin sulit kita untuk berusaha, cuma bisa ki berharap yang terbaik selalu.” Tuturnya.

 

Dari kebun hingga ke kedai kopi

Agil Valentino (35), pemilik kedai kopi Majao kian khawatir akan pasokan biji kopi dari para petani lokal Enrekang. Dalam beberapa tahun terakhir, stok kopi Enrekang habis sebelum musim panen tiba. Foto: Muhammad Fachry/ Mongabay Indonesia.

Krisis iklim tak hanya berdampak pada para petani, tapi juga pada para pemilik kedai. Agil Valentino (35), pemilik kedai kopi Majao khawatir akan pasokan biji kopi dari para petani lokal. Namun seringkali stok habis sebelum musim panen tiba. Hal ini membuatnya menolak permintaan dari konsumen. 

Agil bercerita dia biasa membeli kopi lokal karena kualitasnya yang baik dan stabil. Varietas kopi Nating menjadi favorit kopi yang paling dicari oleh konsumen. “Supply kopi dari petani tergantung dari bagaimana musim. Jika musim kemarau dan hujan seimbang, maka produksi kopi juga baik. Kalau tahun lalu, kemarau panjang, produksi kopi juga turun,” ujarnya. 

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Enrekang menunjukkan tren produksi kopi yang mengkhawatirkan. Luas area perkebunan kopi meningkat 6,7 persen dalam tiga tahun terakhir. Yakni, 17.891 hektar (2021) menjadi 19.087 hektar 2023. Meski begitu, produksi justru menurun 8,8 persen dari 9.560 ton menjadi 8.714 ton dalam periode yang sama.

 

Luas lahan meningkat, tapi produktivitas menurun

Petani kopi di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan mulai kewalahan dengan penurunan hasil panen kopi. Dampaknya, penghasilannya kian tak menentu. Foto: Muhammad Fachry/ Mongabay Indonesia

Baharuddin, dosen bidang Hasil Hutan Bukan Kayu Universitas Hasanuddin khawatir kita akan kehilangan kopi dengan varietas yang baik karena krisis iklim. “Kopi adalah tanaman yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Perubahan suhu, kelembaban, atau ketersediaan air tanah bisa berdampak besar pada produktivitasnya.” Papar Baharuddin.

Pernyataan ini didukung oleh data curah hujan Kabupaten Enrekang. Rata-rata curah hujan menurun drastis dari 2.138,5 mm pada 2021 menjadi hanya 1.332,67 mm pada 2023, penurunannya sebesar 37,7 persen. “Penurunan curah hujan ini berdampak langsung pada fase pembungaan dan pembuahan kopi,” tambahnya.

Penelitian terbaru, menunjukkan bahwa perubahan iklim berdampak negatif pada produksi kopi, khususnya kopi arabika. Ini terlihat dari meningkatnya intensitas dan frekuensi kejadian cuaca ekstrim akan menyebabkan meningkatnya kejadian hama dan penyakit. Akibatnya banyak area yang tidak cocok untuk produksi dan hasil panen yang kian rendah. 

Penelitian lain yang terbit di jurnal ilmiah Regional Environmental Change (2015) menyebutkan luas area yang secara iklim dan topografi cocok untuk menanam kopi arabika berkurang sepertiga dari area produksi saat ini pada 2050.

Skenario terburuknya, saintis menyebutkan kopi arabika liar dapat punah pada tahun 2080. Bahkan tidak hanya robusta dan arabika, setidaknya 60 persen spesies kopi di dunia terancam punah. 

Pertumbuhan kopi arabika akan sulit karena perubahan iklim. Dampaknya terjadi pengurangan produktivitas hingga gagal panen. Sehingga volume kopi berkualitas untuk bisa dinikmati akan semakin berkurang. 

Melihat kondisi iklim ini, kata Baharuddin, penting bagi petani untuk beradaptasi. “Kita perlu beralih dari sistem monokultur ke agroforestri. Ini bisa membantu menstabilkan iklim mikro di kebun kopi.”

Sementara itu, Agil menegaskan bahwa nasib “emas hitam” Enrekang dan ribuan keluarga petani sangat bergantung pada cuaca. Harapannya, ada aksi nyata dari semua pihak untuk mengatasinya. “Kita perlu menjaga aroma kopi Enrekang tetap bisa mengharumkan bumi Sulawesi untuk generasi mendatang.”

 

Informasi lebih lanjut:

Muhammad Fachry, mahasiswa Program Studi Kehutanan Universitas Hasanuddin. Tergabung dalam UKM Belantara Kreatif, dengan minat pada bidang seni dan jurnalistik. Gemar membaca novel dan juga menjelajahi alam.

 

Sumber: mongabay.co.id

https://www.mongabay.co.id/2024/10/28/emas-hitam-dari-enrekang-beradu-nasib-pada-cuaca/

 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.