Cintai Budaya Selamatkan Lingkungan
Penulis : Sumarni Arianto
  • Foto: Limau Jiko
    Foto: Limau Jiko

Love Culture Save Nature yang berarti cintai budaya, selamatkan alam adalah tagline Jailolo Culture yang didirikan oleh Dyah Kusuma bersama dengan komunitas lokal dan pemerintah daerah Jailolo. Sudah 13 tahun Dyah Kusuma menyalurkan kecintaannya terhadap Halmahera Barat melalui berbagai aktivitas untuk mengangkat budaya bersama komunitas lokal dalam berbagai aktivitas kreatif, seperti yang kita kenal salah satunya adalah Festival Teluk Jailolo. Dyah Kusuma juga membangun pusat pembelajaran rempah-rempah yang dinamakan Limau Jiko Spice Creative Center. Dyah Kusuma dan Limau Jiko Spice Creative Center membangun gagasan-gagasan kreatif dan harapan tentang masa depan rempah-rempah melalui pemberdayaan, peningkatan ekonomi berbasis komunitas untuk mampu berdiri menghidupi masa depan generasi penerus Jailolo. 

Jailolo adalah sebuah kecamatan dan juga merupakan ibukota dari kabupaten Halmahera Barat, provinsi Maluku Utara. Penduduk kecamatan ini berjumlah 35.502 jiwa (2021), dengan luas wilayah 226,00 km², dan kepadatan penduduk 157,09 jiwa/km². Sementara ibukota atau pusat pemerintahan kecamatan Jailolo berada di desa Gufasa. (sumber: Wikipedia).
Untuk mencapai Jailolo dari kota Ternate - ibu kota Maluku Utara - butuh waktu sekitar 40 menit dengan kapal cepat atau kapal kayu. Jailolo yang merupakan kota teluk memiliki pemandangan laut dan pegunungan yang indah, kekayaan alam yang luar biasa. Saking kayanya, hingga ada ungkapan ‘di Jailolo orang makan dulu lalu bekerja’, alam Jailolo begitu memanjakan masyarakatnya.

Pengalaman awal Dyah saat berkunjung ke Jailolo begitu berkesan, ini kali pertamanya menyaksikan Indonesia timur yang luar biasa. Menurutnya, ekspektasi awal bagi orang yang belum pernah ke Indonesia timur, adalah tentang letaknya yang jauh dan tertinggal. “Ketika saya kesini pertama kali, saya takjub melihat alamnya. Di Jawa, jarak antara laut dan gunung terasa jauh, di sini kita disuguhi pemandangan gunung yang seperti menyeruak dari laut, luar biasa” ungkap Dyah. 

Masyarakat Jailolo menurut Dyah sangat terbuka, ramah dengan berbagai kebudayaan. Dyah yang awalnya event organizer mengungkapkan bahwa ide awal membuat Festival Teluk Jailolo datang dari bapak bupati yang memang mempunyai visi untuk memajukan daerah melalui pariwisata. Dyah bersama timnya saat itu diberikan kesempatan membuat pendokumentasian dalam bentuk buku tentang keindahan alam dari Halmahera Barat. 

Dari titik itu Dyah mengeksplorasi Jailolo dari desa ke desa. Sekitar tahun 2009, suasana Jailolo masih terimbas konflik Ambon, ia melihat sesuatu yang indah sekaligus mengundang tanya. Kabupaten Halmahera Barat merupakan wilayah hasil pemekaran sekitar tahun 2003 yang tadinya satu provinsi satu kabupaten, dapat dibayangkan kondisi infrastruktur, sosial, ekonomi  dan kebudayaan yang masih berjalan sebagai bagian ritual, tapi belum diarahkan untuk menjadi sebuah potensi ekonomi. 

Di satu sisi Bupati kala itu ingin menggerakkan masyarakat dengan memulai pariwisata. “Yang melekat di ingatan saya pada saat memotret adalah seorang bapak yang bertanya "Buat apa foto-foto?" Dijelaskan bahwa Dyah dan tim bermaksud membuat buku agar orang-orang tahu keindahan Jailolo" jawaban Dyah lalu diikuti pertanyaan "Siapa yang mau ke sini?". Dapat dibayangkan betapa peluang ekonomi dari potensi keindahan alam dan budaya Jailolo jauh dari bayangan mereka, bahwa kekayaan ini dapat mengundang orang untuk berkunjung.
Dialog ini membekas dalam ingatan Dyah, sekaligus menjadi motivasi bersama pemerintah setempat membuat Festival Teluk Jailolo. Selain menjadi wadah mengekspresikan seni budaya, event ini mempertemukan masyarakat pesisir dan pegunungan untuk berkreasi bersama. 

Melalui festival ini, secara visual masyarakat diberi literasi yang berujung pada regenerasi unsur-unsur kebudayaan melalui ruang kreatif. Selama ini budaya dalam perspektif anak muda adalah sesuatu yang tua, kolot dan membosankan. Sejatinya budaya adalah jati diri dan identitas masyarakat, membuat anak muda mau bergabung dalam ruang festival adalah salah satu tantangannya.

Festival Teluk Jailolo selain memberikan suguhan pertunjukan di atas laut berupa panggung megah, pertunjukan juga digelar di desa-desa yang melibatkan masyarakat setempat. Aneka pertunjukan kesenian tradisional, sajian kuliner khas Halmahera Barat, hingga memperlihatkan keindahan bawah laut, menjadi daya tarik wisatawan yang datang. Pun keramahan khas Maluku menyambut para wisatawan. “Awalnya kami tidak berpikir bisa mengundang wisatawan, kami fokus bagaimana masyarakat terlibat dulu dan punya kesadaran untuk berpartisipasi” kenang Dyah. Festival pertama disiapkan sekitar 1 tahun dengan dukungan banyak pihak. Untuk Halmahera Barat sendiri ini sesuatu yang relatif baru hingga mengundang minat dari media dan juga komunitas-komunitas. 

Di Festival Teluk Jailolo tahun 2010 lalu, Dyah dibuat takjub dan kaget karena masyarakat sendiri belum siap, hotel saja kala itu baru ada 3 dan jauh dari standar. Merespons hal ini Dyah bersama Pemda menggerakkan masyarakat untuk membuat rumah menjadi homestay. Masyarakat diajar cara menerima tamu, orang-orang yang menginap senang karena mereka merasa menjadi bagian dari keluarga baru di Jailolo. 

Wisatawan yang berkunjung merasa punya keluarga, mereka lalu menceritakan Jailolo ke teman-teman yang lain sampai Festival Jailolo berjalan selama kurang lebih 13 tahun. Pemda mempunyai peran yang luar biasa terutama tim pariwisata yang mengembangkan hingga ke desa-desa yang sebelumnya bukan destinasi wisata. 
Selain menginisiasi Festival Jailolo, Dyah bersama masyarakat setempat mendirikan komunitas yang bernama Limau Jiko Spice Creative Center. Limau Jiko hadir setelah Dyah melihat potensi rempah-rempah Jailolo yang luar biasa, sementara masyarakat memerlukan contoh baik pemanfaatannya. Dyah lalu mencoba membuat beberapa produk berbahan rempah-rempah yang kemudian kini menjadi salah satu pilihan oleh-oleh untuk dibawa wisatawan pulang.

1
Spice Trip digerakkan bersama pokdarwis desa Bobabnehena, untuk memberikan pengalaman wisata yang berwawasan budaya, lingkungan dan juga menumbuhkan ketahanan pangan lokal, dengan memperkenalkan berbagai budaya pertanian, dan juga gastronomi di Halmahera Barat.Spice Trip menjadi ikon wisata di Desa Bobanehena, Halmahera Barat.
Foto: Limau Jiko

Sebelum menciptakan produk berbahan rempah-rempah, bersama teman-teman setempat Dyah mengumpulkan cerita dari kebudayaan Jailolo. Dialog bersama para tetua menjadi kumpulan referensi. Salah satu produknya terinspirasi dari ramuan yang dipakai dalam ritual yang dilaksanakan untuk anak perempuan yang menyambut masa dewasanya (menstruasi). Ritual yang menandai siklus kehidupan baru seorang gadis memasuki masa remaja, yang ditandai dengan haid pertama, yang disebut Oke Sou. Ritual berlangsung mulai 3 hari, 5 hari, 7 hari dan 9 hari. Dalam ritual itu ada urutan-urutan serupa rangkaian perawatan spa.

1
Etno Spa Oke Sou, memberdayakan para peramu ramuan Oke Sou, yang ada di Desa Bobanehena, Halmahera Barat, untuk meliterasi ramuan dan membuat taman Oke Sou di area Limau Jiko Spice Creative Center, untuk melestarikan tanaman2 yang digunakan dalam ramuan, dan membangkitkan minat generasi muda untuk mengembangkan ramuan dalam formulasi modern.
Foto: Limau Jiko

Mulai pemakaian bedak, mandi, dilanjutkan dengan dodino seperti scrubbing, kemudian minum obat. Proses ini menandakan urutan perawatan tubuh yang berakar dari budaya dengan menggunakan tumbuh-tumbuhan yang ada disekitar desa, dimana pengetahuan ini adalah sebuah warisan luar biasa dari leluhur yang mungkin tidak banyak yang tahu. Ironisnya, tidak banyak anak muda yang tertarik untuk belajar tentang ramuan ini. Formulasi ramuan Oke Sou, hadir dalam varian Dodino Natural Moisturizing Body Lotion dan Dodino Natural Body Wash, yang praktis untuk dibawa dan digunakan setiap hari, bermanfaat untuk melembabkan, mengangkat sel kulit mati dan mencerahkan kulit, dengan keharuman wangi bunga Kenanga yang menenangkan.

Tahun 2015, masih ada sekitar 10 peramu namun sekarang tersisa 4 orang. Hal ini yang menggerakkan Dyah untuk mengajak generasi muda melalui ruang yang relevan dengan perkembangan jaman. Anak muda diajak kembali mengenali akar budayanya. Bersama ibu-ibu peramu setiap sebulan sekali pemuda diajak belajar mengolah rempah. Satu produk dibuat sebagai contoh dalam bentuk body lotion. Harapannya anak muda bisa membuat produk-produk sama dari kekayaan perawatan tubuh yang ada di Halmahera Barat. 

Selain melestarikan resep leluhur berbahan rempah khas, kegiatan lain Limau Jiko terkait pelestarian tenun tradisional Jailolo. Adalah Singkap Motif Sahu, kegiatan yang dilaksanakan untuk menyelamatkan koleksi kain tenun tua dengan motif Ba'boba dan Ba'Suje milik Suku Sahu di Halmahera Barat, yang sudah tidak ada lagi penenunnya, melalui gelaran koleksi milik masyarakat, untuk membangkitkan kepedulian masyarakat dalam memelihara, dan membangkitkan minat untuk merevitalisasi kain tenun milik Suku Sahu tersebut.
 

1
Singkap Motif Sahu, kegiatan yang dilaksanakan untuk menyelamatkan koleksi kain tenun tua dengan motif Ba'boba dan Ba'Suje milik Suku Sahu di Halmahera Barat, yang sudah tidak ada lagi penenunnya, melalui gelaran koleksi milik masyarakat, untuk membangkitkan kepedulian masyarakat dalam memelihara, dan membangkitkan minat untuk merevitalisasi kain tenun milik Suku Sahu tersebut.
Foto: Limau Jika

Limau Jiko dibuat sebagai creative center dengan konsep ruang sosial yang mengakomodasi aktivitas pemberdayaan melalui pendekatan bisnis. Selama ini masyarakat hanya berkarya tetapi tidak punya ruang untuk menyalurkannya, karya mereka tidak terdistribusi. Limau Jiko hadir menjembatani gap antara masyarakat dan pasar. 
Seperti Jailolo kultur, visi dengan konsep Satu Brand, Satu Kekuatan dari Jailolo dikembangkan. Bukan hanya produk perawatan tapi produk-produk kesehatan dari desa-desa juga difasilitasi dalam proses branding dengan tidak meninggalkan citranya. Jailolo diharapkan berorientasi pada produk-produk natural yang berbasis pada alam, terutama dalam mengolah limbah-limbah, seperti limbah pala yang selama ini hanya dimanfaatkan fulinya (kulit ari biji pala).

Limau Jiko adalah komunitas yang cair, komunitas yang terbuka. Siapapun bisa bergabung dan berkolaborasi. Limau Jiko menjadi ruang bersama, mengelola bersama secara profesional yang menjadi tempat belajar komunitas. “Saat ini paling penting menumbuhkan dan membuka cakrawala berpikir, menghargai potensi luar biasa Jailolo karena terkadang keindahan yang kita lihat setiap hari tidak nampak indah tapi perlu perspektif luar untuk mengenali keindahan tersebut” ungkap Dyah.

1

Festival Teluk Jailolo dan geliat Limau Jiko membawa perubahan positif, utamanya dalam hal pariwisata. Pariwisata lahir dari nol sejak festival pertama dilaksanakan. Dari yang sebelumnya infrastruktur terbatas, tidak ada homestay, masyarakat kemudian dikenalkan mulai dari tata cara menerima tamu, ekosistem pariwisata mulai berkembang. Meski belum semaju daerah wisata lain, namun Jailolo mempunyai keunikan tersendiri. Ada pengalaman berbeda yang ditawarkan bumi Jailolo. Bagi wisatawan yang pernah berkunjung, Jailolo menjadi rumah jauh tempat menikmati keindahan alam dan budaya. Dari sisi masyarakat pun ada pemahaman yang tumbuh untuk mau belajar, berkreasi. 

Sebelum pariwisata diperkenalkan, cita-cita anak muda Jailolo hanya sebatas menjadi ASN, polisi, tentara dan profesi sejenisnya. Tidak ada bayangan akan profesi terkait pariwisata, namun seiring berkembangnya pariwisata saat ini sudah ada yang menjadi penyelam, dive master, guide, tuan rumah homestay. Mata pencaharian baru lainnya juga hadir, merespon geliat pariwisata dan industri kreatif. Seperti Limau Jiko yang membuat bangunan menggunakan bambu, yang selama ini tidak dimanfaatkan. Pembangunan ini kemudian membuka mata warga setempat bahwa bambu memiliki nilai ekonomis tinggi. Kemudian muncullah supplier-supplier bambu dari desa-desa. Mereka juga belajar membuat atap dari bambu, artinya berkembang usaha-usaha baru yang timbul dari apa yang Jiko Limau lakukan. Saat ini bambu mulai dijaga dan dirawat. “Kami membuat role model dengan identitas budaya lewat arsitektur yang kekinian jadi bisa menimbulkan inspirasi baru untuk masyarakat” cerita Dyah. 

Limau Jiko membuka ruang untuk siapapun, harapannya hal ini diikuti dengan terbukanya peluang baru bagi desa-desa. Jailolo diapit oleh Manado di sebelah kiri -yang sudah menjadi ikon pariwisata untuk Indonesia timur- dan Raja Ampat di sebelah kanan, harapannya Jailolo bisa terpantik, bertumbuh dengan memaksimalkan semua potensi dan kejayaan Jailolo menjadi tujuan wisata khusus terkait dengan rempah. Dyah berharap apa yang dikerjakan saat ini bersama Limau Jiko dapat terus bertumbuh untuk menjaga komitmen dan konsistensi bersama masyarakat, agar ekonomi terus bertumbuh di Jailolo. 

Sebuah ide dapat diwujudkan dengan kerja keras, konsistensi, juga kolaborasi dan sinergi dengan pihak-pihak lain. Masyarakat penting untuk diajak percaya dan menghargai potensi yang dimiliki dengan tidak meninggalkan akar identitas karena setiap daerah punya keunikannya masing-masing.

Informasi lebih lengkap mengenai inisiatif ini dapat menghubungi:
Dyah Kusuma (Founder Limau Jiko Spice Creative Center) melalui email jailolokultur@gmail.com

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.