Dulu, ketika saya menempuh perkuliahan di jurusan ilmu kelautan, saya merasa selalu disuapi makanan yang sama lagi dan lagi. Meski mulut saya terkatup karena bosan akan menu yang sama tentang ekosistem terumbu karang.
Semua yang Dipelajari di Bangku Sekolah Sudah Usang!
Oke, sebelum kita membahas hal lain dan mulai mengarahkan jari telunjuk, saya akan memberikan penjelasan singkat tentang hewan karang. Jadi pada dasarnya, karang adalah hewan yang masih sekerabat dengan ubur-ubur. Nah, hewan karang itu terdiri dari polip. Polip merupakan bentuk tersederhana dari hewan karang, sebagaimana manusia terdiri dari sel. Nah, polip yang mungil ini kemudian membentuk struktur keras dari kalsium karbonat. Gabungan dari struktur kalsium karbonat yang dihuni polip-polip mungil ini yang disebut sebagai terumbu karang. Hewan karang bersimbiosis dengan fitoplankton yang memberikan warna pada karang dan memberikan nutrisi pada karang yaitu zooxanthellae.
Ekosistem terumbu karang dihuni tidak hanya oleh hewan karang, tetapi terumbu karang juga saling memberikan timbal balik kepada organisme lain seperti ikan karang dan makrozoobentos yang menggantungkan hidupnya kepada terumbu karang. Ekosistem terumbu karang menjadi suaka dan rumah yang menghidupi banyak organisme, termasuk kita, homo sapiens. Homo sapiens sangat bergantung kepada ekosistem terumbu karang, entah itu dari segi pariwisata. atau komunitas nelayan yang mengambil ikan-ikan yang hidup di sekitaran ekosistem terumbu karang.
Ekosistem terumbu karang memiliki parameter-parameter khusus untuk terus mempertahankan kehidupannya, seperti parameter kecerahan perairan, suhu, kecepatan arus, oksigen terlarut, pH, dan lain-lain. Semua parameter tersebut akan menjadi kunci dari kelangsungan hidup terumbu karang. Jika ada hal yang janggal dari satu parameter saja, katakanlah suhu, hal tersebut dapat mempengaruhi kehidupan hewan karang.
Perubahan pada parameter lingkungan membuat ekosistem terumbu karang lebih rentan mengalami kerusakan, rentan akan timbulnya penyakit dan gangguan kesehatan karang, serta karang akan lebih sulit “menyembuhkan” dirinya sendiri jika suatu saat terkena penyakit. Masalahnya, kita sekarang sedang dihadapkan dengan krisis iklim, belum lagi ditambah dengan faktor antropogenik lainnya seperti pembangunan yang tidak berlandaskan asas keberlanjutan, terlalu banyak stressor yang menekan ekosistem terumbu karang. Tidak hanya satu parameter perairan saja yang terganggu, faktor yang merusak ekosistem terumbu karang menjadi banyak sekali cabangnya, seperti benang kusut.
Hal yang tidak diceritakan di bangku pendidikan adalah ekosistem tidak pernah berada dalam kondisi yang konstan. Saya masih ingat perkataan dosen saya, “alam akan selalu kembali ke titik stabil”. Dulu saya kira itu adalah pernyataan yang sangat keren, filosofis, dan membangkitkan gairah. Pernyataan tersebut memberikan rasa ketenangan bahwa segalanya akan berakhir dengan penuh cinta, kedamaian dan keindahan, seperti tepukan di pundak yang meyakinkan bahwa hal akan berakhir dengan baik-baik saja. Bangku pendidikan luput bahwa kita sekarang sedang berada di titik nadir.
Mempertanyakan “Titik Stabil”
Saya belajar bahwa tidak ada yang namanya “titik stabil” dalam ekosistem terumbu karang. Justru yang harus kita pertanyakan adalah “titik stabil” itu sendiri. Jika “titik stabil” yang dimaksud adalah kembalinya ekosistem terumbu karang dalam kondisi “sehat” dan “menunjang” kehidupan masyarakat pesisir, maka kita harus curiga dengan intensi kita yang menginginkan “titik stabil” itu. Bagaimana tidak, sejauh ini yang manusia lakukan hanyalah memberi tekanan tambahan pada ekosistem. Sebagai contoh, suhu permukaan laut yang kian meningkat karena emisi gas karbon dioksida yang kian tidak terkontrol, atau sedimentasi yang terjadi karena reklamasi terus menerus. Homo sapiens senang sekali memasak panekuk apokalips lalu kemudian berharap bahwa alam akan kembali ke “titik stabil”.
Pemenang dan Pecundang
Saya melupakan semua yang sudah diajarkan oleh dosen-dosen saya (tentang ekosistem terumbu karang) ketika saya melakukan penelitian untuk tugas akhir saya. Saya meneliti tentang penyakit dan gangguan kesehatan karang di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Penelitian itu lah yang akhirnya memberikan tamparan keras, mengubah arah berpikir saya, dan membuat saya merenungkan peran homo sapiens di Bumi ini.
Tentu, saya menemukan bukti atau sampel penyakit karang di penelitian saya. Tetapi bukan penyakit karang yang membuat saya merenung, melainkan hal sederhana seperti kompetisi ruang. Mungkin terdengar seperti hal yang biasa saja bagi para peneliti, kompetisi ruang terjadi di mana saja, itu hal yang umum, namun bagi saya kompetisi ruang menyentuh hal filosofis seperti ketidakkekalan dan ekosistem yang selalu bergerak.
Saya akan sedikit bercerita tentang kompetisi ruang. Sederhananya, terumbu karang yang bergantung pada parameter perairan untuk menunjang keberlangsungannya, hidup berdampingan dengan makroalga dan spons. Di Pulau Pramuka, sedimentasi cukup tinggi dan menyebabkan penumpukan sedimen pada permukaan karang, terlebih lagi karang dengan bentuk masif. Tidak jarang saya temukan karang yang mati karena tumpukan sedimen di permukaannya. Tetapi, sekali lagi, alam selalu menemukan cara untuk terus bergerak hidup, stagnasi tidak ada dalam tata cara kerja alam. Ketika karang tidak mampu bertahan dari stressor yang datang, akan ada “pemenang baru” yang hidup, yaitu spons dan makroalga. Spons dan makroalga lebih tahan terhadap stressor seperti kenaikan suhu air laut, penurunan pH, dan laju sedimentasi yang tinggi.
Temuan yang menarik adalah spons chalinula yang “menjajah” sebuah koloni karang. Di tengah gempuran stressor yang menekan ekosistem terumbu karang perairan Pulau Pramuka, spons chalinula berhasil mengambil alih ruang hidup beberapa koloni karang dari berbagai macam bentuk pertumbuhan. Begitu pula dengan makroalga, mereka berhasil membuat karang menjadi golongan “pecundang” yang tidak tahan terhadap perubahan parameter lingkungan.
Karena temuan kompetisi ruang itu lah saya dengan lantang berani mengadu argumen bahwa tidak pernah ada titik stabil yang terus menerus dalam waktu yang lama di kamus cara kerja alam, segalanya hanyalah sementara, yang ada hanyalah “kestabilan alternatif”.
Ketika ada perubahan pada parameter lingkungan di ekosistem terumbu karang, otomatis alam akan menyesuaikan dirinya dan menciptakan “kestabilan alternatif”, buktinya ada dalam kasus kompetisi ruang, makroalga dan spons hadir menjadi “pemenang” di tengah “ketidakmampuan” terumbu karang untuk bertahan hidup dalam kondisi parameter lingkungan yang sudah berubah.
Nah, pertanyaannya adalah, alam akan baik-baik saja dalam kondisi “kestabilan alternatif” yang tercipta (dari hasil krisis iklim dan faktor antropogenik yang homo sapiens hasilkan), toh ada-ada saja organisme yang masih bisa hidup, tapi homo sapiens bisa tidak tetap hidup di tengah “kestabilan alternatif”?
Bertahan Hidup di Tengah “Kestabilan Alternatif”
Barisan terumbu karang yang kamu biasa temukan bisa jadi terbentuk sekitar 100 ribu tahun yang lalu, bahkan terumbu karang atoll bisa jadi terbentuk sekitar 300 ribu tahun yang lalu. Sederhananya, ketika kamu menyelam dan melihat barisan terumbu karang, kamu sedang melihat masa lalu, karang yang besar sekali bentuknya bisa jadi lebih tua dari buyut kamu.
Tetapi, di penyelaman terakhir saya, saat saya mengambil data penyakit dan gangguan kesehatan karang, saya sudah tidak lagi melihat masa lalu. Saya hanya melihat masa depan yang sangat muram. Alga dan spons mengambil ruang hidup terumbu karang, pemutihan karang terjadi di mana-mana, beberapa karang bahkan menunjukan tanda-tanda hadirnya penyakit karang.
Acropora suharsonoi, hanya akan berakhir di museum atau di ingatan orang-orang yang dulu pernah melihatnya. Keindahan ekosistem terumbu karang yang biasa kita lihat sekarang akan hanya menjadi ingatan yang syukur-syukur bisa kita ceritakan ke anak cucu kita.
Tidak akan ada lagi ikan-ikan yang mencari suaka di terumbu karang. Nelayan sudah menyandarkan kapalnya, beberapa ada yang menjual kapalnya dengan harga murah karena mencari ikan kian sulit rasanya, itupun jika ada yang mau membelinya. Masyarakat pesisir kehilangan sumber penghidupannya, anak-anak terpaksa putus sekolah, mereka yang beruntung pernah mengecap bangku pendidikan memilih untuk tinggal di kota besar, barang sekali dua kali mengirimkan uang untuk ibu dan bapak menaruh makanan di meja.
Saatnya Untuk Optimis
Saya mencoba untuk selalu berbaik sangka pada kemampuan homo sapiens. Di tengah krisis iklim yang sedang kita alami sekarang ini, sudah saatnya kita membangun solidaritas! Mungkin kalimat tadi hanya terdengar seperti jargon saja bagimu, tetapi janganlah pernah kamu lupakan bahwa homo sapiens bisa mencapai masa gemilang hingga saat ini karena kerja sama antar kelompok. Pada dasarnya homo sapiens (dibalik semua perangai egois yang kita miliki) adalah makhluk yang penuh cinta kasih. Kita bisa jadi lebih baik atau bahkan lebih buruk, pilihan sepenuhnya ada di tangan kita.
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Janganlah pernah berhenti berbicara mengenai krisis iklim! Jika perlu marah, maka marahlah, biarkan amarahmu menjadi suar. Lekatkan matamu pada mereka yang membuat kebijakan, lekatkan pula kupingmu pada mereka yang terancam nyawanya, masyarakat adat dan masyarakat pesisir. Mari bersama berpegangan tangan di tengah apokalips!
Sumber: jurno.id
https://jurno.id/terumbu-karang-berpegangan-tangan-di-tengah-apokalips