Begini Urgensi Penguatan Tradisi Bahari  untuk Kelestarian Laut di Indonesia Timur
Penulis : Mahmud Ichi
  • Masyarakat Suku Bajau Laut di Teluk Tomini, Gorontalo, Sulawesi <br> Foto : Alex John Ulaen
    Masyarakat Suku Bajau Laut di Teluk Tomini, Gorontalo, Sulawesi
    Foto : Alex John Ulaen

Sebagai negara kepulauan, masyarakat di Indonesia timur lekat dengan tradisi kearifan lokal kehidupan laut yang telah berusia puluhan, bahkan ratusan tahun. Akan tetapi kearifan lokal kehidupan laut itu seringkali dikesampingkan dalam pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir pulau-pulau kecil. Padahal aspek kebudayaan dalam konteks negara kepulauan maritim haruslah ditempatkan pada posisi yang strategis.

Hal tersebut terungkap dalam acara webinar yang diselenggarakan oleh Jaring Nusa pada pertengahan April 2022, bertema “Menguatkan Budaya Bahari Mempertegas Jati Diri Masyarakat Pesisir dan Pulau Kecil” yang menghadirkan narasumber dari unsur pemerintahan, akademisi dan komunitas lokal,

Jaring Nusa, merupakan LSM yang concern pada isu pesisir dan pulau-pulau kecil serta memfokuskan kegiatannya di Indonesia bagian timur termasuk Maluku Utara.
Para pembicara mengupas berbagai masalah masyarakat adat pesisir dan praktek tradisi bahari yang ada di Indonesia timur sebagai penanda jati diri kehidupan selaras alam setempat yang sebenarnya sangat cocok diterapkan untuk kelestarian sumberdaya laut. Sehingga menjadi penting untuk menjaga tradisi budaya bahari tersebut.

“Salah satu contoh, saat ini sangat banyak tradisi bahari terutama dalam beragam cara menangkap ikan dan memanfaatkan sumber daya laut, mulai tergerus oleh hadirnya mesin dan teknologi,” kata Alex Jhon Ulaen dari Pusat Kajian Komunitas Adat dan Budaya Manado dalam webinar tersebut

Pemanfaatan teknologi dan inovasi alat tangkap ikan, lanjut Alex, seringkali menghilangkan kearifan lokal seperti dihadapi masyarakat di Kepulauan Sangihe Sulawesi Utara. Dia mengutip disertasi sejarawan Profesor Doktor B Lapian berjudul “Orang Laut, Bajak Laut dan Raja Laut” yang menyebutkan peralihan dari tradisi bahari yang kuat di Indonesia timur ke tradisi maritim sudah terjadi sejak awal abad ke-19.

“Ketika pakar hukum hanya mengenal hak ulayat di darat, tetapi para peneliti dari LIPI mengatakan bahwa ada hak ulayat laut yang mereka temukan di kepulauan Sangihe hingga bagian timur Indonesia lainnya. Nah ada temuan dari riset itu tradisi bahari itu terancam punah,” katanya.

Lalu siapa saja pendukung tradisi bahari itu?
Alex menyebut pendukung tradisi bahari di nusantara itu adalah orang laut di bagian barat nusantara, masyarakat Suku Bajau, dan bajak Laut yang masih ada, pelayar serta pelaut tradisional.

Dia contohkan, tradisi bahari Kepulauan Sangihe mengenal kegiatan Seke Maneke yakni menangkap ikan menggunakan alat tangkap tradisional, dimana hasil tangkapannya dibagi ke semua warga kampung, termasuk ada hak janda dan anak yatim. “Alat Seke terakhir ditemukan pada 2010 di Pulau Makalehe yang rusak dihantam badai. Di pulau itu ada 13 titik hak ulayat laut. Saat ini tradisi bahari yang ada praktek seke maneke itu berubah ke Somaseke dan terakhir menggunakan Pajeko,” jelasnya.

Ada beberapa catatan seiring peralihan bahari ke maritime, lanjutnya, ditandai dengan motorisasi sampan bercadik menggunakan mesin pompa dari Filipina yang dinamai punboat yang mengikis tradisi bahari. Padahal ketika mereka menggunakan sampan misalnya, saat mendayung mendendangkan nyanyian dan lagu. Tidak itu saja, nelayan atau warga juga punya pengetahuan melaut sehingga dapat menghindari waktu arus ombak dan lain lain.

Alex yang juga pemerhati sejarah dan budaya bahari itu menjelaskan, tradisi bahari di ambang kepunahan merujuk pada maneke’ tradisi menangkap ikan dari Kepulauan Sangihe itu. “Tradisi maneke’ merupakan aktivitas menangkap ikan dengan peralatan tradisional yang dilakukan secara massal dan terorganisir. Alat tangkap utama dalam tradisi maneke’ itu terbuat dari bambu halus dan rotan yang diberi nama pandihe,”

Sedangkan O.Z.S. Tihurua dari Yayasan Jala Ina Maluku menjelaskan masyarakat adat di pulau-pulau kecil menghadapi permasalahan yang sama dengan masyarakat adat di Indonesia timur, terutama masalah batas pemanfaatan wilayah adatnya.

Menurutnya, masyarakat kepulauan Maluku tinggal di tiga karakteristik pulau, yakni pulau kecil dengan daratan dan hutan yang luas seperti di Seram dan Buru, pulau lebih kecil di mana masyarakat yang hidup dengan karakter pulaunya, punya daratan dan kebun, serta hidup di pulau sangat kecil. Karakter pulau ini menunjukan karakter negeri adat dan hukum adatnya. Masyarakat di pulau kecil punya orientasi laut, tapi ada kebun atau dusun. Sementara di pulau lebih kecil berimbang antara darat dan laut. Sementara yang tinggal di pulau paling kecil masyarakatnya punya orientasi laut secara menyeluruh.

Dia juga memaparkan, kategorisasi orang Maluku dilihat dari tempat pemukimannya. Yakni orang gunung misalnya di Seram, orang pesisir dan orang pulau.
Yang kedua dilihat dari asal usul. Di Maluku antara orang negeri (orang asli setempat,red) dan bukan orang negeri sangat jelas. Kategorisasi orang Maluku berdasarkan asal usul ini berimplikasi terhadap hak-hak dalam wilayah adat yang diklaim sebagai masyarakat adat suatu negeri. Ketiga, dari orientasi penghidupannya. Ada petani, nelayan dan sedikit pedagang. Jadi masyarakat di pulau kecil misalnya di selatan Seram atau yang berhadapan dengan laut Banda, orientasi ke laut tidak terlalu dominan.

Terkait negeri adat di Maluku, ketika diterbitkan Undang-Undang No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, mendapatkan ruang yang diberikan negara untuk pengembalian nama sesuai yang digunakan masyarakat yakni Negeri. Pengembalian nama ini secara tidak langsung telah memberikan ruang terkait pengimplematasian pranata hukum adat dalam pengelolaan negeri. “Di Maluku ada dua negeri. Pertama negeri adat dan kedua negeri administratif. Ini juga ada kategorisasi di Undang undang Desa yakni desa dan desa adat,” katanya.
Sebagian besar negeri adat berada di wilayah pesisir dibanding masyarakat pegunungan. Masyarakat pesisir kurang lebih 80%, sementara pegunungan hanya 20%. Ini hanya ada di Seram dan Buru. Sementara di sebagian besar masyarakat tinggal di pesisir.

Terkait soal ruang hidup ada tumpang tindih. Dalam keseharian mereka ada pemahaman yang berbeda di masyarakat. Misalnya masyarakat menyadari bahwa laut   atau hutan di belakang negeri itu wilayah adat mereka. Jadi soal, saat ini hampir semua hutan diklaim sebagai hutan negara kecuali sudah diusulkan sebagai hutan adat. Walaupun di sisi pemerintah seperti itu tapi masyarakat tetap menganggapnya wilayah adat mereka.

“Ini yang seringkali memunculkan protes ketidakpuasan ketika diklaim dan diberikan ke pihak ketiga. Masyarakat di pesisir maupun pulau kecil hidup dalam ketidakstabilan, walaupun sebenarnya negara memberikan ruang pengakuan terhadap wilayah masyarakat adat,” jelasnya.

Terkait wilayah masyarakat adat sendiri masih terdapat beberapa masalah. Masyarakat adat hidup dalam situasi yang tidak stabil terutama batas wilayahnya.
“Terdapat tumpang tindih batas kepemilikan dan pemanfaatan wilayah adat. Adanya pemahaman yang berbeda mengenai ruang hidup masyarakat sehingga perlu adanya aturan yang tegas agar masyarakat mengetahui batas ruang kelolanya,” jelasnya.

Sehingga itu Yayasan Jala Ina turut mendampingi warga dalam pembuatan peraturan negeri dan penguatan kapasitas masyarakat soal isu bahari.
Sementara Mohammad Ismail Koordinator Kelompok Masyarakat Hukum Adat Ditjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam webinar itu menyampaikan bahwa, Indonesia sebagai negara maritim memiliki banyak kebudayaan. Banyaknya kebudayaan tersebut membawa dinamika tersendiri di tiap daerah.
Terdapat berbagai aturan dalam menjamin masyarakat pesisir dan pulau kecil. Misalnya Dalam Perpres No.53/2021 mengenai Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2021-2025 telah menetapkan strategi pelaksanaan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM terhadap Masyarakat Hukum Adat.

“Kita telah memiliki beragam aturan untuk menghormati dan melindungi masyarakat hukum adat, lokal dan tradisional di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Mulai dari UUD, Undang-undang, peraturan presiden hingga peraturan turunannya,” jelas Ismail.

KKP menurutnya, memiliki fasilitas dalam perlindungan masyarakat hukum adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. KKP telah memfasilitasi kurang lebih sebanyak 32 masyarakat adat dan lokal untuk dilakukan pendampingan sesuai kebutuhan masyarakat.
“Kami telah memfasilitasi banyak daerah terkait pengakuan masyarakat adat. 18 diantaranya telah keluar melalui peraturan Bupati/Walikota tentang masyarakat hukum adat di 5 provinsi,” jelasnya.

Senada dengan itu, Sjamsul Hadi Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memaparkan Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah. Sehingga diperlukan identifikasi wilayah pesisir dan pulau kecil. Terutama dalam hal program pemerintah mendorong pelestarian budaya lokal.

Pemerintah lebih menekankan   program bersifat bottom up. Menempatkan masyarakat adat sebagai subyek. “Jadi sebelum masuk menerapkan program harus menganalisis dulu apa harapan dan mimpi mereka. Dari situ kami bisa masuk memberikan penguatan sehingga mereka bisa berupaya melanjutkan kehidupan dan tetap menjaga kearifan lokal yang dimiliki,” jelasnya.

Dikatakan prinsip pemberdayaannya adalah memanusiakan manusia yang lebih inklusif dengan peran partisipatif dan kemandirian. Tujuannya inisiatif lokal ini menjadi titik pangkal utama pemberdayaan masyarakat.

Program yang dilakukan seperti sekolah lapang pemberdayaan masyarakat untuk pamberdayaan perempuan, pemuda adat dan juga penguatan lembaga adat. Salah satunya program pemberdayaan untuk masyarakat adat Moi di Mlaumkarta Sorong Papua Barat. tahun 2021. “Namun terkendala pandemi Covid-19 sehingga penguatan lembaga adat suku Moi yang direncanakan tahun lalu tidak bisa dilaksanakan,” pungkasnya.

Info lebih lanjut
Artikel bersumber dari Mongabay Indonesia dan dapat dibaca pada link berikut.
https://www.mongabay.co.id/2022/05/10/begini-urgensi-penguatan-tradisi-bahari-untuk-kelestarian-laut-di-indonesia-timur
 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.