• Foto: I Ketut Wenten/threadsoflife
    Foto: I Ketut Wenten/threadsoflife

Laughter is brighter in the place where the food is
Tertawa yang paling riang ada di tempat di mana ada makanan

Sebuah peribahasa dari Irlandia di atas inilah yang terngiang di kepala ketika saya memasuki Ume Bubu (Rumah Bulat), dapur sekaligus lumbung di rumah warga Kelurahan Lelogama Kecamatan Amfoang Selatan Kabupaten Kupang.
Seakan bertolak belakang dengan peribahasa dari negeri seberang tersebut, saya malah bercucuran air mata ketika berada di dalam bangunan tradisional orang Timor tersebut yang terbuat dari daun ilalang sebagai ciri khasnya. Bagaimana tidak, saya harus menunduk berjongkok bahkan nyaris merayap untuk masuk ke dalam bangunan multifungsi itu namun disambut dengan asap tebal yang mengepul dari tungku batu di titik tengah ruangan. Sungguh menyiksa mata, hidung dan tenggorokan saya yang tidak terbiasa dengan kondisi itu. Rasa asapnya begitu membakar saluran napas dan mata saya.

Meskipun demikian, saya terpukau luar biasa ketika mendongakkan kepala ke bagian atas tungku. Deretan jagung berkulit yang diikat dan disusun berbaris tepat di atas tungku tersebut. Ada pula kantong-kantong anyaman daun lontar yang bergelantungan di antara barisan jagung. Isinya biji-bijian dan kacang-kacangan sebagai bibit untuk musim tanam berikutnya. Namun, ada seikat jagung berkulit hitam yang begitu kontras dengan warna jagung lainnya. Ia tidak rusak. Ia tidak bernoda. Ia bukan varietas ajaib. Ia adalah Pen Asmanak (pen, jagung dan asmanak, jiwa), ”jiwa” yang menjaga lumbung.

Jagung yang dipercaya warga harus tetap tinggal di dalam Ume Bubu sampai musim panen tiba kemudian akan diganti dengan Pen Asmanak yang baru. Jagung yang dipercaya warga sebagai simbol untuk menjaga agar lumbung tetap terisi.

Bagi saya, Asmanak dan Ume Bubu bukan hanya tradisi menjaga hasil panen saja tetapi lebih dari itu. Asmanak telah menjadi contoh nyata usaha menyediakan pangan yang berkelanjutan dan Ume Bubu sebagai wujud upaya nyata untuk mempertahankan dan mendaulatkan pangan dalam lingkup keluarga. Tetapi, Asmanak dan Ume Bubu bersifat tradisional.

Pertanyaan muncul di kepala saya dan mengorek saya untuk terus bertanya. Sampai kapan tradisi ini bertahan seiring dengan kemajuan teknologi? Sampai kapan mereka bertahan menjaga perut warga Lelogama dari kebutuhan pangan? Sampai kapan mereka melindungi hasil panen petani Lelogama?

Sebelumnya, saya merasa bangga karena menjadi penerima beasiswa KEJAR PALOK (Ketong Belajar Keberagaman Pangan dan Pangan Lokal) yang diselenggarakan Perkumpulan Pikul bekerja sama dengan OXFAM dan Austalian Aid. Lembaga non-profit ini sedang fokus pada isu Food Diversity and Sovereignty. Saya dan teman saya, Atta Loban, harus bolang (istilah untuk jalan-jalan sambil berpetualang) di Lelogama selama 7 hari.

Program ini merangkul generasi milenial untuk belajar tentang kedaulatan dan ketahanan pangan, serta keberagaman pangan dan pangan lokal sebagai solusi untuk kedaulatan pangan. Ini tidak hanya kesempatan emas. Tetapi bertabur berlian dan permata. Mengapa? Saya adalah bagian generasi milenial yang menjadi jembatan antara generasi orang tua yang terlambat mengenal teknologi dengan akses yang lebih mudah seperti internet dan generasi mendatang yang diperkirakan akan lebih fasih teknologi sejak dini. Saya bersyukur dengan peluang ini untuk membuka wawasan dan cakrawala berpikir di bidang pangan. Belajar berpikir kritis bagaimana jika di masa depan, dengan adanya kemajuan teknologi, lantas menggeser tradisi kita terutama dalam bidang pangan?

Warga Lelogama punya keberagaman serealia dan umbi-umbian. Berbekal pengetahuan dan cara pandang ala milenial. Kami masih belajar dan nanti akan menyadarkan orang-orang tentang peran pangan lokal sebagai bagian dari keberagaman pangan untuk kedaulatan pangan.

Kendala terbesar dalam menyadarkan atau mengkampanyekan konsumsi pangan lokal adalah asumsi bahwa nilai pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian masih rendah dibandingkan beras, pengolahan yang lebih rumit, dan kurangnya inovasi pengolahan pangan lokal. Sangat disayangkan.

Hal ini terasa menggelitik ketika saya makan bersama keluarga, tempat saya menginap di Lelogama maupun saat berkunjung ke rumah warga lainnya. Mereka harus merogoh kocek lagi untuk membeli beras di kios padahal mereka punya Pen Muti, Pen Molo, Pen Buka dan Anel Meto di Ume Bubu. Di meja makan pun, mereka menyediakan dua jenis sumber karbohidrat ini secara berdampingan.

Dengan hati bimbang, saya harus memilih untuk mengambil mana yang duluan, nasi atau jagung katemak (olahan pangan tradisional Timor dari jagung yang direbus bersama dengan sayuran dan atau kacang-kacangan). Lebih menggelitik lagi karena warga menyarankan makan nasi saja dulu baru makan jagung. Betapa mereka menghargai tamu dengan menyodorkan nasi dibanding hasil kebun mereka sendiri.

Taa'han (memasak) di Ume Bubu (Rumah Bulat) merupakan Rumah Tradisional Orang Timor, NTT. Rumah ini bisa dijadikan sebagai tempat tinggal, dapur, serta gudang/lumbung penyimpanan bahan makanan serta benih pangan yang akan ditanam pada musim tanam tahun depan. Tungku (batu berpola segitiga) tepat berada ditengah di dalam Ume Bubu. Tempat para Mama menanak nasi, memasak lauk pauk atau hanya sekedar berkumpul menghangatkan badan saat musim hujan tiba. Foto : Atta Loban/WikimediaCommons
Taa'han (memasak) di Ume Bubu (Rumah Bulat) merupakan Rumah Tradisional Orang Timor, NTT. Rumah ini bisa dijadikan sebagai tempat tinggal, dapur, serta gudang/lumbung penyimpanan bahan makanan serta benih pangan yang akan ditanam pada musim tanam tahun depan. Tungku (batu berpola segitiga) tepat berada ditengah di dalam Ume Bubu. Tempat para Mama menanak nasi, memasak lauk pauk atau hanya sekedar berkumpul menghangatkan badan saat musim hujan tiba.
Foto : Atta Loban/WikimediaCommons


Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa warga di Lelogama sudah tidak bergantung pada jagung atau umbi-umbian dari kebun mereka saja. Menurut cerita mama-mama di RT 10 di Kelurahan Lelogama ketika kami masak bersama, sejak masuknya beras sekitar tahun 1970-an sampai 1980 -an,mereka sudah beralih ke beras. Alasannya cukup sederhana. Mereka bisa langsung membeli beras di kios atau pasar dan mengolah beras menjadi nasi lebih mudah dibandingkan mengolah jagung menjadi Jagung Katemak, Jagung Bose, Sagu, dan atau U Foit. Mereka bisa punya banyak waktu untuk mengerjakan hal-hal lainnya.

Bersamaan dengan kisah ini, Saya dan Atta mengajak Mama-Mama di RT 7 dan 10 Kelurahan Lelogama untuk kembali bernostalgia dengan kuliner tempo dulu berbahan dasar pangan lokal yang mereka miliki. Saya berkeinginan untuk mencari tahu pengolahan pangan lokal apa yang sudah jarang sekali dilakukan dan kreasi pangan lokal apa saja yang mereka miliki. Saya ingin agar Asmanak dalam Ume Bubu tetap memberikan inspirasi pengolahan jagung.

Gayung bersambut mama-mama mengambil bahan pangan lokal dari lumbung hidup mereka di kebun atau pun yang disimpan di Ume Bubu. Di RT 07, mereka menunjukkan proses pembuatan  U Amuk, kudapan lezat berbungkus daun jagung ini berbahan dasar jagung dan kelapa serta ditambah madu dan bisa awet hingga 1 minggu.  U Amuk dulunya biasanya dijadikan bekal ketika pergi berkebun atau ke tempat yang jauh.

Di RT 10, mama-mama kembali membuat olahan jagung dengan proses panjang seperti  U Amuk juga. Namanya U Foit. U foit bukan sekedar kudapan tetapi bisa setara dengan sumber karbohidrat utama di piring. Dahulu, sebelum mengenal beras, U foit dikonsumsi khususnya balita atau orang tua yang tidak bisa mengkonsumsi jagung katemak atau jagung bose yang teksturnya lebih keras. Mama-mama di RT 10 juga kembali mengenang kreasi pangan lokal berbahan ubi kayu, pisang dan kelapa. Namanya Kokis Akiso Mataf (Kue Kaca Mata) karena bentuknya yang mirip dengan kaca mata. Campuran ubi kayu dan kelapa sebagai bingkainya, dan pisang sebagai kacanya.

Beralih dari kisah hasil panen dalam Ume Bubu, kami menuju kebun mama Marselina Mafefa. Kebun adalah lumbung hidup. Tempat di mana calon-calon Pen Asmanak tumbuh. Tempat di mana peluh tumpah ketika menanam namun tawa lepas ketika panen. Di sinilah saya menemukan contoh keberagaman pangan lokal yang dimiliki warga Lelogama. Ada serealia berupa pen Muti, pen molo, pen buka, pen botog, toenenel dan anel meto. Dari golongan umbi-umbian ada laku haug, laku loli, lali mael, dan lali metan. Ada pula buah-buahan seperti boko meto, timu dan timu anel. Ini baru 1 kebun. Belum kebun warga lainnya. Menurut Mama Mafefa, musim panen tanaman tersebut tidak bersamaan.

Berpindah dari kisah kebun, kamipun pergi mengunjungi pasar mingguan setiap hari Sabtu. Di pasar, tidak banyak pangan lokal yang dijual. Banyak jenis makanan dalam kemasan seperti  mi instan, gula, terigu dan bahan kebutuhan lainnya yang dijual. Kami pun sedikit kecewa Karena tidak mendapatkan apa-apa tentang pangan lokal. Tapi kemudian kami begitu bahagia ketika bertemu dengan mama Oktaviana Tamoes dari Desa Leloboko Kecamatan Amfoang Tengah yang berjualan Arbila dan koto fael. 2 jenis kacang hutan yang pengolahannya sangat memakan waktu dan boros tenaga. Bagaimana tidak? Kacang tersebut harus direbus 12 kali untuk menghilangkan racun mematikannya.

Kami pun bertemu dengan Mama Naomi Toleu, dari desa Fatumonas Kecamatan Amfoang Tengah. Mama Naomi menjual satu-satunya pangan lokal sumber protein yang kami temui di pasar Lelogama. Sisi Meto (daging kering), adalah daging sapi yang diiris panjang dan dikeringkan dengan cahaya matahari di musim panas atau asap api di Ume Bubu ketika musim penghujan tiba. Memang, sapi-sapi warga dilepas berkeliaran bebas di padang dan hanya 1 atau 2 ekor yang dipelihara di rumah tetapi tidak setiap hari mereka menyediakan daging sapi di meja.

Setelah ke pasar, kami bertamasya ria di sabana depan pasar. Indah memang di antara rerumputan hijau dan 5 – 10 ekor sapi di puncak bukit. Saya sempat bertanya pada Elen Pahnael (16 Tahun). Apakah dia pernah mengkonsumsi U Amuk dan  U Foit? Ternyata jawabannya tidak pernah. Ia juga pertama kali mengonsumsi makanan tempo dulu itu. Saya sangat tersontak kaget karena ini adalah kuliner di daerah mereka. Namun ia baru pertama kali mencobanya.

Saya kembali teringat Kisah Asmanak dan Ume Bubu, akankah generasi milenial tetap menjaga tradisi ini? Atau mereka memilih mempertahankan Ume Bubu atau memilih dapur mewah dengan perabot mahal? Apakah Asmanak akan tetap menjadi jiwa yang menjaga pangan mereka atau akan diganti dengan Asmanak dalam rupa lainnya seiring perkembangan zaman? Entahlah. Jawabannya ada di tangan anak milenial yang memiliki keinginan untuk mendaulatkan pangan.

Penulis adalah Peserta Magang Program KEJAR PALOK (Ketong Anak Muda Belajar Pangan Lokal), Proyek Keberagaman Pangan untuk Kedaulatan Pangan, PIKUL – OXFAM, Desember 2017 – Februari 2018.
Tulisan ini telah dimuat di https://www.perkumpulanpikul.org/2018/08/20/asmanak-dan-ume-bubu/

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.