Apa Itu Pendekatan Keadilan Restoratif untuk Pemulihan Terumbu Karang?
Penulis : M. Ambari
  • Tim dari KKP dan pihak terkait sedang meneliti kerusakan terumbu karang akibat kandasnya kapal penumpang KM Sabuk Nusantara 62. <br> Foto : KKP
    Tim dari KKP dan pihak terkait sedang meneliti kerusakan terumbu karang akibat kandasnya kapal penumpang KM Sabuk Nusantara 62.
    Foto : KKP

Upaya untuk memperbaiki ekosistem terumbu karang di perairan Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat kini terus dilakukan Pemerintah Indonesia. Upaya tersebut, di antaranya dengan menyiapkan skema klaim kerugian atas kerusakan yang diakibatkan kapal yang kandas.

Kejadian tersebut berlangsung pada 2 Februari 2021 di dua lokasi, yaitu perairan Mesmangara dan perairan pulau Gag. Saat itu, kapal penumpang KM Sabuk Nusantara 62 menabrak karang saat dalam perjalanan dari Sorong menuju Raja Ampat.

Penyiapan skema yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menjadi bentuk penerapan dari keadilan restoratif (restorative justice) untuk memulihkan kembali kerusakan sumber daya kelautan dan perikanan di kedua lokasi perairan tersebut.

Sekretaris Jenderal KKP Antam Novambar mengungkapkan saat ini pihaknya tengah menyelesaikan tahapan verifikasi yang akan menjadi rujukan untuk menentukan nilai kerugian yang harus dibayar oleh pihak KM Sabuk Nusantara 62.

“Kami menyimpulkan terjadi kerusakan ekosistem karang,” ungkap pria yang juga menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP itu belum lama ini.

Dalam melaksanakan verifikasi, aspek yang dinilai adalah kerusakan ekosistem terumbu karang, serta dampak sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar lokasi perairan, merujuk pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Masuknya aspek kedua dalam penilaian verifikasi, karena mata pencaharian utama masyarakat di lokasi perairan yang terdampak, sebagian besar adalah sebagai nelayan pancing ulur. Dengan demikian, dipastikan ada kerugian ekonomi yang dialami masyarakat akibat kerusakan ekosistem tersebut.

Lebih detail, Direktur Pengawasan Pengelolaan Sumber daya Kelautan KKP Halid K Jusuf menjelaskan bahwa kerusakan ekosistem terumbu karang yang diakibatkan kapal kandas tersebut ada di Kawasan Konservasi Perairan Nasional Suaka Alam Perairan (KKPN SAP) Raja Ampat, dan perairan pulau Gag.

Adapun, karang yang mengalami kerusakan meliputi karang lunak dan juga karang keras. Sampai saat ini, pihaknya bersama Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dan Kepolisian Resor Raja Ampat terus bekerja sama untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Halid memaparkan, komponen yang akan diajukan sebagai klaim kerugian meliputi nilai kehilangan jasa ekosistem, biaya restorasi, biaya verifikasi lapangan, dan kerugian langsung masyarakat. Semua komponen tersebut saat ini tengah dihitung sampai terperinci hingga didapat hasil akhir yang akurat.

“Setelah tahapan tersebut, selanjutnya Tim Penyelesaian Ganti Kerugian akan melanjutkan ke tahap klarifikasi dan negosiasi,” terang dia.

Diketahui, saat ini KKP melaksanakan proses permintaan ganti kerugian atas kerusakan ekosistem terumbu karang di Raja Ampat melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan.

Pendekatan Berkeadilan

Tentang restorative justice, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) punya pandangan yang lebih tajam. Menurut Director of International Engagement and Policy Reform IOJI Stephanie Juwana, pendekatan tersebut mengubah proses penegakan hukum pidana melalui peradilan pidana menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana.

Dia mengatakan, walau hingga sekarang belum ada pedoman khusus restorative justice untuk ekosistem dan lingkungan hidup, namun hal tersebut bisa ditafsirkan sebagai penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak pidana yang berorientasi pada pemulihan kerusakan, dengan mempertimbangkan hak para pihak yang menjadi korban dari kerusakan tersebut.

Secara harfiah, Stephanie menjabarkan bahwa restorative justice adalah proses penyelesaian tindak pidana yang melibatkan semua pihak yang beresiko dalam tindak pidana tersebut. Misalnya, adalah pelaku, korban, dan masyarakat yang secara bersama ingin menyelesaikan secara kolektif dampak tindak pidana dan implikasinya di masa mendatang.

Sebagai pendekatan yang jarang dipakai dalam penyelesaikan tindak pidana pada sektor kelautan dan perikanan, restorative justice menawarkan hal yang bisa menjadi dasar pertimbangan untuk menyelesaikan persoalan.

Di antaranya, adalah karena jika sebuah perkara diproses melalui peradilan pidana menjadi kurang optimal karena tidak memperhatikan kepentingan hukum korban, yakni tidak ada ganti rugi terhadap korban atas dampak yang dirasakan.

Namun, jika menggunakan restorative justice, maka korban akan mendapatkan ganti rugi sebagai bentuk tanggung jawab dari pelaku. Begitu juga dalam prosesnya, Stephanie melihat bahwa ganti rugi tidak akan lebih cepat jika dilakukan melalui hukum perdata.

“Akan tetapi, tentunya penerapan restorative justice tidak dapat dilakukan secara semena-mena,” tutur dia.

Berdasarkan hukum yang berlaku, apabila pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan bukti yang cukup, maka penyidik dan penuntut umum harus mempertanggungjawabkan penyelesaian kasus tersebut sampai pengadilan. Jika tidak, maka dianggap sebagai tunggakan kasus.

Agar penggunaan restorative justice bisa optimal dan tujuan pemulihan ekosistem yang rusak bisa tercapai, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Di antaranya, penghitungan ganti rugi untuk pemulihan dampak harus mempertimbangkan biaya yang dibutuhkan.

Kemudian, partisipasi masyarakat yang terdampak terhadap rusaknya ekosistem harus dilaksanakan dengan sebenar-benarnya. Mengingat, tidak jarang masyarakat terdampak tidak paham tentang dampak kerusakan yang muncul dan dirasakan.

“Oleh karena itu, sangat penting pendampingan untuk masyarakat-masyarakat tersebut, misalnya oleh NGO (non government organization),” jelas dia.

Hal berikutnya, adalah tentang penjatuhan sanksi yang harus bisa memicu pencegahan terulang kembali, termasuk efek jera (special deterrent) yang bisa memastikan pelaku tindak pidana tidak berbuat hal yang sama lagi.

“Serta efek gentar (general deterrent) untuk membuat pelaku usaha lainnya takut melakukan perbuatan yang sama,” pungkas dia.

Pemulihan Cepat

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP Andi Rusandi pada kesempatan berbeda menjelaskan bahwa kerusakan terumbu karang memang tidak boleh dibiarkan begitu saja. Namun, kalau pun akan dilakukan rehabilitasi atau restorasi, itu juga tidak boleh sembarangan dilakukan.

Kalaupun ada berbagai metode perbaikan, dia menyebut bahwa itu haruslah dilakukan melalui riset yang mendalam. Hal itu, karena perbaikan harus disesuaikan dengan kondisi ekosistem, termasuk karakteristik perairan dan jenis terumbu karang.

Dengan memahami secara detail, itu akan bisa membantu proses penentuan nilai kerugian yang harus dibayarkan oleh pihak yang sudah merusak. Terutama, memahami nilai ekonomi dari terumbu karang yang mengalami kerusakan dan kondisi ekonomi secara umum di sekitar perairan tersebut.

Hal yang sama juga diutarakan Peneliti Zoologi Laut Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI) Tri Aryono. Menurut dia, restorative justice adalah pendekatan untuk melaksanakan pemulihan ekosistem dengan cara yang cepat dan tepat.

Proses tersebut biasanya melibatkan manusia secara langsung, ataupun tidak dengan menggunakan beragam metode perbaikan. Secara alamiah, terumbu karang yang rusak akan bisa pulih dengan mandiri, namun memerlukan waktu minimal sepuluh tahun.

“Itu juga bergantung pada kondisi perairan masing-masing. Pulih tanpa bantuan intervensi manusia,” sebut dia.

Namun demikian, Tri Aryono mengingatkan bahwa sebaik apapun metode perbaikan dan kondisi perairan, terumbu karang yang pulih tidak akan kembali seperti semula. Itu artinya, jika tutupan terumbu karang di sekitar Raja Ampat bisa mencapai sekitar 50 persen dalam kondisi normal, maka pemulihan hanya akan mencapai angka persentase di bawahnya.

Selama proses pemulihan berjalan, harus ada ketegasan dengan tidak membuka wilayah perairan tersebut untuk berbagai kegiatan seperti pariwisata ataupun penangkapan ikan. Jika pun harus terpaksa, maka harus diawasi dengan ketat dan dilakukan dengan sangat hati-hati.

Selain hal-hal di atas, saat proses pemulihan berjalan, para pihak yang terlibat harus senantiasa bisa bersahabat dengan alam sekitar. Hal itu, karena kekuatan alam sama sekali tidak bisa diprediksi oleh kekuatan apapun yang dibuat oleh manusia.

“Jadi, jika di tengah prosesnya ternyata ada kejadian alam seperti bleaching yang menyebabkan karang-karang memutih, itu tidak bisa menyalahkan pihak-pihak manapun. Dengan demikian, saat proses pemulihan terganggu juga tidak akan kecewa,” tegas dia.

Di samping hal tersebut, perlu juga dipahami bahwa proses pemulihan terumbu karang dengan menggunakan metode alamiah ataupun intervensi manusia, maka wajib melibatkan masyarakat yang ada di sekitar wilayah perairan.

Tujuannya, agar proses pemulihan bisa berjalan baik dan tidak mendapatkan gangguan karena aktivitas yang sulit untuk dihentikan. Dengan melibatkan masyarakat, maka itu juga memberikan tanggung jawab kepada mereka agar wilayah perairan di sekitar mereka bisa dijaga dengan baik.

Nilai Ekonomi

Tentang kesepakatan dua belah pihak antara Pemerintah Indonesia dengan pihak pengelola kapal penumpang, Tri Aryono menyebut bahwa itu juga harus dilakukan dengan mempertimbangkan banyak hal. Terutama, nilai ekonomi pada terumbu karang yang mengalami kerusakan.

Sayangnya, hingga saat ini belum ada keseragaman tentang nilai ekonomi terumbu karang, baik di pusat maupun daerah. Padahal, dengan kejelasan nilai ekonomi, akan membantu dengan baik untuk proses penentuan nilai ganti kerugian.

Di sisi lain, pihak yang melakukan kerusakan juga harus bertanggung jawab dengan penuh untuk terlibat dalam proses pemulihan ekosistem melalui berbagai cara. Selama proses pemulihan, mereka juga harus bisa bekerja sama dengan masyarakat setempat.

“Niatnya sama, untuk memulihkan kembali terumbu karang,” tegas dia.

Jika sudah ada kesepahaman antara para pihak yang terlibat, maka metode pemulihan bisa dipilih dengan leluasa, melalui pertimbangan yang matang. Setelah pemulihan berjalan, yang harus dilakukan adalah melakukan pemantauan tutupan karang hingga bisa kembali pulih.

“Kalau bisa, keberhasilan restorative justice bisa dilihat dari fungsi ekosistem apakah kembali berjalan atau tidak. Apakah masih mendukung biota-biota yang berasosiasi atau tidak, seperti ikan,” tambah dia.

Salah satu ciri sudah berjalan kembali fungsi dari ekosistem terumbu karang, adalah kembalinya biomassa ikan dengan jumlah yang banyak. Namun, jika sebaliknya, jumlahnya masih menurun, dan bahkan terus menurun, maka ekosistem belum pulih.

Ahli Terumbu Karang dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Rizya Ardiwijaya menambahkan bahwa proses pemulihan terumbu karang biasanya memang dilakukan dengan cara yang pasif. Kecenderungan tersebut dilakukan oleh para ilmuwan yang melakukan penelitian selama ini.

Cara tersebut berarti membiarkan terumbu karang yang mengalami kerusakan melakukan pemulihan secara alami. Namun, cara tersebut diakui tidak selalu berjalan mulus, karena ada sejumlah faktor yang mengakibatkan habitat di alam sulit kembali pulih.

Jika sudah demikian, maka cara yang dipilih adalah dengan melibatkan manusia secara langsung. Salah satunya, melalui restorative justice. Dengan memilih metode tersebut, maka target waktu juga bisa ditetapkan dan berharap bisa tepat.

Agar proses pemulihan dengan menggunakan metode bantuan manusia bisa berjalan baik, sebaiknya segala aktivitas ditiadakan di sekitar kawasan perairan. Terutama, aktivitas seperti pariwisata, penangkapan ikan, baik yang menggunakan alat pancing biasa ataupun dengan cara merusak.


Artikel ini bersumber dari Mongabay Indonesia dan dapat dibaca pada link berikut https://www.mongabay.co.id/2021/07/16/apa-itu-pendekatan-keadilan-restoratif-untuk-pemulihan-terumbu-karang/

 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.