Anak dan Remaja Sebagai Wajah Zamannya
Penulis : Junardi Jufri

Judul ini merujuk pada pemahaman bahwa remaja adalah sekelompok orang usia anak dan  remaja yang menjalani hidup dengan ciri sesuai era dimana dia hidup, atau era masa kini. Artinya, era apa pun dia berada, maka mereka akan mengadopsi segala ciri perilaku yang tergambar secara fisik maupun cara berfikir dari zaman tersebut sekaligus mereproduksinya menjadikan zaman tersebut menjadi semakin beragam dan meluas. Terlebih di era penggunaan teknologi informasi yang penggunanya semakin meluas seakan-akan lautan yang mudah diselami kapan dan dimanapun.

Media informasi seperti telepon pintar merupakan perangkat paling berpengaruh terhadap karakter remaja. Berdasarkan data yang dikeluarkan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024 menyebut 212 juta penduduk Indonesia aktif menggunakan internet. Bahkan, rata-rata penggunaan internet di atas 5 jam dalam sehari. “Untuk usia di bawah 18 tahun, pengguna internetnya sebanyak 48 persen dengan rata-rata waktu penggunaan lebih dari 8 jam”, demikian disebutkan  oleh Mutia Hafid Menteri Komunikasi dan Digital pada 21 Juli 2025 lalu. 

Dari laman www.rri.co.id, dalam acara dialog psikologi di Malang pada Senin 26 Agustus 2024, Psikolog Fiolita Puspitasari S.Psi M.Psi menyebutkan bahwa remaja di Indonesia memanfaatkan internet untuk berbagai keperluan, mulai dari komunikasi, hiburan maupun pendidikan. Menurutnya, penggunaan media sosial seperti instagram, Tik Tok, Youtube adalah media remaja untuk berbagi konten. Selain itu aktivitas gaming juga menjadi salah satu aktivitas digital yang sangat populer di kalangan remaja Indonesia. Game online seperti Mobile Legend, PUBG dan Free Fire menarik minat besar dan menciptakan komunitas gamers yang aktif. Selain itu aktivitas e-sports profesional mendapat perhatian yang menyebabkan banyak remaja bercita-cita menjadi atlet e-sport profesional.

Jika diamati, game online turut memberikan pengaruh besar terhadap berbagai perilaku anak dan remaja yang juga tercermin dari kata-kata yang digunakan dimana dari game tersebut mereka saling mengejek dan menggunakan kata-kata yang cenderung kasar dan bukan merupakan bahasa lokal.

Lebih lanjut Psikolog Fiolita mengatakan bahwa penggunaan internet bagi remaja di Indonesia membawa dampak positif seperti meningkatnya literasi digital dan akses informasi yang lebih luas. Namun dibalik manfaat tersebut juga melahirkan tantangan seperti kecanduan internet, cyberbullying dan paparan konten porno.

Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 merilis data bahwa 39,71 persen anak usia dini di Indonesia telah menggunakan telepon seluler, sementara 35,57 persen lainnya sudah mengakses internet. Apabila dirinci per kelompok usianya, maka terdapat 5,88 persen anak di bawah usia 1 tahun yang sudah menggunakan telepon genggam dan 4,33 persen anak di bawah usia 1 tahun yang mengakses internet pada 2024.

Kemudian terdapat 37,02 persen anak usia 1-4 tahun dan 58,25 persen anak usia 5-6 tahun yang menggunakan telepon genggam, sedangkan 33,80 persen anak usia 1-4 tahun dan 51,19 persen yang berusia 5-6 tahun tercatat telah mengakses internet. Bahkan, di wilayah tertinggal, anak usia 13–14 tahun sudah kecanduan mengakses media sosial.

Provinsi Sulawesi Selatan menempati posisi ke tujuh dari semua provinsi dalam penggunaan telepon seluler. Selain itu anak mengakses informasi lewat komputer. Persentase Anak umur 7-17 Tahun yang pernah mengakses internet di Sulawesi Selatan adalah 78,23 persen di atas rata rata nasional sebanyak 75,03 persen. Anak anak Sulawesi Selatan menggunakan  internet untuk mendapat informasi proses pembelajaran sebanyak 81,94 persen, masuk ke media atau jejaring sosial sebanyak 77,82 persen, hiburan seperti main game, nonton film, download gambar dan music sebanyak 77,62 persen(Buku Profil Anak Indonesia, 2022).

 

Perkembangan pengguna teknologi khususnya telepon cerdas yang berbasis internet sejatinya memberikan berbagai manfaat bagi manusia, tapi seperti kata pepatah menanam padi juga tumbuh rumput, artinya dibalik manfaat yang ada juga tumbuh hal lain yang tidak diharapkan. 

Semakin maraknya penggunaan internet dikalangan masyarakat khususnya anak dan remaja mendukung bertambahnya berbagai jenis kerentanan. Ibarat kata pepatah menanam padi rumput ikut tumbuh. Begitulah adanya, dibalik manfaat teknologi informasi yang membantu kemudahan hidup manusia juga membawa efek buruk yang sulit dihindari, khususnya bagi anak dan remaja.   

Perkembangan teknologi informasi membawa ancaman baru terhadap anak, seperti kekerasan berbasis daring dan eksploitasi seksual secara daring.  Berdasarkan hasil temuan studi baseline yang dilakukan UNICEF pada tahun 2023, di Sulawesi Selatan hanya 8,4 persen anak yang memiliki aturan saat masuk ke internet dengan Virtual Private Network, dan hanya 33,6 persen yang telah menerima informasi tentang cara menjadi aman secara daring. Sementara tidak semua orang tua, atau hanya hampir setengah jumlah orang tua yang  memantau aktivitas online anaknya.

Lebih lanjut dari temuan tersebut, 82,2 persen pengguna internet usia anak mencari teman baru secara daring dan 23,4% diantaranya telah bertemu seseorang secara pribadi. Efek dari perkenalan atau pertemanan secara daring adalah sebanyak 18,7 persen anak menerima pesan seksual di media sosial. Meskipun tidak banyak, namun ada 3,7 persen anak telah menerima permintaan seseorang di media sosial untuk mengirim foto atau video yang memperlihatkan bagian pribadi anak.  Sebagai bahagian dari kemudahan akses internet pula, ada 18,7 persen anak di Sulawesi selatan pernah membuka tautan situs porno.

Hasil penelitian tentang Pengaruh media sosial terhadap perilaku remaja di Indonesia yang diterbitkan di Jurnal Harmoni Bangsa, Volume 1 Nomor 1 tahun 2023  menyebutkan pengaruh baik dalam penggunaan media sosial adalah menjadi salah satu sarana diskusi antar remaja, serta mempermudah interaksi antar sesama. Namun tentunya juga terdapat beberapa pengaruh buruk yang ditimbulkan yaitu memicu terjadinya cyberbullying dan dapat mengakibatkan kecanduan media sosial seperti yang terjadi di masa sekarang.

Di Dalam modul Online Child Sexual Exploitation and Abuse (OCSEA) yang disusun UNICEF pada awal tahun 2023, disebutkan  Remaja sebagai Digital Native adalah  individu atau kelompok usia  yang lahir, tumbuh dan berkembang di era digital dan memiliki kecakapan menggunakan teknologi (internet, komputer dan smartphone), beberapa cirinya adalah aktif mengungkapkan identitas diri secara daring dengan berbagai aktivitas dan gaya hidup untuk menunjukkan citra diri. Karena itu remaja juga memiliki wawasan yang luas dikarenakan waktu berselancar di dunia maya yang cukup banyak (hingga 8 jam menurut data APJII 2024).

Sebagai kelompok individu yang sedang dalam proses tumbuh kembang, kelompok ini juga menginginkan kebebasan untuk mengenali dunia secara luas. Selain itu dalam proses pencarian jati diri menghendaki untuk memiliki kontrol sebagai bahagian dari penguatan citra diri, karena itu sangat bergantung pada teknologi dan menikmati lingkungan online dimana pergaulan, pertemanan serta permainan atau game bersifat online cukup menyita waktunya.

Meskipun mereka sedang berkumpul bersama teman-temannya, akan tetapi hubungan dan permainan online tetap menjadi aktivitas utama. Mereka bermain dan terkoneksi dengan teman di hadapannya secara online. Kelompok ini mudah beradaptasi terhadap teknologi yang baru, dan bisa menjalankan kegiatan-kegiatan online secara bersamaan pula (multi tasking). Karena aktivitas online yang cukup dominan maka kelompok umur ini memiliki lingkungan secara online yang aktif berinteraksi setiap saat.

Masih dari modul tersebut, dengan aktivitas online yang begitu dominan, maka sudah barang tentu berbagai kondisi bisa terjadi seperti cyberbullying, sexting atau chat yang bernada seksual, karena mudahnya mengakses konten-konten dewasa. Adanya motif penipuan dengan menggunakan data pribadi palsu di media sosial juga menjadi ancaman serius bagi remaja, menularkan kekerasan melalui game online yang menampilkan adegan-adegan perkelahian dan kekerasan fisik, juga yang tidak kalah berbahaya adalah pelecehan seksual secara live streaming.

 

Apa yang bisa dilakukan?

Untuk meminimalisir risiko yang timbul dari akses anak dan remaja terhadap konten online, maka perlu dipersiapkan beberapa pendekatan sebagai berikut:

  • Pendekatan regulasi. Peran negara untuk mengatur penyedia layanan internet dalam membatasi konten yang tidak sesuai dengan kebutuhan remaja. Hal ini telah dipraktekkan oleh beberapa negara, seperti Amerika Serikat melalui kebijakan Children Online Privacy Protection (COPPA). Anak dibawah usia 13 tahun dilarang membuat akun di platform online tanpa izin orang tua. Hal yang sama dilakukan di Uni Eropa melalui regulasi General Data Protection Regulation (GDPR) menetapkan batas usia 16 tahun untuk membuat akun media sosial tanpa persetujuan orang tua, meskipun ada beberapa negara anggota menurunkan batas ini hingga 13 tahun. Selanjutnya Jerman, anak dibawah usia 16 tahun harus mendapatkan izin orang tua untuk mendaftar di platform media sosial dan platform diwajibkan menyediakan keamanan khusus. Kemudian Inggris dengan regulasinya Age-Appropriate Design Code mewajibkan platform digital merancang layanan yang aman untuk anak-anak termasuk pembatasan pengumpulan data. Sementara di Australia, aturan membatasi penggunaan media sosial anak dibawah usia 16 tahun tanpa persetujuan orang tua untuk mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan mental remaja. 
  • Pendekatan kontrol internal keluarga. Pendekatan ini tidak semudah kedengarannya karena diperlukan pemahaman yang baik oleh orang tua tentang ancaman di balik “hiburan” yang tersedia secara online. Selain itu, bagi anak yang sudah terlanjur menggunakan gawai tanpa batas waktu, dan orang tua yang yang anaknya sudah terbiasa dengan penggunaan gawai tanpa batas waktu, hal ini membutuhkan proses re-set komitmen dengan dukungan lingkungan masyarakat yang kuat. Karena membatasi penggunaan gawai anak dari sebuah keluarga saja akan mendapat tantangan dengan pergaulan anak dengan teman-temannya yang menggunakan gawai secara tidak teratur.
  • Pendekatan dukungan sistem lingkungan. Biasanya anak akan melepaskan gawai jika di sekitar rumahnya ada aktivitas yang bisa mengalihkan. Misalnya anak bermain dengan teman-temannya seperti main bola atau futsal, dan permainan fisik lainnya. Artinya sebuah lingkungan perlu menyediakan sarana pendukung bagi anak sehingga ada permainan lain yang juga menarik minat bagi anak. Karena itu perlunya ketersediaan sarana pendukung di lingkungan sosial selain berupa peralatan pendukung permainan juga ruang publik yang memadai dan mendukung anak untuk beraktivitas seperti bermain dan belajar.
  • Dukungan sistem pendidikan. Saat ini  anak sekolah juga telah secara langsung dipengaruhi penggunaan gawai dalam proses belajar mengajar seperti guru menggunakan media online sebagai sumber bahan ajar. Anak atau remaja yang membawa gawai di sekolah di sela-sela pelajaran akan menggunakan media sosial maupun game online. Artinya hal ini perlu mendapat perhatian di sekolah. Selain itu proses pembelajaran hendaknya mendorong siswa untuk melakukan pencarian bahan belajar di lingkungan sosial sehingga pembelajaran lebih kontekstual, misalnya  menugaskan siswa membuat laporan rutin tentang aktivitas ekonomi dengan mewawancarai pedagang di lingkungan sosialnya. Tentunya kegiatan belajar seperti ini sekaligus meningkatkan kecakapan sosial karena bisa meningkatkan rasa empati siswa.

 

Info Lebih Lanjut:

Junardi Jufri adalah Technical Assistance untuk Program Perlindungan Anak kerja sama UNICEF dan BaKTI

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.