Anak-Anak di Ujung Tanjung Pa’jukukang dalam Pusaran Ketahanan Pangan Keluarga Nelayan dan Beban yang Terbagi
Penulis : Andi Nurlela
  • Foto: Maman Sukirman
    Foto: Maman Sukirman

Pagi baru saja menyingsing di Pa’jukukang, salah satu wilayah pesisir di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Di sebuah dusun kecil yang berhadapan langsung dengan laut, seorang anak laki-laki sedang membantu ayahnya menggulung jaring yang semalaman dipasang. Tak jauh dari situ, seorang gadis kecil mengayuh sepeda menuju pasar sambil membawa ember berisi ikan segar. Pemandangan semacam ini saya temui selama mendampingi proses intervensi perlindungan anak dalam program kolaborasi BaKTI dan UNICEF di wilayah ini. Anak-anak nelayan bukan hanya saksi kehidupan keras di pesisir, tetapi juga bagian dari upaya keluarga bertahan hidup di tengah ketidakpastian ekonomi dan alam.

Program ini memberi ruang untuk mendengar cerita-cerita yang seringkali luput dari perhatian publik, terutama suara anak-anak yang tumbuh dalam keluarga nelayan. Banyak dari mereka harus membagi waktu antara sekolah dan membantu orang tua. Anak-anak laki-laki kerap ikut melaut atau menggulung jaring, sementara anak-anak perempuan membantu mengolah dan menjual hasil tangkapan. Di mata luar, ini tampak sebagai bentuk kekompakan keluarga. Namun dibalik itu, ada tekanan ekonomi yang membuat anak-anak tumbuh lebih cepat dari seharusnya.

Ketahanan Pangan yang Rapuh di Tengah Laut yang Luas

Keluarga nelayan di Pa’jukukang hidup dalam realitas yang kompleks. Ketergantungan pada cuaca, keterbatasan teknologi penangkapan, fluktuasi harga hasil laut, serta minimnya akses terhadap fasilitas penyimpanan dan distribusi menjadikan ketahanan pangan mereka sangat rentan. Dalam kondisi semacam ini, anak-anak menjadi bagian dari strategi bertahan. Mereka bukan sekadar “membantu”, tetapi menjalankan fungsi vital dalam menjaga keberlangsungan rumah tangga.

Situasi ini tidak hanya berdampak pada aspek fisik anak, tetapi juga pada pendidikan, psikologis, dan masa depan mereka. Tidak sedikit anak yang melewatkan hari sekolah karena harus ikut membantu bekerja atau menjaga adik saat orang tua melaut. Ketika pendidikan terganggu, maka kesempatan untuk keluar dari siklus kemiskinan menjadi semakin kecil. Anak-anak di pesisir tidak hanya mengalami kekurangan pangan dalam pengertian asupan gizi, tetapi juga kekurangan waktu dan ruang untuk berkembang secara optimal.

SDGs dan Janji yang Masih Jauh dari Realita Anak Pesisir

Dalam konteks global, dunia telah bersepakat melalui Agenda Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) untuk menghapus kemiskinan dan kelaparan pada tahun 2030. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah sejauh mana komitmen ini menyentuh anak-anak yang hidup di komunitas pesisir seperti di Pa’jukukang?

Jika ketahanan pangan hanya dimaknai sebagai persoalan ketersediaan dan distribusi pangan, maka dimensi sosial dan generasional dari ketahanan itu akan hilang. Seharusnya, ketahanan pangan juga mengacu pada keberlanjutan hidup anak-anak. Apakah mereka dapat tumbuh sehat, bersekolah dengan baik, dan memiliki masa depan yang terbuka. Dalam banyak kasus, anak-anak di komunitas nelayan seperti kehilangan masa kecilnya karena harus menanggung beban keluarga terlalu dini.

Beban yang Terbagi: Strategi Bertahan atau Eksploitasi Terselubung?

Tidak bisa dimungkiri bahwa keterlibatan anak dalam aktivitas ekonomi keluarga masih sering dipahami secara longgar di masyarakat. Budaya gotong royong dalam keluarga, terutama di komunitas pesisir, menjadi alasan yang dianggap sah. Akan tetapi, ketika keterlibatan itu membuat anak kehilangan kesempatan bermain, belajar, dan merasa aman, maka ini sudah masuk pada wilayah eksploitasi, meskipun tidak selalu tampak secara ekstrem.

Orang tua di Pa’jukukang pada dasarnya tidak ingin membebani anak-anak mereka. Namun, tekanan hidup dan keterbatasan ekonomi membuat pilihan mereka sangat terbatas. Inilah yang menunjukkan bahwa persoalan ini bukan sekadar masalah rumah tangga, tetapi juga kegagalan sistemik dalam menyediakan perlindungan sosial dan peluang ekonomi yang lebih adil bagi keluarga nelayan.

 

 

Membangun Harapan di Tengah Ombak

Dari pengalaman mendampingi program di Pa’jukukang, saya melihat bahwa perubahan tidak bisa hanya bertumpu pada kebijakan satu sektor. Upaya membangun ketahanan pangan keluarga nelayan yang berpihak pada anak harus dilakukan melalui pendekatan yang komprehensif dan kontekstual.

Pertama, perlu adanya program penguatan ekonomi keluarga nelayan yang mendorong diversifikasi pendapatan, sehingga ketergantungan terhadap hasil laut bisa dikurangi dan anak tidak harus ikut bekerja. Peluang usaha rumahan, pelatihan pengolahan hasil laut, atau dukungan pemasaran bisa membantu keluarga menciptakan sumber pendapatan tambahan.

Kedua, akses pendidikan bagi anak-anak pesisir harus disesuaikan dengan konteks kehidupan mereka. Sekolah-sekolah di daerah pesisir perlu didorong untuk lebih fleksibel dalam jam belajar atau bahkan metode pengajarannya. Sistem pembelajaran yang relevan dengan kehidupan mereka akan mendorong anak-anak tetap bersekolah tanpa merasa terputus dari realitas keluarganya.

Ketiga, orang tua juga perlu didampingi melalui pelatihan dan penyuluhan tentang hak-hak anak serta pola pengasuhan positif. Pemahaman orang tua yang lebih baik tentang pentingnya pendidikan dan kesejahteraan anak dapat memperkuat fondasi keluarga dalam menjalani perubahan.

Keempat, peningkatan literasi pangan dan gizi di tingkat rumah tangga sangat penting. Keluarga nelayan sering menghadapi keterbatasan bahan makanan bergizi karena kondisi ekonomi atau pengetahuan yang terbatas. Pendampingan yang tepat akan membantu mereka menyusun menu keluarga yang lebih sehat, meskipun dengan penghasilan terbatas.

Terakhir, pelibatan aktif anak dalam forum-forum desa menjadi langkah penting untuk menjadikan mereka sebagai subjek pembangunan. Anak-anak perlu diberi ruang untuk menyampaikan pendapat, terlibat dalam perencanaan, dan merasa dihargai sebagai bagian dari komunitas. Ini bukan hanya soal partisipasi, tetapi juga pengakuan atas keberadaan mereka sebagai warga desa yang setara.

Mimpi yang Harus Dijaga

Tulisan ini merupakan refleksi dari keterlibatan saya dalam program perlindungan anak yang dilaksanakan oleh BaKTI dan UNICEF di Pa’jukukang, Maros. Program ini memberi ruang untuk mendengar cerita anak-anak nelayan—mereka yang tumbuh bersama laut, tapi bermimpi sejauh langit.

Mereka yang hari ini ikut menggulung jaring dan menjajakan ikan, suatu hari nanti bisa menjadi pemimpin, guru, ilmuwan, atau pelaku perubahan. Namun untuk itu terjadi, mereka harus diberi kesempatan. Harapan mereka tidak akan tumbuh jika kita terus membiarkan beban hidup membungkam masa kecil mereka.

Ketahanan pangan bukan hanya tentang perut yang kenyang, tetapi juga tentang hak setiap anak untuk tumbuh tanpa rasa lapar akan perhatian, pendidikan, dan perlindungan. Di ujung Tanjung Pa’jukukang, anak-anak menunggu kita menepati janji pembangunan yang sungguh-sungguh inklusif yaitu yang melihat mereka, mendengar mereka, dan berdiri bersama mereka.

***

 

Info lebih lanjut: 

Andi Nurlela adalah Dosen Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Andi Nurlela dapat dihubungi melalui email di andinurlela@unhas.ac.id

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.