Datang dari latar belakang pendidikan sebagai seorang pendidik membuat saya tidak pernah memberi perhatian lebih pada pangan. Saya selalu makan apa yang tersedia di meja makan atau mengolah makanan yang tersedia di rumah tanpa pernah memedulikan banyak hal di balik tersedianya apa yang saya makan setiap harinya.
Pertanyaan seperti pernahkah kamu mendoakan orang yang mengusahakan beras yang kamu makan hari ini, atau coba bayangkan apa jadinya pasar tanpa mereka yang mengusahakan bahan makanan ? Tentu saja saya terhenyak, rasanya seperti minum kopi disiang bolong tanpa disadari.
Malu benar mengetahui bahwa saya tergolong dalam kumpulan orang-orang yang acuh tak acuh bahkan tak peduli tentang pangan padahal siapapun kita dengan profesi apapun dan latar belakang pendidikan apapun mengonsumsi bahan makanan untuk dapat menjamin kelangsungan hidupnya.
Dalam benak saya secara pribadi, menghargai usaha dan jasa mereka para penyedia pangan adalah sebatas membeli tanpa menawar atau menghabiskan makanan dipiring dan tidak membuangnya. Di balik mudahnya akses mendapatkan semua bahan makanan yang kita butuhkan terdapat hal-hal serius yang sudah seharusnya menjadi perhatian bahkan tugas dan tanggung jawab kita untuk tidak mengabaikannya atau menutup mata dan pura-pura tidak tahu.
Sebuah survei yang dirilis baru-baru ini menunjukkan masyarakat Indonesia mulai lebih peduli makanan yang mereka konsumsi. Bahkan sebagian besar responden mengaku mengikuti pola diet tertentu. Survei tersebut dilakukan oleh Nielsen's New Global Health and Ingredient-sentiment dan dipublikasikan (6/9) lalu. Survei ini menilik berbagai perilaku konsumsi yang kemudian diklaim oleh responden. “Konsumen kini lebih sadar akan pola makan sehat,karena itu mereka ingin menerapkan pola makan yang dapat mengatasi masalah kesehatan”, kata Yudi Suryanata, Direktur Eksekutif Nielsen dalam rilis yang diterima.
Menyisakan makanan di piring karena kekenyangan atau tidak memakan yang sudah saya ambil di piring atas nama selera selama ini adalah hal yang biasa bagi saya. Tanpa saya sadari beberapa orang tak beruntung diluar sana menginginkan apa yang saya buang atau apa yang tak saya inginkan. Karena kita tidak tahu betapa berharganya apa yang kita punya dan posisi kita ada sebagaimana adanya sehingga kita jarang mensyukuri apa yang kita punya.
Jaman SD dulu ketika makan, kami selalu dinasihati mama, katanya “berkat selalu ada pada biji terakhir dipiringmu”. Semakin kesini saya lalu memahaminya bahwa mama menggunakan pendekatan dengan bahasa sederhana untuk anak seusiaku pada saat itu dan membuatku memahami bahwa tidaklah baik menyisakan makanan di piring.
Ketika bergabung dalam perbincangan ringan bersama komunitas PIKUL di kegiatan KEJAR PALOK kemarin, wawasan saya tentang pangan diperbarui bahkan bertambah banyak. Pengetahuan tentang pangan, pangan lokal, kedaulatan pangan dan keberagaman pangan adalah topik yang kami pelajari dari kegiatan tersebut. Pada akhir kegiatan sesuai agenda, beberapa orang akan dipilih berdasarkan kriteria panitia untuk mendapatkan beasiswa dan belajar langsung kebeberapa desa yang telah bermitra dengan komunitas PIKUL.
Saya adalah salah satu dari lima orang yang mendapatkan kesempatan berharga itu. Saya dan dua orang rekan ditempatkan di desa Lorotolus di Kabupaten Malaka.Perjalanan kami dari Kupang pada 12 Februari 2018 dimulai dari jam 06.30 dan tiba di desa pada pukul 15.30 WITA. Perjalanan kami sangat melelahkan namun tak memadamkan semangat dalam menjalankan misi kami.
Desa Lorotolus adalah desa yang terletak paling barat di Kabupaten Malaka dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan, didominasi oleh suku Suhi, suku Soka dan ada juga orang-orang pendatang dengan ciri dan karakter fisik yang bisa langsung dibedakan dari penduduk lokal. Bahasa Tetun adalah bahasa yang paling digunakan di samping bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu.
Di hari yang sama, kami bertemu seorang perempuan paruh baya bernama mama Hana yang mengusahakan pangan lokal sebagai mata pencahariannya (pembuat Akalbilan). Banyak pangan lokal yang kami temui disini diantaranya Akalbilan (sagu dari pohon gewang), beras, jagung, sorgum, ikan, berbagai jenis sayuran dan ubi. Beberapa diantaranya ditanam warga di kebunnya sehingga kita bisa menemukan sayuran segar yang baru dipetik untuk dikonsumsi atau dijual. Pangan lokal lain seperti beras,ikan,kerang dan udang biasanya datang dari luar desa.
Saat menyusuri pasar tradisional, kami menemukan banyak penjual Akalbilan yang berjejer mulai dari membuat, menyajikan dan menjualnya langsung kepada pembeli. Kami sempat bertanya apakah semua yang mereka buat hari ini akan laris terjual mengingat jumlah mereka yang cukup banyak, mereka bilang tidak masalah karena waktu pasar yang relatif lama sampai pukul 16.00 sehingga para pembeli tetap ada.
Akalbilan sendiri adalah sebutan penduduk lokal untuk jenis makanan yang berasal dari tepung sagu dari pohon gewang. Pohon gewang tumbuh subur secara liar dan tidak ditanam warga.
Untuk membuat Akalbilan pertama-tama pohon gewang atau akal sebutan penduduk setempat untuk pohon gewang yang sudah tua tinggi sekitar 8 meter atau lebih,berdiameter satu meter, memiliki daun yang sehat dan tidak terserang hama, atau saat sudah memiliki buah ditebang, lalu dipisahkan dari kulitnya. Penduduk setempat masih melakukannya dengan manual menggunakan parang atau kapak.
Setelah isi dalam atau inti pohon akal dipotong keci-kecil lalu dijemur sampai kering dan tidak ada kandungan airnya. Proses ini biasanya berlangsung selama dua hari jika cuaca sedang tidak hujan dan jika cuacanya tidak terlalu baik maka proses penjemuran bisa berlangsung sampai empat atau lima hari. Setelah benar-benar kering potongan akal itu lalu ditumbuk atau digiling menggunakan mesin penggiling. Jika ditumbuk menggunakan Alu, alat penumbuk berupa kayu dengan panjang sekitar 2 meter dan berdiameter 5 sentimeter, dan Ahuk, media tumbuk yang teruat dari kayu sepanjang 2 meter yang dilubangi sehingga menyerupai sampan.
Hasil tumbukan yang telah halus ini kemudian diayak menggunakan wawalin, pengayak tradisional dari anyaman tulang daun gewang berbentuk persegi 4 berukuran 50 x 50 centimeter untuk memisahkan tepung sagu dari ampas potongan serat yang tidak boleh disatukan.
Jika ampasnya dirasa masih banyak mengandung tepung, proses menumbuk dapat diulang lagi. Tepung yang diayak ini lagi disaring lagi di dalam karung menggunakan karung untuk menghindari tepung bertebaran di mana-mana dan jangan sampai dihirup. Penyaringan kedua ini menggunakan kain yang diikat kedua ujungnya,dipegang oleh kedua tangan lalu digoyangkan di dalam karung sehingga tepung halusnya akan keluar melalui serat kain. Ampas kedua ini oleh penduduk setempat dijadikan sebagai pakan ternak atau jika ada orang yang mencarinya biasanya dihargai dengan harga 35 ribu rupiah sampai dengan 40 ribu rupiah perkarungnya, disisi lain dapat juga digunakan sebagai media tumbuhnya jamur oleh sebagian pengusaha jamur.
Tepung hasil saringan ini kemudian dimasukkan ke dalam baskom dan dicampurkan air lalu diremas menggunakan air seperti ketika kita hendak membuat roti. Setelah itu diratakan dan diisi air sampai baskomnya penuh dan mulai diaduk menggunakan Leleaka atau anyaman dari tulang daun pohon gewang berbentuk seperti tabung labu erlenmeyer .
Pengadukan ini berlangsung selama dua jam dan cara mengaduknya pun hanya dibagian atasnya saja sehingga bagian bawahnya terbentuk lapisan endapan sari tepung. Jika dirasa sudah cukup tebal, banyak lalu dibuang airnya. Proses pembuangan air ini menggunakan gayung untuk menimba dan meninggalkan endapannya. Endapan itu lalu dihancurkan dan ditambahkan air dan didiamkan. Setelah 5 menit airnya lalu dibuang dan yang tersisa adalah lapisan sagu berwarna putih.
Sagu ini belum kering benar dan masih mengandung air yang cukup banyak, untuk mengeringkannya dedak/ampas dari penyaringan kedua ditaruh diatasnya lalu ditekan-tekan sehingga air yang masih di dalam sagu akan diserap oleh dedak tersebut. Proses ini akan diulang sampai lima kali hingga tersisa lempengan sagu yang lembab dan biasanya disebut kakumuk. Lempengan sagu ini yang kemudian siap digunakan untuk membuat Akalbilan. Jika dikeringkan dapat diolah untuk membuat ameka kue modern setelah ditambahkan tepung terigu. Cara mengambil lempengan sagu ini untuk membuat Akalbilan adalah dengan diserut seperti yang biasa dilakukan para penjual es krim menggunakan sendok.
Untuk membuat Akalbilan, tepung sagu dicampurkan dengan parutan kelapa dan kacang hijau yang telah dimasak. Campuran ini lalu diratakan menggunakan tangan diatas babilan (lempengan tanah liat berbentuk seperti piring) yang telah dipanaskan diatas api.
Ada dua lempeng babilan yang digunakan (jika lempengan pertama sudah matang lalu dipindahkan ke bagian atasnya). Babilan pertama ditaruh diatas api dan ditindis babilan kedua, jika babilan pertama sudah matang Akalbilannya lalu dikeluarkan dan lempengan babilan kedua dipindahkan ke bawah. Proses ini akan diulang sampai seluruh campuran Akalbilan yang sudah dicampur habis.
Bagi kebanyakan orang Malaka, Akalbilan itu enak dinikmati selagi hangat meski jujur saja rasanya hambar ketika saya dan dua teman mencicipinya untuk pertama kalinya. Menjual Akalbilan menjadi motor ekonomi yang meningkatkan penghasilan sebagian besar mama-mama di Wanibesak, ini dapat kita lihat langsung dari kebanyakan orang yang berderet menjual Akalbilan pada hari-hari pasar tradisional yang telah disepakati seperti di pasar Wanibesak, pasar Besikama, pasar Webriamata, dan pasar Hanimasin yang kami kunjungi. Selain mengusahakan Akalbilan, mereka juga hidup dari hasil bertani dengan mengusahakan lahan kering yang ditanami berbagai jenis pangan lokal. Dengan curah hujan yang cukup mereka menanam tiga kali setahun dan kebanyakan menanam tanaman beumur tiga bulan.
Ketika ditanya seberapa sering mereka mengonsumsi Akalbilan, kebanyakan mereka mengatakan sering sekali selama persediaan tepung akal ada di dapur. Selain Akalbilan mereka juga mengonsumsi jagung, beras, ubi-ubian, sorgum dan beberapa jenis makanan kalengan dalam kemasan sebagai kudapan (biskuit, minuman kaleng dan susu ).
Menurut pengakuan sebagian orang penghasilan dari Akalbilan sebagai kegiatan ekonomi selain sebagai sumber ekonomi, mereka juga dapat menyekolahkan anak-anak mereka. Akalbilan yang dijual memiliki nilai lebih dibandingkan jika dijual dalam keadaan mentah dalam satuan kakumuk dan masih berupa gumpalan sagu padat.
Saat pertama kali datang saya tidak pernah membayangkan akan seperti apa rasanya, sebab ditempat saya pohon akal digunakan sebagai pakan ternak seperti babi dan sapi. Ketika sampai di Malaka, akal nyatanya menjadi sesuatu yang bernilai lebih bahkan dianggap sebagai penyelamat dulunya saat gagal panen atau masa paceklik pangan terjadi. Tumbuh dengan liar dan tidak butuh perawatan khusus oleh warga, namun siap dipanen kapanpun jika sudah cukup umur. Kini saat penduduk Malaka telah terselamatkan dari paceklik pangan, akal tetap dikonsumsi sebagai camilan atau pengganti nasi dan jagung jika mereka bosan dan hendak mengganti menu makanan mereka sesekali. Selama mereka mau dan rajin akal tetap bisa dikonsumsi mengingat mereka juga berkebun dan tidak sepenuhnya bergantung pada akal sebagai pangan pokok.
Terlepas dari akalbilan yang kami pelajari dan lihat disana, kami menemukan sebuah fakta menarik yang tak bisa diacuhkan begitu saja bahwa disana banyak manula yang hidup diatas usia 100 tahun. Mencengangkan bukan? Saya pernah bertemu beberapa orang tua di usia 70 tahun tapi tak sesehat mereka yang saya lihat di kampung kemarin. Dalam pandangan saya, aktifitas fisik dan hidup di tempat yang jauh dari polusi dan radikal bebas adalah beberapa penyebabnya disamping pola makan yang tidak banyak mengandung pengawet maupun bahan kimia tambahan. Mereka berkebun dan mengonsumsi makanan yang jauh dari pestisida sebab bahan makanan sehat itu diambil langsung dari kebun mereka. Mereka juga menjaga keharmonisan hubungan antara manusia, alam, budaya dan adat istiadat yang masih kental sampai sekarang.
Artikel ini telah dimuat pada tautan:https://www.perkumpulanpikul.org/2018/08/20/akalbilanprimadona-hambar/