Pada tahun 2020, di tengah bayang-bayang pandemi yang mengubah rutinitas harian kita, saya, Hening Parlan, berkesempatan berbagi tentang teori ABCD kepada Ibu-ibu LLH Pimpinan Pusat Aisyiyah dalam sebuah pertemuan daring. Teori ini, yang saya dapatkan setelah belajar bersama INSPIRIT di bawah bimbingan Mas Dani Moenggoro, bukanlah konsep yang rumit atau eksklusif.D
Sebaliknya, ia adalah sebuah pemikiran yang sederhana, membumi, dan bisa diaplikasikan di mana saja, sebuah pendekatan yang sangat selaras dengan filosofi "Small is Beautiful" dari E.F. Schumacher.
Pemikiran E.F. Schumacher dalam karyanya, Small is Beautiful: A Study of Economics As If People Mattered, menawarkan perspektif radikal terhadap paradigma ekonomi modern yang didominasi oleh skala besar, pertumbuhan tak terbatas, dan profitabilitas semata. Schumacher berargumen bahwa solusi yang "kecil", lokal, sederhana, dan berpusat pada manusia adalah kunci keberlanjutan bumi dan martabat kemanusiaan.
Buku ini bukan sekadar kritik, melainkan sebuah seruan untuk kembali pada prinsip-prinsip yang menghargai keseimbangan ekologis dan keadilan sosial, sebuah filosofi yang sangat selaras dengan pendekatan Asset-Based Community Development (ABCD).
ABCD, atau Pengembangan Komunitas Berbasis Aset, adalah sebuah jurus yang menghargai komunitas dengan segala dialektika dan warna-warni sebagai kekuatan intrinsik. Ini bukan teori yang muluk-muluk dengan bahasa yang hanya dipahami segelintir orang, melainkan sederhana, membumi, dan bisa diaplikasikan di mana saja.
Inti dari ABCD adalah keyakinan bahwa kekuatan sejati ada pada mereka, orang-orang di dalam komunitas itu sendiri. Itulah kekayaan, itulah kekuatan yang sesungguhnya. Pendekatan ini secara fundamental menolak gagasan bahwa yang besar selalu lebih baik, sebuah kritik yang juga menjadi dasar pemikiran Schumacher.
Schumacher mengkritik keras ekonomi modern yang mengejar pertumbuhan tanpa batas, seringkali mengorbankan lingkungan dan keadilan sosial. Ia menyoroti dampak negatif dari industrialisasi besar-besaran, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, dan ketimpangan yang dihasilkan oleh sistem yang hanya berorientasi pada keuntungan.
Baginya, "besar" tidak selalu berarti "baik"; sebaliknya, skala yang terlalu besar seringkali mengarah pada inefisiensi, dehumanisasi, dan kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki. Di sinilah ABCD menemukan relevansinya, karena ia mendorong komunitas untuk tidak menunggu bantuan dari luar, melainkan mengidentifikasi dan memaksimalkan aset serta potensi yang sudah mereka miliki.
Sebagai alternatif, Schumacher mengusung konsep teknologi tepat guna (appropriate technology) dan ekonomi berbasis komunitas. Teknologi tepat guna adalah teknologi yang sesuai dengan kebutuhan lokal, mudah diakses, ramah lingkungan, dan memberdayakan masyarakat, berbeda dengan teknologi canggih yang seringkali mahal dan kompleks.
Ekonomi berbasis komunitas, di sisi lain, menekankan pada kemandirian lokal, partisipasi aktif warga, dan pemanfaatan aset internal komunitas. Ini adalah sistem di mana masyarakat secara kolektif mengelola sumber daya mereka, menciptakan nilai, dan mendistribusikan manfaat secara adil, dengan fokus pada kesejahteraan bersama. Bukankah inilah yang telah dilakukan oleh banyak komunitas, seperti ibu-ibu Aisyiyah dan kader-kader Muhammadiyah di berbagai daerah, yang secara alami menerapkan prinsip-prinsip ABCD?
Pemikiran Schumacher menemukan resonansi kuat dalam berbagai gerakan komunitas yang secara intuitif telah mengadopsi prinsip-prinsip "kecil itu indah" dan ABCD. Gerakan-gerakan ini membuktikan bahwa kekuatan sejati terletak pada inisiatif akar rumput, kolaborasi, dan kemandirian.
Dok. Yayasan BaKTI
Contoh nyata dari penerapan "Small is Beautiful" melalui lensa ABCD dapat dilihat pada inisiatif seperti gerakan ibu-ibu dengan sedekah subuh, kebun kolektif, bank sampah ranting, warung sedekah, hingga penanaman pohon satu per satu. Mereka adalah profesor-profesor komunitas yang memikirkan apa yang akan dimakan hari ini, dari mana uang sekolah anak, bagaimana menyemarakkan majelis taklim dan masjid, serta bagaimana membantu tetangga yang sakit. Dana-dana kecil yang terkumpul, keringat yang bercucuran, dan kerudung yang lepek setelah seharian berkeliling kampung, itulah yang menciptakan dampak nyata.
Inisiatif "Green Aisyiyah" adalah salah satu contoh konkret bagaimana prinsip Schumacher dan ABCD diimplementasikan. Mereka tidak menunggu proyek besar atau anggaran miliaran rupiah, melainkan memulai dengan langkah-langkah kecil namun konsisten, melibatkan jamaah, dan berjejaring dengan komunitas lain.
Di beberapa wilayah, Green Aisyiyah menginisiasi penanaman pohon di halaman masjid dan sekolah, membuat kebun sayur bersama di lahan sempit, mengembangkan eco-brick dari sampah plastik rumah tangga, hingga edukasi daur ulang minyak jelantah untuk sabun. Program Sedekah Sayur dari kebun kolektif untuk keluarga dhuafa di Ponorogo, edukasi pemilahan sampah bagi anak-anak TPA di Yogyakarta, pembuatan sumur resapan sederhana di daerah rawan bencana, pengelolaan sampah mandiri di Magelang, hingga penggunaan energi tenaga surya di Masjid Muharam, Brajan Bantul, adalah bukti nyata.
Semua kegiatan ini tampak kecil, sederhana, dan lokal, namun mereka adalah perlawanan nyata terhadap krisis iklim dan kerusakan lingkungan, implementasi "Small is Beautiful" di tengah kampung-kampung kita.
Schumacher mengajarkan bahwa dalam yang kecil, ada nilai keterhubungan, keberlanjutan, dan keadilan ekologis. Gerakan bank sampah, urban farming sederhana, atau pembuatan eco-enzyme mungkin tidak menjadi berita besar, tetapi mereka adalah manifestasi dari kekuatan yang berkesinambungan.
Mereka memberdayakan individu, menciptakan sumber pendapatan tambahan, dan menumbuhkan kesadaran lingkungan. Teori ABCD yang dijalankan bersama komunitas adalah jalan untuk menghargai potensi mereka, memaksimalkan kekuatan yang ada, dan tidak menunggu datangnya bantuan dari luar untuk bergerak.
Dok. Yayasan BaKTI
Dengan semangat gembira dan keinginan untuk berdampak, mereka menghidupkan masjid, sekolah, dan kampung, menjadikannya ruang ramah bagi bumi, perempuan, anak-anak, dan masa depan.
Pada akhirnya, "Small is Beautiful" adalah pengingat bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada skala yang masif atau keuntungan yang berlipat ganda, melainkan pada langkah-langkah kecil yang dilakukan bersama, dengan iman, ketekunan, dan cinta yang membumi.
Ketika kita melihat ibu-ibu dan bapak-bapak yang sedang membawa karung sampah botol plastik dengan sepeda motor, memegang bibit cabai untuk dibagikan, atau memegang catatan keuangan hasil penjualan sampah untuk sedekah sekolah anak-anak dhuafa, ingatlah satu hal: Mereka sedang menjalankan "Small is Beautiful" dengan iman, ketekunan, dan cinta yang membumi.
Tugas kita adalah mendokumentasikan, mendukung, dan memperluas langkah-langkah kecil ini agar menjadi kekuatan besar untuk masa depan bumi dan generasi kita. Sebab, langkah kecil yang dilakukan bersama, dengan hati gembira dan keinginan untuk berdampak, adalah kekuatan yang tak terkalahkan.