COVID-19, yang telah menginfeksi lebih dari 120 juta orang di dunia, merupakan pandemi pertama sepanjang sejarah yang melibatkan penggunaan teknologi dan media sosial skala global dalam menghubungkan dan menyebarluaskan informasi, baik saintifik maupun tidak saintifik (pseudosains).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengingatkan bahwa “infodemik”, informasi tidak akurat terkait COVID-19, yang menyebar luas baik secara online maupun offline berpotensi membahayakan fisik dan mental orang yang menerimanya.
Karena itu kita perlu mampu mengidentifikasi batasan sains dan pseudosains agar kita tidak menjadi korban pengetahuan yang tidak ilmiah.
Cara mengenali pseudosains
Kenapa manusia bisa percaya pseudosains? Jawabannya ada pada ketidaksempurnaan kognitif dan penalaran manusia. Ketidaksempurnaan merujuk pada ketidaksadaran manusia yang cenderung mengikuti keyakinan rata-rata orang atau kelompok di sekitarnya.
Di tengah banjir informasi terkait COVID yang tidak terkendali, kita perlu membedakan sains dari pseudosains. Ada enam kriteria pseudosains yang bisa kita identifikasi.
1. Pernyataannya samar dan tidak bisa difalsifikasi.
Artinya informasi tersebut tidak mungkin dibuktikan kesalahannya karena bersifat subjektif dan secara teknis tidak ada cara atau alat untuk membuktikannya.
Pernyataan saintifik harus mampu diuji berulang-ulang dan menyangkal segala pernyataan lain yang menentang data dan bukti temuannya.
Sosiolog menyebut teori konspirasi sebagai klaim yang tidak bisa diuji, spekulatif, dan bukan hasil observasi eksperimental. Teori konspirasi hanya praduga untuk memenuhi rasa ingin tahu ketika informasi yang dibutuhkan tidak tersedia, bertentangan, serampangan dan tidak sesuai pandangan pribadi.
Sebuah riset dari Cambridge University pada sekitar 3.000 remaja di Amerika Serikat menunjukkan 85% percaya teori konspirasi yang menyebutkan SARS-CoV-2 merupakan senjata biologis yang diciptakan pemerintah Cina, virus yang terlepas secara tidak sengaja oleh Cina, bahkan sebagian mempercayai virus ini dilepaskan oleh AS sendiri.
Teori seperti ini tidak dapat difalsifikasi, karena pada dasarnya tidak ada ruang untuk pembuktian benar atau salahnya.
2. Teori tidak dapat diuji kembali (non-testability) secara independen oleh pihak lain.
Ada banyak contoh dalam konteks ini.
Obat herbal yang cukup viral pada masa pandemi COVID-19 adalah kapsul Lianhuaqingwen, granul Jianhuaqinggan dan obat injeksi Xuebijing.
Meski pihak berwenang di Cina mengklaim obat ini dapat efektif mengurangi gejala demam, batuk dan lemas, tapi sejauh ini tidak ada keterangan jelas mengenai percobaan klinis yang detail dan berkualitas terkait obat herbal itu.
Obat herbal injeksi Xiyanping 100mg pernah direkomendasikan dalam Chinese Diagnosis and Treatment Protocol of COVID-19 (Trial Version ke-7), tapi akhirnya ditarik dari pasaran karena ternyata banyak laporan terkait efek samping yang timbul pada pasien.
Sebuah riset dari Cina terkait herbal untuk pengobatan COVID berkesimpulan bahwa obat herbal sejatinya tidak dapat diuji. Sebab pembuatannya menyesuaikan dengan gejala setiap individu.
Sebuah hasil penelitian yang saintifik, tepercaya dan jelas signifikansinya wajib dapat diulangi percobaannya oleh semua peneliti lainnya dengan hasil akhir yang terbukti sama.
3. Pseudosains mengabaikan segala bukti yang bertentangan dengannya.
Pseudosains tidak memiliki pijakan dalam ranah ilmiah. Mereka hanya memilah dan memilih bukti empiris yang mendukung pernyataannya saja.
Contohnya media massa sempat heboh dengan kasus Hadi Pranoto yang berkedok profesor mikrobiologi. Dia mengklaim menciptakan antibodi COVID-19 sebagai obat minum pencegah COVID-19 dan mampu menyembuhkan dalam 2-3 hari.
Klaim ini jelas merupakan pseudosains, karena mengabaikan bukti ilmiah yang bertentangan dengan pemahaman dan teori yang dikembangkan oleh Hadi.
Secara ilmiah, antibodi merupakan protein yang diciptakan oleh sistem imun tubuh kita setelah terinfeksi atau divaksinasi.
Kerja vaksin COVID-19 bukan memberikan antibodi secara langsung, tapi, salah satunya, melalui protein sub-unit virus SARS-Cov-2 yang dilemahkan atau dimatikan.
Dunia medis menganut dasar evidence-based medicine (EBM), yaitu mencari bukti dan membuat keputusan klinis sesuai bukti.
Pengalaman seseorang, bahkan dari profesor sekali pun, bukan bukti ilmiah yang cukup kuat untuk dijadikan dasar saintifik. Untuk memperoleh bukti ilmiah, sebuah kesimpulan hanya bisa diperoleh melalui prosedur penelitian dan pembuktian yang jelas.
Itulah sebabnya dalam piramida hirarki bukti penelitian, pendapat ahli berada di posisi terbawah, dilanjutkan secara berurutan ke posisi hierarki tertinggi adalah laporan kasus, studi sejawat, studi kontrol acak, sinopsis artikel kritis, sintesis bukti kritis, dan tertinggi adalah review sistematik dan meta-analisis.
Hierarki Bukti merupakan alat yang digunakan oleh banyak pendukung pengobatan berbasis bukti.
4. Pseudosains mengandalkan bukti anekdotal dan telah diketahui tidak dapat diandalkan.
Selama pandemi COVID-19, beredar kalung Virus Shut Out dari Jepang dan produk kalung antivirus buatan lokal oleh Kementerian Pertanian.
Pernyataan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang menyebut kalung berbasis eucalyptus (kayu putih) tersebut mampu membunuh virus corona hingga 80-100% tentu tidak berdasar.
Secara ilmiah, para saintis menyatakan SARS-CoV-2 menginfeksi melalui reseptor ACE2 di organ pernapasan paru. Belakangan diketahui juga reseptor ACE2 tersebar di organ lainnya yang menjadi potensi terjadinya kerusakan multiorgan pada perparahan gejala COVID-19.
Pertanyaan: bagaimana mekanisme perlindungan dari kalung di leher dapat mencegah virus yang masuk melalui saluran pernapasan?
Terkadang kepentingan politik dan bisnis dapat menjadi sumber pseudosains yang berisiko membahayakan konsumen yang mempercayainya.
5. Bersifat argumentatum ad ignorantiam atau argumen karena ketidaktahuan.
Pengembang teori konspirasi akan memanfaatkan ketidakmampuan pihak-pihak yang tidak mampu membuktikan bahwa klaim yang mereka sodorkan adalah palsu.
Misalnya konspirasi pandemi COVID-19 direncanakan sejak 2017 dengan menampilkan data ekspor palsu Bank Dunia bertuliskan “”Covid-19 Test kits exports by country in 2017. Ada juga hoaks bahwa COVID-19 merupakan senjata biologis yang bocor, hoax politik, dan produk sampingan teknologi wireless 5G.
Klaim seperti ini akan terus bertambah dan menjadi argumentasi pembelaan bagi pihak yang mempercayainya.
Korban pseudosains di sini merupakan pihak yang rentan percaya karena ketidakmampuan menyangkal klaim tersebut berdasarkan sumber sahih, padahal memang klaim semu seperti itu tidak perlu dibuktikan kepalsuannya.
6. Klaim kosong tak berdasar atau dibesar-besarkan tanpa uji terlebih dulu.
Pengetahuan jenis ini menekankan penegasan dibandingkan penolakan, kurang memiliki data yang terbuka pada hasil uji oleh ilmuwan dan tidak memajukan ilmu pengetahuan.
Misalnya isu kematian Maaher At-Thuwailibi akibat disuntik vaksin secara paksa di ruang tahanan kepolisian.
Klaim yang mengarah kepada penyiksaan dan disinformasi terkait vaksin COVID-19 ini disangkal oleh Kepolisian dan anggota keluarga Maheer.
Nyatanya vaksin CoronaVac yang dipakai di Indonesia telah melalui tahapan uji klinis fase III yang melibatkan populasi dan telah mendapatkan izin penggunaan darurat dari BPOM sejak Januari lalu.
Selain itu, tidak ada kasus kegawatdaruratan yang terlapor di Indonesia sampai saat ini setelah vaksinasi. Efek samping yang muncul hanya berupa nyeri dan pembengkakan ringan area penyuntikan.
Beberapa pasien melaporkan adanya demam ringan, meriang, dan lelah, hal ini merupakan efek samping ringan yang biasa terjadi paska vaksinasi.
Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Claire Wardle, ahli disinformasi dari Harvard University memberikan strategi, “Cara terbaik melawan misinformasi adalah dengan membanjiri sumber pencarian berita dengan informasi yang akurat, mudah dipahami, menarik dan mudah disebarkan melalui media di perangkat seluler”.
Para ilmuwan harus aktif menyebarkan pengetahuan yang akurat dan kredibel kepada masyarakat dengan berbagai medium seperti media massa dan media sosial.
Robert Shen, Researcher, Atma Jaya Neuroscience Research (ANR), Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dan Veronika Maria Sidharta, Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Unika Atma Jaya, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.