Saat Generasi Penenun Songke Semakin Tua, Karya Intelektual Perempuan Adat Manggarai ini Kian Suram
Penulis : Rosis Adir
  • Foto: Yovita Hamsia (52) menunjukkan motif tenun yang disebut songke di Kampung Sambi, Desa Satar Padut, Kecamatan Lamba Leda Utara, Kabupaten Manggarai Timur, Pulau Flores, NTT. (Project M/Rosis Adir)
    Foto: Yovita Hamsia (52) menunjukkan motif tenun yang disebut songke di Kampung Sambi, Desa Satar Padut, Kecamatan Lamba Leda Utara, Kabupaten Manggarai Timur, Pulau Flores, NTT. (Project M/Rosis Adir)

Lumung apa hau ali ata rona eme toe bae dedang songke?” Yovita Hamsia, 52 tahun, mengingat perkataan ibundanya puluhan tahun lalu: Apa yang membuat laki-laki menyukaimu kalau kamu tidak tahu menenun songke? 

Saat usia remaja, Yovita dan teman-teman sebayanya selalu menerima nasihat yang sama dari ibu mereka: anak perempuan harus tahu menenun songke.

Songke adalah nama umum untuk sarung berwarna dasar hitam dengan motif khusus hasil tenun perempuan Manggarai raya, kawasan yang meliputi Manggarai, Manggarai Timur, dan Manggarai Barat di Pulau Flores.

Kelak, setelah menikah, Yovita memahami maksud para ibu di kampungnya yang terkesan memaksa anak gadis untuk belajar menenun songke.

“Keahlian menenun songke menjadi bekal yang diberikan ibu ketika saya menikah dan hidup berkeluarga. Kalau saya tidak tahu menenun, maka suami saya pasti minder saat acara-acara adat karena tidak mengenakan sarung songke,” ujar Yovita.

“Selain itu, dengan menenun sarung songke, saya bisa membantu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.”

Yovita memanfaatkan lahan seluas sekitar dua meter persegi di samping rumahnya sebagai tempat menenun. Tempat itu beratapkan selembar kain bekas dan beralaskan karung-karung bekas. Di bawah terik matahari membakar kulit, dengan keringat terus mengucur dari keningnya, kedua tangan Yovita terus menenun songke, saat saya menemuinya pada Sabtu siang, akhir Agustus lalu.

Tenda-tenda darurat beratap kain-kain bekas itu juga terlihat di samping beberapa rumah lain di Kampung Sambi, Desa Satar Padut. Di bawah tenda-tenda itu, para ibu menenun songke, menggunakan peralatan tradisional berbahan kayu.

Kampung Sambi terletak di atas bukit, sekitar dua kilometer dari tepi pantai utara Flores, di pusat Kecamatan Lamba Leda Utara, Manggarai Timur. Di kaki bukit, terbentang sawah-sawah penduduk.

Nyaris semua penduduk Desa Satar Padut adalah petani sawah. Mereka bergantung hidup dari beras untuk makan, untuk biaya pendidikan, kesehatan dan kebutuhan lain.

Selain itu, menurut data pemerintah desa setempat, sekitar 789 keluarga mencari penghasilan tambahan dari pekerjaan menenun, termasuk 86 keluarga di Kampung Sambi.

Kendati demikian, kehidupan mereka masih sama seperti para petani lain di Flores. Rumah-rumah berlantai tanah, berdinding pelupuh bambu. Pada dinding beberapa rumah, tampak lubang-lubang menganga termakan usia. Salah satunya rumah Yovita.

Yovita mulai menenun sejak tamat sekolah dasar pada 1985. Ia belajar menenun dari ibunya. “Zaman kami kecil dulu, perempuan harus tahu menenun songke,” tuturnya, sembari tangannya menggulung separuh kain yang sudah ditenun, merapikan peralatan tenun. Ia berhenti menenun dan menuju dapur. Dari dapur, ia membawa dua gelas kopi khas Manggarai Timur dengan sepiring singkong rebus, menemani obrolan kami.

Yovita rutin menenun hampir setiap hari, menjadi pekerjaan pokoknya selain mengurus rumah tangga dan bekerja membantu suaminya di kebun. Setiap hari, ia membagi waktu untuk kerja di dapur, menenun, dan ke kebun pada hari-hari tertentu. Dengan jadwal teratur ini, ia bisa menenun satu lembar kain songke selama dua minggu.

“Dari tenun, selama sebulan, saya dapat Rp400 ribu. Itu penghasilan bersih karena rata-rata kami di kampung tidak beli benang,” katanya.

Yovita dan ibu-ibu penenun lain di Kampung Sambi tidak mengeluarkan biaya untuk membeli benang karena mereka menjadi buruh tenun dari Marselinus Sudirman, warga sekampung mereka yang berdagang kain songke.

Sudirman membeli benang di toko, kemudian dibagikan kepada ibu-ibu penenun. Setelah kain selesai ditenun, Sudirman membayar biaya tenun senilai Rp200 ribu per lembar kain.

Bayaran 200 ribu rupiah per lembar kain, ujar Sudirman, diberikan sesuai standar kualitas dan kerumitan motif yang ditenun. “Jadi, penghasilan mereka tergantung produktivitas. Kalau setiap bulan produksinya banyak, bayarannya juga banyak,” ucapnya.

Kain-kain songke itu oleh Sudirman kemudian dipasarkan ke Labuan Bajo, Manggarai Barat, dan para penjahit di Ruteng selama dua minggu sekali. Sudirman melakoni sistem demikian sejak 2018. 

“Motivasi awal saya karena merasa prihatin, karena kain yang ditenun ibu-ibu di kampung tidak ada pasarnya. Tunggu ada orang yang datang beli di kampung, baru laku,” kata Sudirman, yang rutin membawa belasan kain songke dalam perjalanannya ke pusat-pusat pasar itu dengan angkutan umum. Di pasar, harga selembar kain songke antara 500 ribu sampai 600 ribu rupiah. Sudirman berkata menarik keuntungan antara 100 ribu sampai 200 ribu rupiah untuk setiap lembarnya. 

Dengan penghasilan 200 ribu rupiah per satu tenun songke, kata Yovita, itu tidaklah cukup, tapi ia tidak punya pilihan lain. “Daripada kami beli benang di toko, buang waktu, dan biaya kendaraan. Belum lagi kalau setelah tenun, lama laku terjual. Kami lebih rugi,” ucapnya. “Jadi, penghasilan 400 ribu rupiah per bulan ini dicukup-cukupin saja.”

Sekitar 20 kilometer ke arah selatan Kampung Sambi, tepatnya di Kampung Wae Tua, Desa Golo Mangu, Magdalena Faleria juga menjalani pekerjaan menenun. Perempuan 47 tahun ini menenun di dalam rumah kecil berukuran 5×6 meter.

Di dalam rumah berlantai semen, berdinding pelupuh bambu, tepat di ruang sisi kanan pintu masuk, Faleria duduk menenun. Ia mulai menenun sejak berusia 15 tahun. Sama seperti Yovita, ia belajar dari ibunya.

Untuk menghasilkan satu sarung songke, Faleria harus rutin menenun dari pagi hingga petang selama satu bulan.

“Satu sarung songke dijual 800 ribu sampai 1 juta rupiah, tergantung ukuran dan kerumitan motifnya,” katanya.

Faleria membeli benang di toko di Reo, kota pelabuhan di pantai utara Manggarai, perbatasan dengan Manggarai Timur. Jarak dari Wae Tua ke Reo sekitar 50 kilometer. 

“Untuk menenun satu sarung songke, biasanya saya keluarkan uang Rp215 ribu untuk belanja benang,” ujarnya.

Sarung-sarung songke yang ditenun Faleria biasanya dijual ke orang-orang di kampungnya, atau ke orang-orang luar yang datang membeli ke rumahnya.

“Orang beli untuk kebutuhan keluarga seperti dipakai untuk acara-acara adat atau acara resmi lain,” tutur Faleria. “Saya bersyukur, selama ini, setiap bulan selalu saja ada orang yang datang membeli.”

Faleria berkata pendapatan dari pekerjaan menenun sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kendati demikian, ia tidak punya pilihan pekerjaan lain sebab menenun satu-satunya keahlian yang ia miliki.

Rendahnya penghasilan dari menenun, membuat sejumlah ibu-ibu penenun muda di Lamba Leda Utara berhenti dari pekerjaan tersebut. Dan biasanya, di antara mereka memilih merantau ke Kalimantan sebagai buruh sawit.

“Di kampung ini sudah banyak ibu-ibu yang tidak menenun lagi dan pergi merantau bersama suami mereka ke Kalimantan,” kata Kepala Desa Satar Padut, Fabianus Kabun.

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.