Membangun Ketangguhan Orang Asli Papua Melalui Perlindungan Sosial Adaptif

Orang asli Papua (OAP) merupakan kelompok paling berisiko dalam menghadapi guncangan kovariat, terutama akibat konflik di wilayah Papua yang masih berlangsung hingga sekarang. Untuk  membangun ketangguhan OAP dalam jangka panjang, diperlukan kerja sama antar aktor dan sinergi multisektor untuk menerapkan perlindungan sosial komprehensif dalam kerangka perlindungan sosial adaptif (PSA). Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah (pemda) dapat merujuk kepada Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) sebagai pedoman bersama. 

Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus 2001) sudah mengamanatkan kebijakan afirmasi bagi OAP. Namun, ketimpangan antara OAP dan warga masyarakat non-OAP masih tampak jelas dalam berbagai dimensi yang salah satunya terlihat pada indikator kemiskinan. Pada 2012, di Papua Barat, tingkat kemiskinan OAP sebesar 51,7%, sementara tingkat kemiskinan warga non-OAP sebesar 12,8%. Di Papua, tingkat kemiskinan OAP sebesar 37,4%, sementara warga non-OAP hanya sebesar 5,3%. Hal ini menjadikan OAP sebagai kelompok paling berisiko dalam menghadapi guncangan kovariat akibat pandemi COVID-19 sejak 2020 silam dan konflik yang masih berlangsung hingga sekarang (Devereux, 2016). Di tengah situasi tersebut, peran perlindungan sosial menjadi krusial untuk menguatkan ketangguhan OAP agar tidak makin rentan dan termarjinalkan.

Upaya membangun ketangguhan OAP dalam jangka panjang tidak dapat dilaksanakan semata-mata melalui satu program saja. Pemerintah Pusat perlu melakukan koordinasi antar kementerian dan lembaga serta dengan pemerintah daerah (pemda) untuk mensinergikan berbagai program agar mengarah ke tujuan yang sama. Dalam hal ini, Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP), sebagai bagian dari penjabaran Undang-undang Otonomi Khusus No. 2 Tahun 2021 (UU Otsus 2021), dapat menjadi rujukan bersama. RIPPP kemudian dibagi bertahap dalam jangka waktu lima tahunan yang penjabarannya akan dituangkan dalam Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Papua (RAPPP).

Kolaborasi antara aktor dan sinergi antar program untuk membangun ketangguhan OAP dapat dilakukan dalam kerangka PSA. Dalam kerangka ini, perlindungan sosial tidak terbatas pada fungsi protektif, melalui  bantuan sosial (bansos), dan fungsi preventif, melalui  jaminan sosial (jamsos). Perlindungan sosial bahkan mencakup fungsi promotif untuk meningkatkan kapasitas OAP dan memperluas sumber penghasilan, serta fungsi transformatif untuk mengatasi ketidakadilan. Dengan luasnya cakupan PSA, diperlukan komitmen kuat dari pemerintah mulai dari perencanaan, penerapan, hingga evaluasi.

Pemerintah sudah menunjukkan komitmen untuk mengimplementasikan  PSA   dengan  memasukkannya ke dalam RPJMN 2020–2024. Pemerintah juga sedang mengagendakan transformasi  sosial  dan  meletakkan PSA sebagai pondasinya yang akan dituangkan ke dalam RPJPN 2025–2045 dan RPJMN 2025–2029. Dalam upaya mengimplementasikan RIPPP dan RAPPP, rancangan dan penerapan PSA perlu disesuaikan dengan konteks OAP. Dengan demikian, skema perlindungan sosial diharapkan dapat responsif terhadap berbagai guncangan yang saat ini terjadi di wilayah Papua, serta adaptif terhadap risiko guncangan dan karakteristik OAP sebagai masyarakat hukum adat (MHA). Catatan kebijakan ini merekomendasikan empat fitur utama dalam rancangan PSA untuk OAP.

Rekomendasi 1: Memprioritaskan program dari pemda untuk mengisi celah skema perlindungan sosial protektif dan preventif dari Pemerintah Pusat

Pemda perlu menginisiasi program bansos dan jamsos daerah untuk mencakup OAP yang tergolong miskin dan rentan yang tidak tercakup dalam program Pemerintah Pusat. Termasuk di dalamnya adalah program untuk mewujudkan tiga prioritas pembangunan dalam RIPPP, yaitu Papua Sehat, Papua Pintar, dan Papua Produktif. Skema perlindungan sosial protektif dan preventif berperan sebagai penyangga untuk mencegah makin buruknya kerentanan akibat risiko guncangan. Namun, cakupan skema bansos dan jamsos dari Pemerintah Pusat di wilayah Papua jauh lebih rendah daripada rata-rata di wilayah lain, yaitu 14,66% dibandingkan 21,31%. Sementara itu, meskipun OAP lebih rentan daripada warga non-OAP, cakupan bansos dan jamsos di antara keduanya tidak terpaut jauh. Agar program pemda dapat dengan tepat mengisi celah program Pemerintah Pusat, pemda perlu menggunakan basis data yang sama dengan yang digunakan oleh Pemerintah Pusat dan melengkapinya dengan data terpilah OAP, sesuai dengan amanat RIPPP.

Rekomendasi 2: Meningkatkan kapasitas adaptif OAP dengan mengintegrasikan skema perlindungan sosial protektif dan preventif dengan skema promotif

Pemerintah perlu menghubungkan fungsi-fungsi perlindungan sosial dengan memastikan bahwa OAP penerima program- program bansos (fungsi protektif) dan jamsos (fungsi preventif) juga tercakup dalam program pemberdayaan untuk pengembangan penghidupan (fungsi promotif). Skema perlindungan sosial promotif berperan untuk meningkatkan sumber pendapatan OAP sehingga mereka memiliki kapasitas adaptif ketika terjadi guncangan. Dengan terintegrasinya fungsi-fungsi perlindungan sosial, upaya pengembangan penghidupan OAP akan menjadi optimal karena beban pengeluaran rumah tangga sudah ditekan melalui program bansos dan jamsos. Saat ini, beberapa kementerian sudah menerapkan berbagai program pemberdayaan yang menyasar OAP meskipun tidak secara khusus ditargetkan untuk OAP. Namun, penerima program tersebut belum tentu mengakses program bansos dan jamsos. Selain karena cakupan program bansos dan jamsos rendah, hal ini juga terjadi karena tidak ada upaya sistematis untuk memastikan keterhubungan antar program. Untuk itu, basis data penyelenggaraan program bansos, jamsos, dan pemberdayaan juga harus terintegrasi.

Rekomendasi 3: Mengembangkan penghidupan OAP secara transformasional dengan pendekatan inkremental

Sebagai strategi untuk mencapai Papua Produktif, program pemberdayaan di wilayah Papua, baik oleh Pemerintah Pusat atau pemda, perlu diprioritaskan untuk OAP dan dirancang sesuai dengan karakteristiknya. Sebagai MHA, OAP tidak memandang alam sebagai komoditas ekonomi, tetapi sebagai sumber penghidupan yang perlu dijaga dan dimanfaatkan bersama secara berkelanjutan. Oleh karena itu, program pemberdayaan harus bertumpu pada hubungan kekerabatan yang berlaku pada komune setempat dan pada bidang mata pencarian yang biasa mereka kerjakan sehari- hari. Dengan demikian, arah pemberdayaan bukan untuk memperkenalkan sumber penghidupan baru, tetapi untuk meningkatkan produktivitas sumber penghidupan yang ada.

Proses pemberdayaan juga perlu dilakukan secara inkremental sesuai dengan tahapan perkembangan penghidupan OAP. Untuk mengidentifikasi hal tersebut, pendekatan partisipatoris, seperti yang diamanatkan dalam RIPPP, perlu dilakukan terutama pada tingkat komunitas. Beberapa praktik baik proses pemberdayaan OAP, baik oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah, menunjukkan bahwa pendekatan partisipatoris yang diiringi dengan pendampingan terus-menerus dapat meningkatkan kapasitas OAP dan memperluas sumber penghasilannya. Namun, proses ini harus dilakukan secara berkesinambungan sehingga tidak dapat dicapai dalam waktu singkat. Untuk mendukung proses ini, target pembangunan di wilayah Papua dalam RIPPP dan RAPPP harus menekankan pada pemerataan capaian masyarakatnya untuk memastikan bahwa kemajuan ekonomi tidak menyisihkan kelompok marginal. Dalam hal ini, pembangunan industri berskala kecil dengan teknologi sederhana lebih sesuai dengan karakteristik dan tahapan perkembangan OAP. Sementara itu, pembangunan industri besar terlebih pada komoditas yang membahayakan potensi lokal, seperti industri ekstraktif atau perkebunan sawit, perlu sangat dibatasi.

Rekomendasi 4: Melindungi OAP yang menjadi pengungsi akibat konflik di wilayah Papua melalui perlindungan sosial yang responsif terhadap kebutuhan pengungsi

Dengan adanya konflik berkepanjangan yang terjadi di wilayah Papua, rancangan PSA untuk OAP perlu secara khusus mempertimbangkan kerentanan OAP yang menjadi korban dan terpaksa mengungsi di wilayah lain di Papua. Meskipun bencana sosial akibat konflik juga merupakan bentuk bencana kovariat, seperti halnya bencana alam dan bencana non alam lain, pengungsi sebagai korban konflik di wilayah Papua memiliki kerentanan yang berbeda. Konflik di wilayah Papua bukan terjadi antar masyarakat, melainkan antara kelompok kriminal bersenjata (KKB) dan aparat bersenjata. Selain menimbulkan ambiguitas rujukan regulasi dalam penanganan korban, hal ini juga menyulitkan proses penyaluran bantuan pemenuhan kebutuhan dasar untuk pengungsi. Kesulitan penyaluran bantuan juga terjadi karena pengungsi tinggal menyebar di rumah-rumah penduduk lokal meskipun tetap berkelompok.

Agar instrumen perlindungan sosial dapat responsif terhadap kebutuhan pengungsi, maka pemerintah, terutama pemda, perlu meningkatkan cakupan program bansos dan jamsos di wilayah yang berisiko konflik, seperti kabupaten-kabupaten Nduga, Maybrat, Intan Jaya, dan Lanny Jaya. Akses masyarakat miskin terhadap program bansos dan jamsos di wilayah tersebut cenderung rendah dibandingkan dengan rata-rata di di tingkat provinsi, baik Provinsi Papua maupun Papua Barat.

Dengan akses bansos dan jamsos yang merata, pemerintah akan lebih mudah untuk memodifikasi skema perlindungan sosial ketika konflik pecah dan mengharuskan masyarakat mengungsi ke wilayah lain. Selain itu, modifikasi juga diperlukan dalam mekanisme penyaluran program. Dengan mempertimbangkan pengalaman traumatis pengungsi akibat bentrok senjata antara KKB dan aparat bersenjata, penyaluran bansos berupa barang perlu meminimalisasi pelibatan TNI/ Polri, sebagaimana biasa dilakukan dalam penanganan korban bencana alam. Dengan secara khusus mempertimbangkan rasa aman korban, program perlindungan sosial dapat secara efektif mencegah makin buruknya kerentanan pengungsi sehingga secara perlahan dapat menguatkan ketangguhan mereka di tengah guncangan konflik yang terjadi.

Catatan kebijakan ini merupakan bagian dari rangkaian lima catatan kebijakan berdasarkan hasil Studi Perlindungan Sosial Adaptif untuk Orang Asli Papua. Studi ini dilakukan The SMERU Research Institute dengan dukungan Kurawal Foundation. Studi ini mengkombinasikan metode kuantitatif, melalui analisis data sekunder, dan metode kualitatif berdasarkan pengumpulan data primer yang dilakukan di Kabupaten Jayawijaya, Papua, dan Kabupaten Sorong, Papua Barat pada Oktober - November 2022

 

Artikel ini bersumber dari https://smeru.or.id/id/publication-id/seri-catatan-kebijakan-perlindungan-sosial-adaptif-untuk-orang-asli-papua 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.