Peran Penyedia Layanan dalam Pencegahan dan Penangan Kasus OCSEA
Penulis : Arafah

Kasus Online Children Sexual Exploitation and Abuse (OCSEA) atau Eksploitasi dan Kekerasan Seksual Anak di Ranah Daring semakin bertambah. Di Indonesia, 92 persen anak usia 12–17 tahun sudah menggunakan internet melalui berbagai perangkat teknologi informasi dan komunikasi terutama melalui smartphone (ECPAT, 2022). Meskipun penetrasi internet tinggi di kalangan anak-anak dan remaja, hanya 37,5 persen dari mereka yang disurvei telah menerima informasi tentang cara agar aman saat online. Temuan ini bahkan lebih memprihatinkan bagi anak-anak penyandang disabilitas, dengan 64 persen menyatakan mereka belum menerima informasi apapun tentang keamanan online.

Berdasarkan studi baseline yang dilakukan oleh ECPAT Indonesia bersama UNICEF tentang OCSEA (2023) ditemukan anak anak melapor kebanyakan pada orang tua, terutama ibu. Namun 63% anak mengatakan bahwa mereka tidak akan melaporkan masalah ini ke polisi karena terlalu takut menjadi tersangka, berurusan dengan polisi dan masuk penjara. Mereka takut mempermalukan nama baik orang tua mereka dan percaya bahwa mereka tidak memiliki bukti yang cukup untuk pergi ke polisi. Sebagian anak juga tidak tahu bahwa ini adalah kejahatan. Terlebih jika anak disabilitas, dimana ketergantungan mereka pada dunia daring tinggi dan lebih rentan menemui masalah karena orang tua mereka tidak memberikan aturan tertentu (46%) lebih tinggi dari pada anak anak secara umum (30%). Mayoritas anak disabilitas mengalami cyberbullying terutama terkait dengan keterbatasan mereka.

Terkait dengan kondisi di atas, maka dibutuhkan perhatian semua pihak di sekitar anak, seperti orang tua, guru, pemuka masyarakat, aparat hukum, dan sebagainya. Dalam konteks ini, penyedia layanan memiliki peran penting untuk mencegah dan menangani kasus-kasus OCSEA agar dampak buruk yang ditimbulkan pada anak tidak berkepanjangan dan segera dapat diatasi. Oleh karenanya jika ada anak yang melakukan pelaporan ke lembaga layanan maka pihak layanan penting memiliki sikap dan keterampilan untuk berperilaku suportif pada pelapor.

Dalam lampiran Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022, tentang Standar Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak, dikemukakan bahwa pada saat memberikan layanan kepada perempuan dan Anak, Unit Pelaksana Teknis Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD PPA), terdapat beberapa etika yang wajib diperhatikan oleh Dinas yang melaksanakan urusan pemerintahan Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan penyelenggara layanan PPA lainnya. Beberapa etika tersebut antara lain adalah berkomitmen kepada penerima manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan korban dan mengutamakan kepentingan korban; menentukan nasib sendiri dimana petugas wajib menghormati hak korban untuk menentukan nasib sendiri; dan ada persetujuan atas apa yang diinformasikan (informed consent) dimana petugas memberikan layanan kepada korban dalam konteks hubungan profesional berdasarkan pada persetujuan yang sah.

Menteri PPPA Bintang Puspayoga. //NET


Selain menyelenggarakan Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban, Keluarga Korban, dan/atau Saksi, lembaga penyedia layanan juga melakukan upaya pencegahan, seperti edukasi ke berbagai pihak yang dapat dilakukan dengan cara berikut.
Edukasi oleh sesama pengguna online. Mengubah perilaku seseorang dengan memberikan komentar halus yang mempengaruhi perilaku pembuat pesan. Respon perilaku yang dikampanyekan pada pengguna online, sebagai pengamat, saat menyaksikan ada pelaku dan korban melakukan cyberbullying atau online grooming. Peran aktif pengamat untuk memberi komentar agar dapat menggeser kognitif pengguna online lainnya ke arah perilaku positif.

Pembuat pesan diberi insentif positif jika melakukan hal baik dan diberikan komentar negatif jika melakukan hal tidak baik. Jika diterapkan pada cyberbullying dan online grooming, tiga jenis agresi dunia maya dapat ditangani; penghentian intimidasi atau grooming oleh pelaku, respons yang lebih tangguh dari korban, dan dukungan korban yang ditawarkan oleh pengguna online lainya termasuk teman sebaya, keluarga, dan institusi. Contohnya: memberikan peringatan ketika menuliskan atau menyisipkan gambar yang agresif atau menyinggung pada teks obrolan; memberikan pesan apresiasi ketika pesan-pesan tersebut diketik ulang setelah dihapus; memberikan pujian ketika melaporkan materi ofensif, atau ketika menyuarakan perilaku pelaku; dan menyediakan dukungan saat korban memblokir pengguna lain. Dapat diberikan dalam bentuk icon seperti misalnya 😀☹️; 👍👎 untuk menunjukkan suka atau tidak suka terhadap pesan atau 🔥 untuk menggambarkan bahwa pesan tersebut menimbulkan marah.

Edukasi pada pengguna online di dunia maya bekerja sama dengan search engine. Lembaga layanan dapat bekerja sama dengan pemerintah dan search engine untuk memberlakukan search engine yang membahayakan seperti jika ada yang mencari hashtagi #bunuhdiri atau jika ada pertanyaan “bagaimana bunuh diri tanpa rasa sakit”; maka pop up dimunculkan untuk menanyakan apakah ada keinginan untuk bunuh diri serta pop up  lembaga layanan yang dapat dihubungi.  

Edukasi pada anak dan orang tua tentang OCSEA dan mitigasi untuk mengurangi resiko. Pengenalan pada anak dan orang tua mengenai jenis jenis OCSEA, dampak OCSEA, cara berinternet aman dan sehat. Termasuk cara berkomunikasi yang baik antara orang tua dan anak.

Penting bagi pemberi layanan untuk dapat melakukan penanganan dengan mengutamakan lima prinsip berikut agar mengurangi kesalahan dalam penanganan OCSEA bisa berakibat buruk dalam jangka panjang pada korban yang tergolong anak-anak. 
Terpercaya, yaitu sifat yang dimiliki pemberi layanan terkait karena kemampuannya, komitmennya pada kebaikan, atau kemampuan yang dimilikinya sehingga mereka yang membutuhkan pelayanan mendapatkan rasa aman dan optimisme bahwa masalah yang dihadapinya akan diselesaikan sesuai harapannya.

Respek, yaitu pemberi layanan memiliki rasa hormat pada anak yang menjadi korban sehingga memberikan dampak yang baik untuk memahami hambatan-hambatan anak dalam mengungkapkan apa yang mereka alami. Terkait dengan respek ini adalah kemampuan menjadi pendengar yang baik atas pengaduan atau luapan perasaan korban, sehingga mampu menenangkan dan menghargai keterbukaannya.

Empati, yang berarti adanya kesadaran yang memungkinkan seseorang merasa atau mampu mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Dengan demikian, seseorang yang punya empati memiliki kemampuan untuk bisa menempatkan diri sendiri di posisi orang lain sehingga bisa merasakan apa yang orang itu sedang rasakan atau alami. Rasa empati inilah yang dapat melahirkan keinginan untuk melakukan sesuatu untuk menyelesaikan masalah pihak lain.

Proaktif, yaitu sikap seorang yang selalu berinisiatif, lebih aktif, dan selalu berusaha untuk bisa mengerjakan sesuatu secara bertanggung jawab berdasarkan berdasarkan prinsip dan nilai. Sikap proaktif dimiliki orang yang mampu memilih respon dengan memikirkannya secara baik, bukan hanya karena kondisi suasana hati atau lingkungan sekitar. Ini juga erat kaitannya dengan pemahaman tentang tindakan apa yang harus dilakukan dalam situasi darurat.

Keselamatan, mencakup semua tindakan dan praktik yang diambil untuk menjaga kehidupan, kesehatan, dan integritas tubuh korban. Di sini pemberi layanan memberi perlindungan melalui pencegahan semua hal yang yang dapat menyebabkan bahaya, kecelakaan, dan hasil negatif lainnya sehingga korban terbebas dari gangguan atau bahaya yang mengancamnya.

Pemberi layanan setidaknya memenuhi sejumlah persyaratan perilaku seperti terpercaya, respek, empati dan proaktif. Selain itu penyedia layanan perlu menjaga dan menjamin kerahasiaan anak dan keluarga, terkait dengan informasi yang perlu dan tidak perlu diketahui apa lagi yang terkait dengan informasi kekerasan dan pelecehan seksual yang masih sensitif di tengah masyarakat kita. Identitas anak dan keluarga sangat penting dijamin dan dijaga, terkecuali pada pihak-pihak yang terkait langsung dengan pencegahan dan penanganan, seperti fasilitator, pendamping, perawat, dokter, polisi dan psikolog. 

Pada prinsip ini perlu didukung dengan “Informed Consent” atau kesepakatan sukarela dari seorang yang memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan dengan pilihan yang bebas dan terinformasikan dari anak, keluarga atau pengasuh mereka sebelum diberikan layanan yang terkait dengan bentuk dan pilihan layanan yang tersedia, potensi risiko dan manfaatnya, informasi yang digunakan serta  aspek kerahasiaan dan batasannya.

 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.