• Suasana Focus Group Discussion yang difasilitasi oleh Forum Anak <br> Foto: Frans Gosali/Yayasan BaKTI
    Suasana Focus Group Discussion yang difasilitasi oleh Forum Anak
    Foto: Frans Gosali/Yayasan BaKTI

Yayasan BaKTI melalui Program MAMPU (Kemitraan Australia Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pembedayaan Perempuan) yang bergabung dalam Koalisi Stop Perkawinan Anak, melaksanakan Peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) 2018, dalam bentuk Temu Remaja Sulawesi Selatan di Gedung Serba Guna Kabupaten Maros, 26 November lalu. Kegiatan ini bertujuan ini untuk mensosialisasikan pencegahan perkawinan anak dan melihat bagaimana respon anak mengenai perkawinan anak.

Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan anak dari Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Gowa, dan Kota Makassar. Selain anak yang merupakan peserta utama untuk Temu Remaja Sulawesi Selatan, kegiatan ini juga dihadiri oleh instansi pemerintah dan lembaga/organisasi non pemerintah.

Peringatan HAKtP 2018 di Sulawesi Selatan dilaksanakan oleh gabungan berbagai organisasi yang bergabung di Koalisi Stop Perkawinan Anak yang berlangsung selama 16 hari mulai 25 November hingga 10 Desember. Dalam rentang waktu 16 hari tersebut dilaksanakan berbagai kegiatan di berbagai daerah di Sulawesi Selatan.

Kegiatan Temu Remaja dibuka oleh Wakil Bupati Maros, A. Harmil Mattotorang. Dalam sambutan pembukaannya, Wakil Bupati Maros menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Maros bekerja keras untuk mencegah perkawinan anak, diantaranya dengan mengesahkan Peraturan Daerah mengenai Kabupaten Layak Anak dan Pengarusutamaan Gender.

SuasanakegiatanperingatanHariAntiKekerasanTerhadap Perempuan (HAKTP) di gedung serbaguna Kantor Bupati Maros yang diikuti oleh para remaja sekolah menengah dari Kabupaten Maros, Gowa, Pangkep dan Kota Makassar. Kegiatan ini dibuka oleh Direktur Eksekutif Yayasan BaKTI, M. Yusran Laitupa dan dihadiri oleh pejabat daerah setempat.
SuasanakegiatanperingatanHariAntiKekerasanTerhadap Perempuan (HAKTP) di gedung serbaguna Kantor Bupati Maros yang diikuti oleh para remaja sekolah menengah dari Kabupaten Maros, Gowa, Pangkep dan Kota Makassar. Kegiatan ini dibuka oleh Direktur Eksekutif Yayasan BaKTI, M. Yusran Laitupa dan dihadiri oleh pejabat daerah setempat.
Foto: Frans Gosali/Yayasan BaKTI


Sementara Direktur Yayasan BaKTI, Muhammad Yusran Laitupa dalam sambutannya mengatakan, Yayasan BaKTI memilih kegiatan yang memberi kesempatan kepada anak-anak berdiskusi dan pentas seni. Tema diskusi anak-anak adalah 'Anak Berbicara tentang Perkawinan Anak'. Ini terkait dengan tema peringatan HAKtP tahun 2018 “Gerak Bersama untuk Pencegahan Perkawinan Anak” dengan mengkampanyekan “Pelaminan Bukan Tempat Bermain Anak.”

Anak berbicara tentang perkawinan anak adalah bagian dari upaya pemenuhan hak-hak anak, sebagaimana diatur dalam Konversi Hak Anak, khususnya prinsip penghargaan terhadap pandangan anak (respect for the views of the child). Prinsip ini menegaskan bahwa pandangan anak, terutama menyangkut hal-hal yang memengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 Konvensi Hak Anak.

Anak Berbicara Perkawinan Anak

Perkawinan anak masih dianggap sebagai hal biasa di masyarakat. Tradisi mengawinkan anak perempuan yang telah menstruasi dilihat sebagai suatu prestasi oleh sebagian masyarakat. Jika seorang anak perempuan yang menstruasi dan dilamar, maka orangtua atau keluarganya tidak menolak, karena memercayai mitos bahwa jika lamaran ditolak maka anak tersebut tidak akan dilamar lagi.

Anak perempuan yang akan dikawinkan tidak pernah diajak berdikusi. Anak harus menerima setiap keputusan yang dibuat orangtua atau keluarga, karena anak dianggap belum mampu membuat pertimbangan dan keputusan untuk masa depan dirinya. Namun, anak yang dianggap belum mampu itu harus siap untuk berumah tangga.

Bagaimana pendapat anak tentang Perkawinan Anak di Temu Remaja Sulawesi Selatan? Dari diskusi kelompok yang juga dipandu oleh anak-anak, diperoleh berbagai informasi dan pandangan anak mengenai perkawinan anak. Hasil diskusi kelompok tema 'Peran Pemerintah Desa dalam Pencegahan Perkawinan Anak' menyoroti Pemerintah Desa juga ikut melegalkan perkawinan anak, seharusnya Pemerintah Desa harus lebih berperan dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Sementara Kelompok yang mendikusikan 'Peran Masyarakat dalam Pencegahan Perkawinan Anak' menyebutkan bahwa mitos di masyarakat mengenai pelamaran menjadikan masyarakat menganggap perkawinan anak sebagai sesuatu yang sah. Perlu penyadaran di masyarakat mengenai hak-hak anak.

Peserta yang terbagi dalam beberapa kelompok FGD mendiskusikan peran para pihak dalam mencegah perkawainan anak
Peserta yang terbagi dalam beberapa kelompok FGD mendiskusikan peran para pihak dalam mencegah perkawainan anak
Foto: Frans Gosali/Yayasan BaKTI


Kelompok yang mendiskusikan 'Peran Guru dan Sekolah dalam Pencegahan Perkawinan Anak' menyatakan bahwa guru dan sekolah mempunyai posisi yang strategis untuk mencegah perkawinan anak, karena sebagian besar anak yang dikawinkan masih berstatus sebagai murid di sekolah. Namun, selama ini guru dan sekolah tidak mampu berbuat sesuatu untuk mencegah apabila mendapatkan informasi mengenai anak didiknya yang akan dikawinkan.

Dalam diskusi kelompok, anak-anak mengusulkan kepada semua pihak untuk mensosialisasikan dampak negatif perkawinan anak. Pemerintah harus mencegah perkawinan anak dengan membuat aturan tegas untuk melarang perkawinan anak.

Kekerasan terhadap Anak dan Perempuan

Perkawinan anak adalah kekerasan terhadap anak dan perempuan. Ini adalah kesimpulan diskusi kelompok anak-anak. Mereka mengidentifikasi sendiri bentuk kekerasan terhadap anak dan perempuan. Pertama, perkawinan anak adalah keputusan orangtua dan keluarga dengan berbagai alasan. Kemiskinan adalah alasan umum, keinginan orangtua untuk melepaskan tanggungjawab kepada pihak lain atau suami adalah alasan lainnya. Dengan mengawinkan anaknya, walaupun dengan pasangan yang juga tidak siap, maka tanggungjawab sebagai orangtua dianggapnya telah selesai.

Kedua, perkawinan anak menyebabkan anak putus sekolah. Umumnya anak-anak yang dikawinkan, maka haknya sebagai anak dalam memperoleh pendidikan akan terputus. Selain lingkungan sekolah yang menganggap aneh jika seorang anak telah menikah untuk kembali ke sekolah, dengan menjadi istri atau suami, maka anak-anak yang telah menikah mempunyai beban dan tanggung jawab baru dalam rumah tangganya sehingga sulit untuk melanjutkan pendidikannya.

Ketiga, perkawinan anak menyebabkan anak mengalami kekerasan fisik dan mental. Selain mengawinkan anak adalah kekerasan, dengan menikah anak akan mengalami kekerasan baru, baik fisik maupun mental. Anak yang menikah tidak siap secara mental dan emosional sehingga sering mengalami kekerasan atau pun melakukan kekerasan terhadap pasangannya.

Keempat, perkawinan anak melahirkan perempuan pekerja informal. Dengan kemampuan dan keterampilan yang rendah, baik anak perempuan atau laki-laki yang telah menikah, sebagian akan masuk ke dalam lingkungan kerja informal yang rentan eksploitasi dan gaji rendah.

Jika terjadi perceraian, maka perempuanlah yang menjadi pihak yang  beresiko, karena akan menjadi orang tua tunggal di usia yang sangat muda. Karena tidak mempunyai keterampilan, maka akan menjadi tenaga kerja di sektor-sektor informal, termasuk sektor yang eksploitatif dan berbahaya, seperti pekerja seks komersial, termasuk mudah menjadi korban traficking atau perdagangan manusia.

Kelima, perkawinan anak menyebabkan kekerasan terhadap anak. Banyak kasus kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orangtua yang masih sangat muda. Karena tidak memiliki keterampilan dalam pengasuhan anak dan tidak siap menjadi orangtua, maka orangtua muda sering melakukan kekerasan terhadap anak.

Foto bersama peserta dan mitra pelaksana diakhir acara
Foto bersama peserta dan mitra pelaksana diakhir acara
Foto: Frans Gosali/Yayasan BaKTI


Pertemuan Remaja Sulawesi Selatan yang memfasilitasi anak-anak berdiskusi pun merekomendasikan agar sosialisasi pencegahan perkawinan anak menjadi agenda semua pihak, termasuk anak dan Forum Anak. Anak-anak yang hadir pada kegiatan ini juga siap menjadi pelapor dan pelopor pencegahan perkawinan anak.

Anak-anak perlu diberi haknya untuk menjalani kehidupan yang normal sebagai anak, tidak dipaksa untuk menjadi orangtua sebelum waktunya. Anak-anak yang dipaksa menjadi orangtua sebelum waktunya, hanyalah orangtua instan yang akan melahirkan generasi instan dan tidak berkualitas. Karena itu, hentikan perkawinan anak karena pelaminan bukan tempat bermain anak.

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.